Anak kecil itu baru saja bercerita, dia berani mencoba snack yang ia beli dari toko online. Semaca keripik, dengan label “pedas level 10”. Baru coba 2 gigitan, dia tidak kuat. Terlalu pedas. Saya tertarik melihat bungkusnya. Benar, ini ada label “pedas level 10”. Sepertinya, ada yang bermasalah di sini..

Saya ingat, kemarin makan di suatu rumah makan. Ada garam di atas meja. Ketika pesan suatu menu, penjualnya bertanya, “Pedas atau tidak?”.

“Tunjukkan apa yang kamu punya, tetapi jangan beri saya tawaran.”.

Kalimat itu saya tuliskan, karena ketidakpuasan saya di beberapa rumah makan.

Mereka tidak menyajikan makanan instan. Bagus. Penjual bertanya, “Pedas atau tidak?”.

Tunggu. Ini masalah bagi saya. Dia menggunakan adjective “pedas”. Dia bertanya seberapa pedas yang saya mau. Pedas menurut siapa?

Ketika ada snack dengan level pedas 1-10 di bungkusnya, saya tertawa. Ini mirip skala Likert yang dipakai di review product. Bintang 1-5. Apresiasi yang diskala, dengan category yang berbeda-beda menurut versi pembeli atau penonton.

Dalam penelitian statistik, saya menolak Skala Likert. Jadi, kalau kita kembali ke pesan makanan, soal pedas dan tidak itu, saya berpikir, “Memangnya, kamu tahu, standar pedas menurut saya?”.

Yang saya lakukan, berbeda: berikan detail dan ukuran yang jelas.

Ketika memesan mie instant telur, saya lebih suka memberikan detail selera saya, “Buat minya sangat matang. Biarkan kuning telurnya utuh, setangah matang. lomboknya 4, diiris, dan biarkan mentah.”.

Itu sangat jelas. Tidak akan ada komplain, “Ini terlalu pedas..” atau “Ini kurang pedas..”.

Ketika memesan es Coffemix, saya lebih suka detail, “Pakai gelas besar, esnya sedikit saja. Kalau es dan Coffemix dicampur, sebatas ini.”. Terutama di rumah makan yang belum tahu selera saya.

Bagian yang menyenangkan, ketika saya besok kembali ke sana, orang mengingat pesanan saya.

Penjual sering mengajukan pertanyaan merepotkan, “Ingin sepedas apa?”.

Ada 2 masalah di sini.

Pertama, “pedas” ini tidak dijelaskan detailnya. Pedas memiliki ukuran berbeda bagi setiap orang. Aneh lagi, kalau pedas diberi label “mercon”, “setan”, dan “level 10”. Yang manusiawi itu kalau ada penjelasan. Penjual bermaksud baik, ingin memberikan pelayanan yang “sesuai selera”.

Kedua, terjebak dalam “keseimbangan Goldilocks”. Ini jebakan betmen dalam komunikasi.

Keseimbangan Goldilocks mengasumsikan bahwa ada distribusi preferensi yang “normal”.

Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, dalam tawaran “Sepedas apa?” itu seolah-olah ada level normal yang sudah disepakati. Padahal, kedua belah pihak ini (pembeli dan penjual) sama-sama belum pernah menyepakati “pedas yang normal” itu seperti apa.

Kenyataan, preferensi (selera, kesukaan, pengaturan) pribadi itu tidak terdistribusi secara normal.

Pedas normal bagi saya, 4 cabe rawit. Pedas normal bagi orang lain, mungkin berbeda.

Kamu tidak bisa melayani semua orang.

Begitu kamu berikan pilihan kepada orang, mereka akan memilih. Dengan preferensi pribadi berbeda-beda. Mencari keseimbangan Goldilocks bisa menjadi jebakan.

“Tunjukkan apa yang kamu punya, tetapi jangan beri saya tawaran.”. [dm]