Pintar tidak semudah itu. Pintar (smart) baru terjadi kalau seseorang bisa atasi masalah yang belum pernah mereka hadapi. Bukan mengatasi seperti cara orang lain mengatasi.

Media sosial yang dibuat untuk menjaring konsumen, demi iklan, akan berhadapan dengan media profesional, di mana orang memang datang untuk urusan pekerjaan mereka.

Para pekerja profesional, memang sudah melewati fase amatir, mereka memang hidup prfoesional. Lebih dari sekadar tahu. Mereka sudah masuk ke disiplin tertentu dan itulah [sebagian] dunianya. Selama ini, orang-orang yang memakai media sosial, pada akhirnya menjadi “makanan” di piramida paling bawah, bagi orang-orang yang sengaja memangsa mereka, karena orang-orang sosial (yang bukan profesional) hanya memakai media sosial untuk bersenang-senang.

Bahkan mereka tidak sadar, bagaimana orang lain bisa semakin kaya atas apa yang mereka tonton dan bagikan di feed.

Orang-orang pintar, sebaliknya, belajar dalam jaringan.

Mereka tidak menerima dan mengkonsumsi informasi satu arah. Mendengar dari para ahli, tidak membuat kamu pintar, kecuali kamu belajar dalam jaringan. Meniru jawaban orang pintar, tidak membuatmu menjadi pintar. Saya pernah bertanya kepada 20 orang di kesempatan berbeda, tentang cara mereka menilai “kebenaran” berita.

Mereka bahkan tidak tahu, kalau yang mereka buka itu bukan-berita. Ini terjadi karena mereka memakai asumsi ketika memahami apa itu “berita”, tanpa benar-benar mempelajari “berita” dari sudut pandang jurnalistik.

Bukan hanya berita. Selagi kamu tidak belajar melalui disiplin ilmu, tidak belajar dalam jaringan, selamanya media sosial hanya mengantarmu menjadi konsumen. Waktu, perhatian, “uang” (yang tidak terlihat), kamu berikan tanpa kamu sadari itu. [dm]