Watak festival sejati, tidak lagi bisa kita dapatkan. Festival telah dipartisi, diatur, dan dibatasi.
Kita sering menjalani kehidupan ganda. Memuja kemajuan dan hal-hal ilmiah, sekaligus sering mengalami “cognitive bias” dan “logical fallacy”. Merasa tidak primitif, lebih beradab, sedangkan keliaran yang kita jinakkan di dalam jiwa, semakin berbahaya.
“Kita menjalani kehidupan ganda, beradab dalam hal-hal ilmiah dan teknis, liar dan primitif dalam hal jiwa. Bahwa kita tidak lagi sadar menjadi primitif, membuat jenis keliaran kita yang jinak menjadi semakin berbahaya.” – Hans Von Hentig
Primitif dalam Kesepakatan
Banyak temuan sains, terutama tentang manusia, sanggup menguraikan masalah sampai tingkat elektron. Prosesor dan genetika sampai di nanotechnology. Kalau kita rajin mengikuti penemuan sains, yang berbentuk invention maupun discovery, sangat banyak masalah yang sudah “selesai” di tingkat teori.
Kita bisa menciptakan kota antibanjir, menyembuhkan kebutaan bawaan (sejak lahir, dari faktor genetis) dengan sekali suntikan, memurnikan air, membuat pertanian vertikal, freight farming, stasiun subway bawah tanah, kendaraan subsonic, membalik wabah menjadi autoimunitas, mengobati kecanduan, dst. Kenyataan yang terjadi? Masih ada wabah, banjir, kekeringan, kerusuhan politik, krisis ekonomi, pertikaian antargolongan, rasisme, dll. Normalitas, terbungkus dalam masalah berat. Ada siklus pengulangan untuk permasalahan itu, di tingkat lokal maupun global.
Penerapan teori dan temuan ilmu pengetahuan, tidak berjalan, ketika harus terjadi “kesepakatan” (agreement) antarmanusia.
Kesepakatan bernama “politik” dan bermasyarakat itulah yang menghambat penerapan temuan terbaik ilmu pengetahuan.
Kekerasan Mimetis
Kita bisa membaca fenomena kekerasan publik dan kebencian online dengan teori “kekerasan mimetis”.
Rene Girard percaya, manusia saling meniru keinginan satu sama lain dan terus-menerus berkonflik satu sama lain atas objek keinginan kita.
“Agama adalah alat yang melaluinya ketertiban diciptakan, kedamaian yang diciptakan oleh pembunuhan pertama, berubah secara bertahap menjadi sistem budaya. Kemanusiaan adalah anak agama, dengan cara agama seperti plasenta yang melindungi bayi yang baru lahir dan dibuang ketika dia benar-benar lahir.” — Rene Girard.
https://www.cbc.ca/radio/ideas/the-scapegoat-the-ideas-of-ren%C3%A9-girard-part-1-1.3474195
Konflik ini menciptakan ancaman kekerasan permanen di komunitas manusia purba dan memaksa nenek moyang kita menemukan cara untuk menyatukan diri. Mereka memilih seorang korban, kambing hitam yang dapat dipersatukan oleh komunitas.
Ketika bicara tentang antropologi filsafat, yang membicarakan apa artinya menjadi manusia, Girard mendapatkan banyak kritik, ketika mengklaim bahwa psikologi mimetis dan antropologi diubah menjadi sistem teoritis yang menjelaskan setiap aspek sifat manusia.
Ancaman kemanusiaan terbesar, menurut GIrard adalah “kekerasan mimetis”.
Keinginan Segitiga: Kita Tidak Menginginkan Sesuatu, Kita Ingin Menjadi Sesuatu
Manusia adalah makhluk mimikri. Kita secara evolusioner didorong untuk melakukan satu hal lebih baik daripada orang lain: belajar dengan menonton dan meniru orang lain. Dan hal terpenting yang kita pelajari adalah bagaimana menginginkan.
Saat kita tumbuh dewasa dan menjalani hidup kita, kita memperhatikan orang lain dan mempelajari apa yang seharusnya kita inginkan.
Selain hal-hal mendasar, seperti makanan, air, tempat berlindung, dan seks, hasrat kita akan objek atau pengalaman tertentu tidak terprogram dalam DNA kita; kita telah belajar menginginkannya dengan mengamati orang lain.
Apa yang terprogram ke dalam DNA kita dan terprogram ke dalam otak kita adalah keinginan untuk menjadi; dan menjadi milik.
Akar sebenarnya dari semua keinginan, menurut Girard dan yang lainnya, tidak pernah ada pada objek atau pengalaman yang kita kejar; ini benar-benar tentang orang lain yang darinya kita belajar menginginkan hal-hal ini.
Girard menyebut orang-orang ini sebagai “mediator” atau “model” untuk keinginan kita: pada tingkat neurologis yang dalam, ketika kita mengamati orang lain dan membentuk keinginan kita dari keinginan mereka, kita tidak begitu banyak memperoleh keinginan untuk objek itu seperti belajar. untuk meniru seseorang, dan berusaha untuk menjadi mereka atau menjadi seperti mereka. Girard menyebut fenomena ini sebagai keinginan mimetis.
Kami tidak mau sesuatu; kita ingin menjadi sesuatu.
Secrets about People: A Short and Dangerous Introduction to René Girard
Hipotesis Girard mengatakan, bahwa penganiayaan kejam terhadap “kambing hitam” adalah asal muasal institusi ritual pengorbanan manusia di mana-mana, yang merupakan fondasi agama.
https://www.imitatio.org/brief-intro
Ancaman Kemanusiaan
Kekerasan mimetis muncul ketika manusia meniru keinginan satu sama lain, dan ketika banyak orang menginginkan objek yang sama, itu mengarah pada persaingan dan konflik.
Hasrat mimetis merupakan dasar dari kekerasan mimetis. Hasrat mimetis adalah proses di mana orang meniru model yang memberi objek nilai.
Hasrat dan kekerasan mimetis itu bersifat kolektif. Bukan individual.
Artinya, orang menginginkan apa yang diinginkan orang lain, dan ini mengarah pada konflik karena orang bersaing untuk mendapatkan “barang” yang sama.
Masyarakat menyatukan diri mereka dengan memusatkan hasrat imitatif mereka pada penghancuran kambing hitam, yang merupakan korban yang dipilih komunitas untuk disalahkan atas masalahnya.
https://en.wikipedia.org/wiki/Mimetic_theory
Praktik ini merupakan landasan agama dan telah digunakan sepanjang sejarah untuk menjaga ketertiban sosial dan mencegah kekerasan.
Teori Girard menunjukkan bahwa penangkalan kolektif terhadap kekerasan adalah bentuk pertama peradaban manusia, dan muncul dalam situasi krisis kuno.
https://www.jstor.org/stable/10.14321/j.ctt7zt8kp
Artinya, manusia selalu sadar akan ancaman kekerasan dan telah mengembangkan cara-cara untuk mencegahnya terjadi.
Teori keinginan mimetis Girard menunjukkan bahwa hasrat manusia bukanlah individual tetapi kolektif, dan itu mengarah pada konflik dan kekerasan sepanjang sejarah manusia.
Hasrat mimetis terkait dengan konsep ancaman manusia karena muncul dari fakta bahwa manusia saling meniru hasrat, yang dapat menimbulkan persaingan dan konflik. Masyarakat telah mengembangkan cara-cara untuk mencegah kekerasan, seperti mekanisme kambing hitam, yang merupakan fondasi agama.
Bentuk Modern Ancaman Manusia
Dalam masyarakat modern, persaingan dan kambing hitam ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain polarisasi politik, rasisme, dan diskriminasi. Bentuk-bentuk ancaman manusia ini muncul dari fakta bahwa orang-orang saling meniru keinginan satu sama lain, dan ketika banyak orang menginginkan objek yang sama, hal itu menimbulkan konflik.
Sementara masyarakat modern memiliki undang-undang, sistem keadilan, dan norma-norma masyarakat yang menentang pembalasan mimetis yang secara eksplisit bersifat kekerasan, ancaman kekerasan mimetis masih ada dalam masyarakat modern. Ancaman ini dapat memanifestasikan dirinya dalam banyak cara, seperti penembakan massal, terorisme, dan perang.
Masyarakat menyatukan diri mereka dengan memfokuskan hasrat mimetis mereka pada penghancuran kambing hitam.
Dalam masyarakat modern, kambing hitam ini dapat mengambil banyak bentuk, seperti menyalahkan imigran atas masalah ekonomi atau menyalahkan kelompok tertentu atas penyebaran suatu penyakit.
Pengkambinghitaman ini dapat menyebabkan diskriminasi, kekerasan, dan bentuk ancaman manusia lainnya.
Bentuk pertama peradaban manusia ditimbulkan oleh penangkalan kolektif terhadap kekerasan dalam situasi krisis kuno.
Dalam masyarakat modern, pencegahan kekerasan kolektif ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti polisi, militer, dan bentuk penegakan hukum lainnya. Sementara lembaga-lembaga ini dimaksudkan untuk mencegah kekerasan, mereka juga dapat menjadi sumber ancaman manusia jika digunakan untuk menindas kelompok tertentu atau jika mereka sendiri terlibat dalam kekerasan.
Kelompok Kebencian Online
Orang mungkin ingin menjadi bagian dari kelompok yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama, dan mereka mungkin meniru perilaku anggota lain dari kelompok tersebut agar dapat menyesuaikan diri. Keinginan untuk menjadi bagian ini dapat menimbulkan konflik dengan kelompok lain yang memiliki keyakinan dan nilai yang berbeda, dan juga dapat mengarah pada pengkambinghitaman kelompok tertentu yang dipandang sebagai ancaman terhadap identitas kelompok kebencian online tersebut.
Yang diperebutkan, bisa berupa identitas, kekuasaan, pengaruh, dan perhatian. Konflik menaik ketika tingkat ekstremitas, vokal, dan keyakinan mereka, semakin kuat.
“Kambing hitam” dari kelompok kebencian online adalah orang atau kelompok lain yang menjadi ancaman terhadap identitas atau cara hidup mereka. Tindakan yang terjadi, antara lain: diskriminasi, pelecehan, serangan, agresi, dan kekerasan terhadap kelompok sasaran.
Platform di internet memfasilitasi hasrat mimetis dan memudahkan pembentukan kelompok kebencian online.
Orang bisa bergabung berdasarkan latar belakang politik, agama, atau kepentingan bersama. Mudah terhubung. Ruang aman “tanpa” identitas. Bebas menjelajahi ideologi ekstrem. Intensi kebencian dengan konsekuensi minimal. Menyebarkan pesan. Merekrut anggota baru. Menormalkan pesan, yang semula “tidak pantas” berubah menjadi sarkasme, keterbukaan, sampai menjadi -keharusan- versi kelompok kebencian ini.
Ragam sajian visual. Radikalitasi individu yang mungkin tidak terpapar ide-ide ini. Distribusi. Streaming. Lebih mudah merasakan “hasrat mimetis” orang lain. Lebih mudah meniru orang lain, dalam skala besar dan cepat. Orang dalam satu hasrat mimetis, dapat saling bersaing untuk menemukan siapa yang paling ekstrem, paling vokal, dan paling “yakin” di dalam kelompok. Lebih mudah fokus dalam menargetkan kambing hitam.
Internet menciptakan “ruang gema” (echo chamber) yang memperkuat identitas bawaan.
“Saya suka bergabung dengan kelompok yang satu hobi dan satu aluran dengan saya”. Begitulah ruang gema terbentuk.
Internet bisa menjadi “ruang gema” (echo chamber) untuk memperkuat keyakinan mereka, yang bisa diubah menjadi kelompok kebencian.
Apa itu ruang gema? Ruang di mana orang hanya terpapar pada informasi yang menegaskan keyakinan mereka saat ini. Misalnya, sekelompok orang yang menganut Politik X atau Agama Z, hanya masuk di kelompok yang mengikuti Politik X atau Agama Z. Tersedianya aliran konten dan intensitas pesan, akhirnya akan membenarkan apapun yang dikatakan Politik X atau Agama Z.
S. Mark Heim menjelaskan tesis Rene Girard:
“Terutama pada masa pertumbuhannya, kehidupan sosial adalah tunas yang rapuh, tunduk pada wabah persaingan dan balas dendam yang mematikan. Dengan tidak adanya hukum atau pemerintah, meningkatnya siklus pembalasan adalah penyakit sosial yang asli. Tanpa menemukan cara untuk mengobatinya, masyarakat manusia sulit dimulai.”
https://www.baylor.edu/content/services/document.php/264317.pdf
Kita tentu ingat, bagaimana Hitler merumuskan perubahan di Jerman. Hitler mengajukan antisemitisme, dia ingin menghapus semua Yahudi, karena merekalah penghambat utama. Yahudi menjadi kambing hitam.
Perang melawan kambing hitam, menjadi resep untuk “mencegah” perang masing-masing melawan semua.
Kematian massal memiliki efek mendamaikan, yang tampaknya korban harus memiliki kekuatan supranatural. Jadi korban menjadi penjahat, dewa, atau keduanya, diabadikan dalam mitos.
Rene Girard menyebut ini dalam buku Violence and the Sacred sebagai “Krisis Pengorbanan”.
Perpecahan mengoyak masyarakat, kekerasan dan balas dendam meningkat, orang-orang mengabaikan pengekangan dan moral yang biasa, dan tatanan sosial larut dalam kekacauan. Ini memuncak dalam transisi dari kekerasan timbal balik ke kekerasan bulat: massa memilih korban (atau kelas korban) untuk disembelih dan dalam tindakan kesepakatan universal itu, memulihkan tatanan sosial.
Festival Sejati Bukan untuk Urusan Jinak
Untuk mencegah terjadinya pengorbanan besar, muncul institusi yang hampir universal dan ada di semua masyarakat kuno, sekaligus diterima orang modern, yaitu: “festival”.
Festival berasal dari pemeragaan ritual dari kehancuran tatanan dan pemulihan selanjutnya melalui kebulatan suara yang penuh kekerasan.
Festival sejati bukan urusan jinak. Festival adalah penangguhan aturan normal, adat-istiadat, struktur, dan perbedaan sosial.
Festival menjadi tempat penghancuran perbedaan identitas dan nirkala (timeless).
Orang-orang berkostum Dewa Maut. Orang menjilat api. Pakaian berbahan dedaunan. Riasan dari getah tetumbuhan. Saling lempar nasi. Makan bersama. Teriakan dan umpatan. Topeng untuk menyembunyikan “saya”. Kejenakaan. Pamer kesaktian. Barisan badut. Perbedaan identitas, meratakan hirarki sosial, tidak ada hubungan tuan-hamba, penghancuran warna. Kekerasan dan perselisihan, boleh terjadi. Pesta di ruang terbuka, di mana orang minum dan menari bersama. Hubungan semu sepanjang festival. Sekaligus ada juga.. Permainan. Pameran ritual-semu. Libur kerja. Penyerahan diri kepada “kekuatan lain”, yang selama ini tidak mereka rasakan. Kegembiraan. Keharuan. Dan kegilaan.
Festival dapat memperkuat koherensi sosial dan peringatan tentang apa yang terjadi jika koherensi ini hancur.
Masyarakat modern, semakin tidak setuju dengan “festival” yang dianggap berbahaya. Festival menjadi lebih jinak. Festival dikompromikan dengan agama dan negara. Fasad kegembiraan dan damai sudah diretualisasi, dilucuti, dan ditaklukkan dengan peraturan yang sangat tertib. Tingkat anarki dan merasakan pengalaman dari masa lalu, akhirnya membuat orang modern tidak pernah merasakan derita dan gembira nenek-moyang mereka.
Festival menjadi..
Kontes konsumsi. Hashing, memutar kepala dan tubuh untuk mengikuti musik. Sampah plastik di mana-mana. Kontes fashion. Pertarungan event organizer dan brand fotografi. Ketertiban perayaan. Adu kekuatan lokalitas. Acara berlembaga, yang tidak lagi milik kolektif. Label dan nama di mana-mana. Ketertiban tanpa “ledakan”. Pengulangan pengalaman tahun kemarin, hanya beda intensitas.
Kita mendapatkan orasi dan pesan-pesan sponsor, tentang makna verbal, tetapi makna itu justru menghancurkan semangat festival sejati, yang ingin menghamcurkan perbedaan dan sejenak menghentikan waktu. Misalnya, makna tentang persatuan, menggali sejarah, dan toleransi. Yang bisa membuat festival ini tidak ada, digantikan dengan hal lain. Pembatasan terjadi ketika apa yang disebut “makna”, ternyata adalah “reduksi” atas keindahan festival.
Festival, sebenarnya mengingatkan kita tentang kepalsuan dan kelemahan tatanan manusia di dunia.
Masih bisakah ribuan orang berkumpul tanpa pidato? Masih bisakah persatuan terjadi tanpa papan nama, label, dan foto para tokoh? Masih bisakah, sampai kapanpun, dalam sehari saja, kita bersalaman dan menolong orang lain, berbagi beban, serta potongan makanan, tanpa bertanya nomor telepon dan akun Instagram mereka?
Energi Kekerasan yang Tersimpan
Semua orang menyimpan energi kekerasan. Sebagian membiarkan, sebagian menjinakkan, sebagian besar yang lain tidak menyadari besarnya energi kekerasan itu.
Kegilaan massal berasal dari penyangkalan atas apa yang semua orang tahu benar. Setiap manusia tahu, meski secara tidak sadar, bahwa kita bukanlah peran dan persona yang kita tempati dalam drama budaya kehidupan.
Kita sering tersenyum di tengah publik, bicara sopan, tetapi mengerti sendiri, menjadi saksi, banyak penerapan aturan masyarakat yang sewenang-wenang, di mana orang diatur sampai pertunjukan selesai. Kita sering mengerti kebusukan orang lain, sementara orang itu dielu-elukan di media.
Ketika seorang aktor kehidupan menikmati peran, ia bisa berperan bagus. Sebaliknya, ketika “panggung” telah selesai, tetapi ia masih tetap menjadi aktor, maka di situlah terjadilah psikosis. Penyakit mental tidak bisa membedakan antara imajinasi dan realitas. Kita menjadi gila ketika tidak membuat jeda antara konvensi dan tatanan sosial yang gila, dengan diri yang kita inginkan. [dm]