in

Berburu Resep Bebek Resto

Bisnis aneh kawan saya dalam menjual resep bebek resto. Jalan panjang membuat brand.

bebek di atas air

Dia pernah mengajak saya. Siang, sore, dan malam, untuk makan berpindah-pindah. Menu yang selalu sama: bebek atau pecel lele. Hampir selama 2 bulan. Dia yang bayar. Makan dan transportasi gratis. “Semua saya tanggung,” katanya.

Apa yang membuatnya memilih saya? Tadinya, saya terlalu percaya-diri. Mungkin, faktor yang menentukan: saya sangat cerewet dalam mengkritik makanan. Berita baiknya, saya akan mengkritik, hanya ketika dia minta komentar saya.

“Bebek goreng ini enak, seandainya tidak memakai minyak goreng merk X. Terlalu bersih, lemaknya tidak terasa. Gurih tetapi kurang empuk. Terlalu lama direndam dalam bumbu, sehingga bau dagingnya kurang terasa.

Lele ini digoreng terlalu basah. Bagaimana kalau ada menu khusus berisi lele betina yang menyimpan banyak telur? Lele ini enak sekali, namun hasil ternak di air bersih, rasanya berbeda dengan hasil penangkaran berbentuk rawa.”

Terus, hidangan pelengkap. Lalapan dan minuman. Sepanjang perjalanan, saya berkomentar hanya ketika dia meminta saya berkomentar.

Ternyata, itu hanya salah satu faktor. Dia memang rajin mendengar apa kata konsumen.

Saya kemudian curiga, “Kamu mau membuat restoran sendiri?”.

Dia tidak menjawab, “Saya tidak bisa urus 1 usaha dan berdiam di 1 tempat. Lebih penting lagi, tidak mudah meninggalkan usaha makanan kalau kamu belum menemukan resep rahasia.”

“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan?”.desak saya.

Dia tidak menjawab. Dia memberikan tawaran, “Besok, datang ke rumahku. Akan saya tunjukkan, saya ingin apa.”.

Sebentar. Saya waktu itu baru tahu kalau kawan saya bisa memasak. Seperti kawan saya yang lain, mereka jarang melihat saya makan, apalagi makan bersama. Saya tidak pernah melihat dia memasak.

Besoknya, saya ke rumahnya. Tidak ada anak isteri, tidak ada orang lain di rumah itu. Saya tidak pernah bertanya kehidupan pribadinya.

Dia meminta saya duduk, ” Cicipi masakan ini.”.

Kebetulan, saya sedang lapar.

Ada menu bebek kesukaan saya. Dari jarak 3 jengkal, baunya sudah terasa sedap. Saya coba, tanpa nasi. Empuk. Seratnya halus. Gurih. Masih ada bau daging bebek. Lemaknya terasa. Benar-benar lezat.

Saya terdiam beberapa saat. Apa yang kurang? batin saya.

Lalapan daun kemangi yang segar. Kemangi yang rasanya strong di lidah. Irisan tomat segar, bukan irisan mentimun layu. Daun kol yang ranum dan hijau, kelas super. Sambal buatannya, sangat lezat.

“Bagaimana?” dia bertanya.

Saya speechless. Tidak bisa bicara. Sampai habis, saya masih no comment. Saya cuci-tangan, meminum air jeruk, kemudian berjalan-jalan. Sambal ini tidak bikin perut saya kembung.

“Kalau kamu masukkan gagang lombok setan, ketika bikin sambal, kemudian setelah sambal itu jadi kamu taruh di atas kompor dengan api kecil, selama 30 detik, maka rasa sambal akan berbeda. Tidak bikin kembung,” katanya.

“Resep rahasia lain?” tanyaku.

“Resep rahasia lain, tidak ada. Resep rahasia masakan harus ada di semua aspek. Bukan hanya pada bahan. Sekalipun di Cook Pad ada 62 resep lezat, Google menghasilkan lebih banyak hasil-pencarian, saya harus bikin resep berbeda. Tidak ada resep utama. Mulai dari sayuran, cara memasak, komposisi, dan bahan, semua itu rahasia. Itulah yang akan saya jual.”.

“Apanya yang ingin kamu jual?” tanya saya.

Dia tidak ingin membuka restoran. Dia ingin menjual resep. Dia akan membuat brand. Franchise. Dan resep berasal dari dia. Orang boleh mendirikan rumah makan, dengan menu bebek dan pecel lele, kemudian memakai brand dan resep darinya. Modal membuat semua itu, ngutang dari isterinya.

Dia berani menjamin, rasanya akan sama. Harga sama. Layanan daj kualitas sama. Untuk melakukan ini semua, dia butuh waktu lebih dari 1 tahun. Riset, mencoba masakan, “bekerja” di dapur, sampai akhirnya hari itu dia berani bilang kalau resepnya sudah pas.

Mungkin saya hanya salah satu konsumen yang bercerita kepadanya, tentang apa yang saya makan. Kehebatan yang ia lakukan adalah menghargai apa kata konsumen, mau mencicipi produk orang lain, dan terus mencoba resep sakti buatan sendiri.

Selain itu, dia berpikiran sebagaimana seorang “showrunner”. Bagaimana “pertunjukan” bisa jalan. Pasti ada hambatan, butuh lobi, dan banyak pembenahan. Bisnis membutuhkan “showrunner”, pelaksana pertunjukan. Bukan hanya artis penyaji yang hebat. Dia tidak berpikir sebatas seorang artis yang bisa menyajikan sesuatu. Seorang artist memakai pedoman “harus saya”. Seseorang bermental “showrunner”, membuat konsep dan memastikan, “Orang lain bisa lakukan ini”. Tanpa “saya”.

“Mengapa kamu bersusah-payah membuat resep ini, selain demi franchise dan uang?” tanya saya.

Untuk membuat bisnis, harus ada tujuan non-finansial yang perlu dilihat orang, secara jelas, agar konsumen mendukung apa yang kamu lakukan. “Mengapa” adalah pertanyaan yang membuat suatu brand bertahan lama.

Dia menikmati hidangan buatannya sendiri, sambil menjawab.

“Saya ingin semua orang bisa menikmati cara memasak yang sehat, masakan lezat, bersama orang yang mereka cinta.”.

Sekalipun dia sudah mengeluarkan biaya “membuat resep” dengan mengajak saya keliling mencicipi menu, saya bisa banyak belajar darinya.

Sekarang dia dengan bangga menyebut saya sebagai taster, yang membuat resepnya menjadi terkenal. Seharusnya, saya yang bangga, bisa belajar banyak darinya.

Resep itu sekarang membuatnya “tidak bekerja”. Semacam dana pensiun di usia muda, agar lebih banyak waktu jalan-jalan.

Beberapa minggu kemudian, franchise dia mulai berdiri. Orang berdatangan. Sudah tidak ada pesan masuk darinya. Terima kasih, kamu sudah memberikan pelajaran berharga, tentang jalan-panjang brand kamu berdiri. [dm]

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis.