Steven Pressfield di buku War of Art memperkenalkan makna baru dari “resistance“.

Saya termasuk orang yang terlambat membaca buku ini, namun itu hal tercepat untuk hidup saya, di mana masalah-masalah kreatif, yang sering memblokir kita, ternyata bernama.

Resistance” berhubungan dengan hambatan untuk-kreatif. Pemblokir internal, yang datang dari pikiran. malas, menunda, overconfidence, percaya pada bakat sebagai penentu keberhasilan, dll. semua itu bentuk “resistance” (hambatan).

“Resistance” bisa menjadi naluri, kebiasaan, atau perasaan yang kita benarkan (kita anggap rasional) untuk menghalangi kerja kreatif.

Bukan hanya untuk penulis.

“Resistance” memiliki banyak bentuk:

  • Menunda.
  • Mengabaikan sistem pengukuran yang berguna.
  • Tidak segera kirim.
  • Tidak percaya bahwa “masalah ini” adalah “resistance”.
  • Menunda-nunda.
  • Sibuk.
  • Tidak sampai ke bagian sulit.
  • Target terlalu tinggi.
  • Target terlalu rendah.
  • Tidak mau bicara anggaran.
  • Mengabaikan deadline.
  • Berhenti pada kecemasan “ini tidak mungkin berhasil”.
  • Tidak mengelola proyek, malah dikelola proyek.
  • Merangkul biaya hangus.
  • Tidak mengajukan pertanyaan yang berguna.
  • Tidak memakai metode yang bagus, alat yang bagus.
  • Menyalahkan sistem.
  • Mengabaikan sistem, merasa menjadi yang pertama.
  • Terobsesi dengan teknologi dan peluang baru, menunggu hal besar berikutnya.
  • Menolak untuk belajar tentang teknologi atau peluang baru.
  • Suka memberikan reaksi, bukannya merespon, dan merespons tetapi tidak memimpin.
  • Lebih sibuk mengatasi hal-hal mendesak dibandingkan menyelesaikan hal-hal penting.
  • Mengarsipkan kehidupan dan diri sendiri, di media sosial dan Cloud.
  • Mudah bosan.
  • Kegembiraan sesaat yang tak-rasional.
  • Gagal mendelegasikan tugas.
  • Mencari pujian.
  • Mengabaikan pentingnya feedback.
  • Mencari pintasan “cara tercepat untuk..”.
  • Instan.
  • Bertanya, “Intinya bagaiman” tanpa mau belajar.
  • Mengabaikan detail.
  • Terlalu banyak pertanyaan.
  • Kalender waktu tidak sesuai dengan pekerjaan yang harus diselesaikan.
  • Membuat janji besar, terlalu banyak.
  • Takut menepati janji sendiri.
  • Menghubungkan apa saja dengan diri sendiri.
  • Menyimpan ketakutan, tidak berani menaklukkan ketakutan itu.
  • Memakai deadline sebagai bahan bakar, baru mau kreatif dan punya dorongan kalau ada deadline.
  • Menghabiskan waktu untuk mengatasi ketakutan.
  • Mencari keaslian, mengabaikan konsistensi.
  • Terlambat muncul karena tidak segera membuat sesuatu.
  • Kebanyakan pengeluaran sampingan.
  •  Perfeksionis.
  • Merasa ini bukan “kelas” saya.

Saya bisa membuat daftar yang lebih panjang lagi, karena mengerti arti “resistance” menurut Pressfield.

“Resistance” adalah kegagalan moral.

Perilaku “resistance” sebenarnya berasal dari pilihan dan cara kita memperlakukan pilihan kita sendiri. Jika kita tepat memilih, “resistance” bisa kita atasi tanpa ketakutan. Kita perlu mempelajari taktik, metode, dan pilihan yang lebih baik. Ketakutan kita sebenarnya adalah takut berubah, serta tidak percaya kita bisa.

Sekarang, fenomena “resistance” sudah mirip “permulaan” bagi setiap proses kreatif. “Resistance” sudah menjadi sosial. Orang-orang menjadi budak emosi di media sosial, mencari gangguan bernama “hiburan”, scroll terus-menerus, memilih rata seperti yang lain, dan di bawah tirani para ahli dan korporasi industri. Harap diingat, “resistance” bisa terjadi pada kelompok. [dm]