Intelektual dan orang pintar, punya perbedaan mendasar.

Kalau tulisanmu kacau, editor yang pintar bisa selesaikan tulisan itu.

Intelektual, bukan tentang hasil praktis, lebih kepada eksplorasi dan memahami masalah orang lain.

Kamu tidak mengerti cara mempelajari suatu bahasa asing, tanyakan kepada intelektual.

GPS kamu rusak? Serahkan kepada teknisi.

Orang tidak meminta bantuan orang pintar, karena hal-hal berikut:

  1. Menurut mereka, kamu tidak pintar. Kamu tidak bisa membantu mereka. Ini mungkin karena kamu tidak berperan sebagai penghubung, tidak mau menjadi inisiator, yang datang dan berkata, “Saya bisa selesaikan masalah kamu.”.
  2. Emosi kita terpapar, kita terisolasi dari “insight” (wawasan) yang berguna, bahkan kita merasa tidak berdaya pada ranah yang kita tidak mengerti. Ini sebabnya, orang pintar sering diperlakukan sebagai “tukang” berbayar. Ini harga yang perlu kita bayar karena sebenarnya kita “diam”, tidak melakukan perubahan berarti.
  3. Membuat kita tampak bodoh, jika dibandingkan. Apa yang bisa kita lakukan? Kenali masalah, jangan terlalu bergantung pada tirani keahlian orang lain. Pada sisi ini, kalau kamu punya modal “strategi berpikir”, dan menganggapnya sebagai kemampuan yang perlu dikuasai semua orang, kamu berpeluang menjadi intelektual. Itu bukan puncak.
  4. Memberi kesempatan kamu untuk menjadi seorang ahli. Menjadi ahli, ada waktunya. Tidak terjadi dalam semalam. Jangan berhenti belajar dan mengasah keahlian kamu.

Itu starting point, “sebelum” kamu menjadi seorang ahli. Setidaknya, temukan “masalah” yang membuatmu sampai pada “masalah ini”. [dm]