in

Mengatasi Angst (Kegelisahan Kreatif)

Cemas datang karena ini pengalaman baru, yang belum terpola. Pintu masuk ke pengalaman sebagai diri yang unik, pengalaman yang otentik.

Dulu sekali, saya sering mengalami kegelisahan kreatif. Waktu itu, saya berada dalam kecemasan, ketakutan, kalau ide saya tidak selesai. Apa jadinya menulis teks yang menantang status quo? Apa kata publik ketika saya menentang ide-ide besar yang sudah terlanjur mereka percaya? Bagaimana saya membuat teks tetap hidup? Sementara itu, orang di sekitar saya tidak selalu siap berdialog. Saya tidak bisa menyampaikan kegelisahan itu sebagai kegelisahan. Saya dalam kondisi dihancurkan oleh pikiran saya sendiri. Kegelisahan ini memerlukan “nama” agar saya bisa bekerja kreatif dalam tekanan yang datang dari dalam diri saya.

Keadaan di atas, sering dialami para penulis, pekerja kreatif, sutradara, desainer, dll. Mereka berada dalam kecemasan, ide yang berhenti-sesaat, dan kebimbangan. Di tengah kejaran deadline, seringnya. Sangat mendera dan membuat mereka menderita.

Kalau itu penderitaan, tentu mudah diidentifikasi, dan bisa dicari pemecahannya. Persoalannya, jika rasa itu berupa kecemasan kreatif, kadang orang tidak tahu apa namanya. Tidak jarang, orang kreatif tidak bisa mengartikulasikan gagasannya. Tidak tahu, apa nama “rasa” ini. Semua orang kreatif pernah mengalami kecemasan itu.

Kalau perasaan yang kamu alami, bukan karena dipicu oleh suatu peristiwa,, sebenarnya itu bagian dari proses kreatif. Perasaan itu, bernama “angst“. Kamus menyebut yang lebih populer: “anxiety“, kecemasan.

Angst” sebernarnya lebih dari itu. Angst terjadi ketika seseorang mengalami “moment of truth”, momen kebenaran. Di hadapan Kebenaran, orang tidak bisa berbicara (speechless), hanya mendalami moment itu.

Misalnya, ketika sedang mengalami “sepi” sendirian, memandang langit yang tak-terjelaskan. Atau ketika di tengah keramaian, batin tiba-tiba mengalami “sunyi” (orang lain seperti tiada, hanya batin yang riuh, penuh kata-kata di dalam). Atau ketika hanya membicarakan kesedihan dalam bentuk kalimat, dan tiba-tiba menyaksikan kejadian menyedihkan, maka tidak jarang: bahasa verbal dalam bentuk kalimat menjadi tak-bermakna.

Ini seperti mimpi. Ketika bermimpi, “peristiwa” terjadi-langsung menembus pikiran, bahkan indera kita terlibat sepenuhnya. Begitu terbangung, sering mimpi-mimpi itu terhapus peristiwanya, bahkan kita hanya mengingat “kesan” yang tertinggal. Cerita tanpa alur, orang-orang asing, dan tersingkat menjadi satu kata: sedih, menyenangkan, dan.. tak-terkatakan.

Kecemasan bisa membuat orang melampaui pernyataan. Begitu penuhnya pikiran sampai kertas apapun tidak bisa memuatnya. Duduk sendirian, ingin berteriak, lari sekencang-kencangnya. Angst seperti magma yang tidak pernah keluar, aktif di bawah permukaan tanah, tertutup debu. Kita hanya melihat “panas”nya. Atau cerita tentang panasnya. Tanpa menyaksikan seperti apa magma terbentuk. Seperti ketika kita melihat peluru-peluru yang ditembakkan di film yang kita tonton. Bukan peluru sungguhan, namun kita merasakan apinya.

Angst hanya bisa dirasakan para pejalan, pemimpi, orang-orang yang mendapatkan “misscall” dari langit, “Aku mendengarmu. Teruslah sedih dan tersenyum..” sebab perasaan kadang tidak membutuhkan pemicu.

Angst akan berubah menjadi kreativitas jika kamu sudah tidak ada masalah dengan bagaimana menuangkan kreativitasmu. Masalahnya, itu tidak mungkin. Kreativitas itu “kutukan” bagi orang yang suka membuat sesuatu: desain, menulis, coding, seni, dll.

Begitu kamu merasakan angst kesedihan, kamu bisa melepaskan dengan baris-baris kalimat “menyedihkan”, karena dari sisi teknis, kamu sudah terlatih membahasakan kesedihan. Atau menari, atau berjalan tanpa berbicara, atau seperti di puncak gunung di mana ketenangan bisa membuatmu mendengarkan “suara gunung”.

Teknik, bukan hanya bagaimana “mengungkapkan”, tetapi juga bagaimana kamu mendalami kecemasan.

Mereka yang tidak tahu bagaimana mendalami angst, akan kelelahan “mengungkapkan”. Saat angst datang, cahaya sedang masuk ke dalam dirimu, dan kadang jalan masuknya justru dari lukamu yang belum sembuh.

Betapa menyenangkan kegelisahan itu. Tanpa kegelisahan, pertanyaan hanya akan datar-datar saja. Tanpa kecemasan, diri hanya akan berlangsung sebagaimana kebanyakan orang-lain.

Semakin kamu tahu bagaimana mendalami angst, dan memperbaiki teknik, kamu akan merindukan angst dan tidak pernah gelisah ketika angst datang. Kamu menguasainya, bukan terhanyut pada angst.

Angst” itu dekat dengan rasa #cemas dan #takut.

Cemas datang karena ini pengalaman baru, yang belum terpola. Pintu masuk ke pengalaman sebagai diri yang unik, pengalaman yang otentik.

Harap diingat, yang terpenting bukan bagaimana kamu “menceritakan” (mengungkapkan) bagaimana kamu mengalami angst, tetapi, bagaimana caramu berenang dan menyelam ketika #tenggelam.

Takut datang karena belum tahu apa yang akan dilakukan. Takut ini bisa dikalahkan dengan mengetahui apa itu “angst“. Jika cemas seperti ini datang, sadari pertama kali bahwa kamu “akan” gelisah. Bahwa ini feeling (perasaan).

Pada tahapan “meng-extract” bacaan, misalnya, biasanya angst datang. Belum paham dengan apa yang dibaca, atau mendalami subject (persoalan) yang sama sekali baru. Atau belum pasti benar dan tidaknya. Bagaimana kalau ternyata saat itu kamu memang sedang membuka jalan-baru untuk dirimu sendiri?

Yang perlu dilakukan:

Pertama, menyadari bahwa “ini adalah angst”. Agar bisa menyelami lebih dalam. Kalau sedang menyelam, tidak perlu bercerita di status bahwa kamu sedang gelisah. Itu rahasia, antara pengalaman-hidup dan dirimu sendiri. Kalau untuk dikatakan kepada diri-sendiri, kenapa harus di status?

Misalnya, saat kamu berada dalam kondisi “ragu-ragu” terhadap apa yang selama ini kamu percaya. Belum tentu itu ragu-ragu. Bisa jadi, kamu hanya sedang mempertanyakan, menggali lebih dalam, dalam bentuk pengetahuan. Atau tepatnya sedang mencari bagaimana cara membahasakan. Kalau demikian, yang terpenting berarti belajar. Bukan dengan menghakimi perasaan.

Kenapa kamu cemas dan gelisah? Karena belum tahu, karena belum akrab.

Orang yang berteriak, berjalan ke arah yang tak-jelas, atau clubbing berlama-lama, pergi jauh, hanya akan kembali kepada rasa gelisah, jika tidak bisa menguasainya. Mereka butuh duduk dan mengenali, bagaimana cara pikirannya memutuskan dan menilai sesuatu. Bukan memakai gagasan orang lain yang dianggapnya pas.

Ibaratnya komputer, pastikan hardware (fisik) kamu tidak rusak. Tetap makan, tetap mandi, dll. Jangan sampai hardware error.

Jika operating system kamu tidak error, alias Windows 10 masih bisa dibuka, berarti no-problem.

Apa yang kamu hadapi sekarang, tidak lebih dari sebuah aplikasi. Yang bisa error. Jika tidak bagus, ganti dengan aplikasi yang lebih baik.

Kalau aplikasi rusak, tinggal install-ulang aplikasi itu. Tidak perlu seluruh operating systemnya.

Kedua, teknik dan skill harus tetap diasah, dalam keadaan menganggur. Kalau urusanmu dengan teknik dan skill sudah selesai, kamu bisa “bermasalah” kapan saja. Kamu bisa menyelesaikan sesuatu dengan cepat, tidak bermasalah dengan bahasa, tahu bagaimana menuliskan kesedihan, mengerti cara mengambil keputusan, dll. Semua itu kemampuan (skill).

Bisa jadi, orang bingung “memilih yang mana”. Masalahnya, bukan mana yang harus dipilih, tetapi, apakah ia punya cara pandang tersendiri tentang bagaimana mengambil keputusan? Kalau tidak punya, pilihan semudah apapun, akan membuatnya bingung, karena: ia tidak pernah secara khusus mempelajari cara mengambil keputusan.

Kalau teknik dan skill sudah biasa terasah, kamu bisa menuliskan kegelisahanmu di atas jalan ataupun di atas kertas. [dm]

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Kota Lama Semarang.

Seni dan Artificial Intelligence

Uang itu Tidak Adil, karena Kamu Tidak Tahu Cara-Kerja Uang