Idries Shah mempopulerkan Nasruddin, yang sering dikenal dengan anekdot “perjalanan spiritual” melalui kejadian-kejadian biasa dalam hidup manusia.
Moral dan pesan spiritual di balik anekdot Nasruddin berpengaruh luas. Setiap tahun, di Turki ada festival Nasruddin, di Russia juga sangat terkenal.
Ada beberapa anekdot yang saya suka dari Nasruddin dan memiliki moral cerita yang sangat kuat.
Anekdot 1 – Sandal Allah
Pada suatu hari, Nasruddin memasuki masjid. Ia tampak membawa buntalan berisi sepasang sandal. Kawannya bertanya, “Kamu takut sandalmu hilang?”.
Nasruddin menjawab, “Semua barang-barang yang ada di toko itu, bisa menjadi milik orang yang membeli. Sandal ini pemberian Allah.”.
Pesan di balik cerita ini? Kita beribadah dengan ketenangan, sesuai apa yang kita usahakan. Bisa beribadah dengan tenang itu nikmat yang tidak terkira. Selain itu, hukum hak-milik sangat dilindungi dalam agama. Jawaban Nasruddin juga menunjukkan, bahwa apapun yang sampai kepada kita, berasal dari Allah, dan kita diberi tanggung jawab untuk merawatnya.
Anekdot 2 – Orang Hilang
Nasruddin sampai di Baghdad, metropolitan yang penuh orang. “Bagaimana orang bisa tidak -hilang- di tempat seperti ini?” pikirnya. Nasruddin memasuki kedai, ingin tertidur sejenak karena mungkin kelelahan.
Masalahnya, ia takut, kalau bangun nanti ia tidak mengenal -siapa- dirinya.
Seorang kawan, setelah mendengar masalah ini, memberi saran, “Ikatkan balon ke kakimu. Kalau kamu bangun, carilah orang yang ada balon-terikat di kakinya. Itulah kamu.”.
Nasruddin mengangguk. Nasruddin tidur.
Ketika ia bangun, ia melihat balon-terikat tadi di kaki kawannya. Nasruddin berseru, “Bangun! Kamu adalah saya. Lantas, ya Allah, siapa saya?”
Cerita ini merupakan “reminder” (pengingat) agar kita selalu awas dengan identitas yang sedang kita kenakan.
Identitas adalah “siapa” diri kita. Sifatnya mudah berubah. Dua jam kemarin kita seorang pekerja, mungkin 2 jam kemudian kita seseorang yang mudah marah karena menghadapi kemacetan.
Kita perlu suatu pengingat, yang sangat kita percaya bahwa itu “benar”.
Cerita tentang balon yang terikat di kaki itu, adalah atribut yang kita kenakan. Entah itu label, ucapan, doa, apa saja, yang tidak bisa terlepas dari diri kita, agar tidak -hilang- di tengah metropolitan yang penuh orang dan godaan.
Itulah cara kita menghargai usaha keras kita dalam membangun identitas. [dm]