in

Topi Hitam Leonardo

Strategi berpikir “blackhat” dari kisah pembuatan peta ajaib Leonardo Da Vinci.

Black hat (topi hitam) itu istilah untuk menyebut para hacker yang menggunakan “cara berbeda” dalam mengakali sistem dan algoritma, dengang cara yang nggak official. Tidak selalu buruk. Saya malah beranggapan, mereka ini lebih kreatif dibandingkan kelompok “white hat”.

Black hat itu orang-orang kreatif yang mencoba di luar panduan resmi, melompati privacy policy, melampaui term of service.

Ini terjadi karena internet mirip hutan yang menuntut pemakai untuk “survive“, dunia yang selalu berubah, namun penuh keterbatasan.

Tanpa semangat mengakali sistem dan algorithma, teknologi akan berjalan lambat.

Mungkin Bukan Black Hat

Banyak orang mengaku White Hat (bertopi putih), tetapi mereka sebenarnya di wilayah abu-abu. Misalnya, beli software secara resmi dan dapat kode lisensi, namun memakai dan menikmati .mp3 bajakan, atau streaming dengan aplikasi Netflix versi ” mods” di Android. Atau bahkan mereka tidak tahu kalau itu sebenarnya menikmati hasil bajakan.

Ada juga yang merasa Black Hat tetapi sebenarnya nggak “black” sama sekali. Hanya karena kamu baca artikel di blog atau forum berlabel “blackhat”, belum tentu itu Black Hat.

Yang jelas, bedakan antara hacker Black Hat dengan “script kiddiez”. Ini istilah untuk orang-orang yang hanya memakai produk berpikir orang-lain, alias nyontek atau download, kemudian memakainya untuk tujuan tertentu. Mereka hanya bisa memakai atau memodifikasi script, sebagai level play group di mata para hacker.

Saya sering dapat cerita, kalau ada orang yang bisa register MoZ berbayar dengan kartu kredit orang lain, atau bisa konek @wifi.id dari Alfamart mana saja, tetapi kenyataan yang terjadi, orang ini hanya pakai informasi dari orang lain, untuk menjalankan kedua hal itu.

Nggak amazing, karena tidak ada proses kreatif di situ.

Rahasia Kepintaran Black Hat

Black Hat pintar karena mereka menguasai konsep dan tahu apa yang harus dimainkan.

Saya berikan contoh kreatif. Misalnya, ada aturan dari Facebook, ketika suatu URL dianggap terlarang (entah karena pelaporan atau karena dianggap spammy), kemudian ia bisa mengakali pelarangan ini. Atau ketika I Instagram menetapkan batasan hanya boleh bikin 5 akun dari 1 Android, dia bisa membuat lebih dari 5 akun, hanya dengan 1 perangkat Android. Atau ketika Google Console dan Google Analytics tidak semudah dulu, ia bisa lakukan indexing dengan cepat.

Apa yang membuat Black Hat bisa melampaui peraturan ini?

Mereka tahu konsepnya, mereka tahu cara kerjanya.

Inspirasi Hacker dari Dalai Lama

Dalai Lama berkata, ” Knows the rule, therefore you can bend it.”. Ketahui cara kerjanya, maka kamu bisa mengakalinya. Arti “bend” (membengkokkan, mengakali) tidak selalu buruk. Ini bisa: lebih cepat, lebih baik, lebih baru, dll.

Jadi, nggak ada hacker yang tidak menyelami cara-kerja sesuatu. Ia bisa mengakali karena, sekali lagi, mengerti prinsip dan cara kerjanya.

Bongkar Masalah dan Proses, Sebelum Solusi

Mereka memandang masalah, lebih lama dari orang lain. Mereka tidak berorientasi pada solusi. Mereka membongkar “masalah sebenarnya” dan mempertanyakan “proses sebenarnya”, sebelum mencari solusi.

Kisah Leonardo Da Vinci Membuat Peta

Saya punya contoh orang yang sudah menjadi hacker, jauh sebelum ada istilah “hacker”. Black Hat kelas berat. Namanya, Leonardo Da Vinci.

Leonardo melukis Monalisa. Ia bisa menembus barisan musuh setebal apapun. Menciptakan kriptografi versinya sendiri. Pembedah mayat dan meletakkan dasar anatomi. Seniman yang menguraikan wajah manusia berdasarkan simetri, yang panduannya bisa membuat seorang pemula menggambar manusia. Terlalu banyak kehebatan Leonardo Da Vinci.

Pada suatu hari, Leonardo Da Vinci mendapatkan tugas untuk membuat benteng terkuat, agar musuh tidak bisa menyerang.

Saya pernah tanyakan ini dalam suatu workshop, seperti dalam prolog cerita itu, “Jika ada seorang penguasa memintamu membuat benteng terkuat, langkah apa yang akan kamu lakukan?”.

Jawaban para peserta, sangat beragam:
+ Saya akan membuat benteng berbahan batu granit.
+ Saya akan membuat benteng dengan parit jebakan, panah peluncur, dan menara pengawas.
+ Saya akan ciptakan sistem pendeteksi kedatangan musuh dan buat bunker berlapis baja, di bawah tanah, yang anti-api dan anti-gempa.

Jawaban mereka bagus.

Bukan itu jawaban Leonardo Da Vinci.
Leonardo Da Vinci memikirkan langkah “sebelum” membuat benteng. Prasyarat apa yang dibutuhkan?

Bicara “prasyarat” berarti berbicara tentang “cara kerja” dari “penyerangan” dan “pertahanan”.

Dari mana musuh akan datang? Senjata apa yanga mereka gunakan? Dengan cara bagaimana musuh bisa sampai ke benteng ini?

Tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan sebelum membuat benteng?

Sebuah peta.

Sayang sekali, membuat peta tidaklah mudah. Waktu itu, belum ada Google Maps secanggih sekarang. Bagaimana cara Leonardo Da Vinci membuat peta kota?

Leonardo Da Vinci berjalan, berlari, dan punya satu obsesi: menggambar seluruh kota.

Yang ia bayangkan adalah gambar yang tidak akan sempurna.

Leonardo Da Vinci, ingin gambar yang sempurna, yang bisa menampilkan semua sudut kota. Ia menginginkan mata yang bisa melihat ke segala arah.

“Di mana saya harus berdiri?” tanya Leonardo Da Vinci. Tidak mungkin hanya berdiri di satu titik. Pandangan “saya” harus dari banyak titik.

Dan ketika berdiri di atas tebing tertinggi, Leonardo Da Vinci berseru, “Sekarang saya tahu!”. Leonardo menemukan moment ” Eureka!” seperti Alchimides di masa Yunani.

Untuk menggambar seluruh kota, sudut pandang terbaik adalah dari udara. Tepat di atas kota itu.

Kawannya tertawa, ” Kamu bukan burung, Leo. Sekalipun kamu burung, tidak ada burung yang bisa menggambar.”.

Leonardo Da Vinci melihat hanya 1 sudut yang bisa ia gambar dari atas tebing itu. Gambar yang buruk. Tidak sempurna.

Namun yang terbaik adalah penyempurnaan berikutnya. Penyempurnaan terbaik itu bernama “jalankan”. Eksekusi. Ide kamu bisa dikritik kalau sudah kamu eksekusi. Tanpa eksekusi, ide kamu hanya “mimpi”.

Bagaimana saya mengukur panjang? Ia mengambil tali panjang, setiap 1 rentang-tangan ia ikatkan batu. Jika batu itu jatuh, berarti 1 rentang tangan. Kawannya mendorong kotak beroda, Leonardo mencatat panjang dan belokan. Memikirkan sudut ketika berbelok. Membuat skala. Semua jalan utama ia lewati, sambil menghitung panjang dan sudut belokan. Mereka melakukan sambil berbincang-bincang.

Leonardo Da Vinci berjalan, tidak terbang seperti burung. Namun hasil garis-garis dan belokan itu, punya ketepatan panjang. Jadilah kota itu ia gambar, sambil berjalan dan berbincang.

Sekarang, ia memiliki sebuah pemandangan dari mata seekor burung, yang ia kerjakan dengan berjalan-kaki.

Peta itu dapat dibaca siapapun. Orang-orang ikut memperbaiki peta itu.

Kini semua orang tahu, bagaimana mencegat musuh, memblokir dan mengalihkan gerakan musuh, dan di mana sebaiknya benteng terkuat di kota itu harus didirikan.

Bagaimana Leonardo Da Vinci Berhasil?

Leonardo Da Vinci berhasil karena ia tidak berpijak pada “bahan baku” suaru benteng, atau seperti apa “struktur” suatu benteng. Ia menguraikan “masalah” menjadi kembali ke proses awal, yaitu: menentukan posisi yang sulit bagi musuh. Ia bertindak berdasarkan data, bernama: peta kota.

Pikiran seorang hacker, tidak bertanya, “aplikasi apa” yang bisa dipakai untuk m!mbuat akun Instagram lebih dari 5 dengan 1 Android, sebaliknya, mereka bertanya, “Apa yang membuat Instagram mendeteksi Android kamu sudah dipakai untuk membuat 5 akun Instagram?”.

“Prinsip Pertama” dan Tanpa “Metode Terbaik”

Orang seperti Elon Musk, tidak mau menomorsatukan “Bagaimana solusi untuk masalah ini?”. Elon Musk mencari “first principle” (prinsip pertama) dan menguraikan proses.

Itu yang bisa membuat kamu menemukan solusi berbeda daripada (bukan “dari”) orang lain. Elon Musk tidak percaya ada 1 metode terbaik. Setiap solusi, pasti kontekstual.

Sekarang “terbaik” dan “work”, nanti belum tentu.

Black Hat mengakali sistem dan algoritma. Keduanya, bisa berubah.

Sedikit Orang Mau..

Hanya saja, sedikit orang mau membaca term of service. Sedikit orang mau mempelajari cara-kerja sesuatu. Sedikit orang mau membongkar proses.

Mereka maunya: pakai aplikasi apa, download di mana, dan hasilnya sesuai harapan.

Berpikir membutuhkan pelatihan, studi kasus, eksekusi, dan penyempurnaan. Gagal, mengalami kemacetan, semua itu pasti terjadi. Namun itulah jaminan terbaik untuk “berhasil” dan “berbeda dari orang lain”.

Jebakan Hal-hal Praktis

Kamu tahu, apa yang terjadi kalau terjebak pada hal-hal praktis?

Sepertinya mantap kalau bilang, “Kita maunya yang praktis, simple, dan bisa diterapkan..”. Ketika mengatakan atau mendengarkan pernyataan itu, katakan, “Kamu berhadapan dengan sistem dan algoritma yang selalu berubah, dan harus kamu mulai dari membongkar proses.”.

Kamu terjebak pada hal-hal praktis ketika mengeluarkan uang untuk beli follower, untuk mencoba cara menaikkan traffic yang berujung ranking kamu down di Google.

Kamu terjebak hal-hal praktis ketika kamu menuliskan content yang singkat sekaligus buruk, namun hanya dapat 39 view.

Kamu terjebak hal-hal praktis ketika bertindak tanpa acuan data.

Ambil keputusan, tentukan pilihan. Jadilah Leonardo Da Vinci yang memilih membuat peta, agar orang-orang yang ia cintai selamat dalam peperangan dan ia bisa bertemu mereka. Buatlah peta yang kamu pakai selalu, kamu perbaiki bersama, dan bisa menjadi lebih banyak solusi. Bukan sekadar benteng terkuat yang membuat kamu paranoid menghadapi serangan musuh.

Tentukan pilihanmu. Lakukan. [dm]

 

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Kota Lama Semarang.

ringkasan buku infinity game, simon sinek

Memahami “Permainan Tanpa Batas” Simon Sinek

Menjadi Penulis Perjalanan