Pada zaman dahulu kala,
Seorang bapak mengajak anak lelakinya pergi ke desa, untuk menunjukkan kepada anaknya, suasana desa.
Dia ingin anaknya mengerti, betapa selama ini, betapa selama ini dia sudah memberikan “yang terbaik” untuk anaknya: sekolah yang bagus, makanan enak, dan piknik.
Dalam hati dia berpikir, anaknya akan senang setelah menikmati alam desa dan melihat perbedaan jauh antara kehidupan anaknya dan anak-anak di desa itu.
Selama di sana, anak itu melihat anak-anak lain, melihat rumah mereka, melihat burung dan sungai, menikmati malam, dan makan bersama mereka.
Sepanjang waktu bapak dan anak itu tersenyum menikmati “piknik” itu.
Keduanya pulang setelah beberapa hari di sana.
“Bagaimana kesanmu setelah perjalanan kemarin?” tanya Sang Bapak.
Wajah anak itu tersenyum cerah sekali. Dia berkata, “Terima kasih, Bapak. Saya jadi mengerti perbedaan antara kehidupanku dengan mereka yang di desa.
Saya mendapatkan pelajaran dari perjalanan kita.
Kita punya burung di dalam sangkar. Mereka punya burung-burung di pepohonan dan bebas terbang.
Kita pergi ke kolam renang. Mereka mandi di sungai.
Kita memiliki lampu dan membayar listrik. Mereka memiliki bintang-bintang.
Kita memiliki buku dongeng. Mereka punya cerita tentang pohon dan nasehat kakek dari kakek mereka tentang bagaimana menjalani hidup.
Kita membeli buah dan memburu diskon. Mereka menanam dan menjual buah.
Kita punya rumah dan pagar tembok sebagai pelindung. Mereka memiliki tetangga, kerabat, dan teman.
Kita punya Instagram dan Facebook. Mereka punya teman sungguhan.
Kita punya banyak foto kenangan. Mereka menyimpan memori dan menunjukkannya dengan bercerita langsung kepada kawan dan orang tuanya.
Kita punya televisi dan film. Mereka punya orang tua yang mendongeng sebelum tidur dan memarahi mereka ketika bermain lupa-waktu.”
Sang Bapak terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
Anak itu melanjutkan, “Terima kasih, Bapak. Sekarang aku tahu, betapa kaya mereka di desa.”. [dm]