Ketika orang “mengetahui” sesuatu, kemudian kamu periksa, dia akan terjebak ke dalam Trilemma Münchhausen.

Tidak mungkin seseorang “mengetahui” sesuatu.

Orang-orang beragama, paling sering bersikap tidak ilmiah ketika meyakini sesuatu, tanpa bisa membuktikan apa yang mereka percaya.

Trilemma Münchhausen (Trilemma Agrippa)

Lihat lukisan ini. Baron Münchhausen, seorang tokoh fiktif, sedang melanggar aturan realitas. Kuda yang ia naiki, terperosok ke dalam lumpur. Baron menarik rambutnya sendiri, agar tidak tenggelam bersama kudanya, ke dalam lumpur.

Source:_ Portal Das Goethezeit: Münchhausens Abenteuer di Bildern von Oskar Herrfurth Folge 2, 2018.

Trilema Münchhausen menunjukkan: tidak mungkin membuktikan sesuatu yang benar.

Bagaimana bisa?

Jika sesuatu dianggap benar berdasarkan proposisi, kita bisa meminta bukti atas proposisi itu, berlanjut dengan bukti atas bukti atas bukti atas proposisi tersebut, dan seterusnya. Menjadi regresi tak-berhingga.

3 Jebakan “Mengetahui”

Ini yang terjadi, ketika kita melacak kebenaran, 3 hal ini: penalaran melingkar, regresi tak terbatas, atau aksioma/asumsi.

Penalaran Melingkar

Penalaran melingkar, seperti ini.

> : Apa kamu bisa buktikan kalau bumi tidak bulat?

+ : Jika bulat, pasti sudah ada gambarnya.

> : Ini ada foto yang menunjukkan kalau bumi itu bulat.

+ : Tidak mungkin, karena bumi itu tidak bulat.

Penalaran melingkar terjadi ketika “A benar karena B benar, namun ketika ditanya mengapa B benar”, jawabannya karena “A benar”. Seperti itulah penalaran melingkar.

Lingkaran penalaran ini dapat berkaitan dengan lebih banyak mata rantai individual, yang tidak bisa kita periksa satu per satu, atau tidak seluruhnya benar.

Penalaran melingkar sulit dicari pusatnya, namun mudah dilihat di mana cacatnya. Dia kembali ke proposisi pertama, yang dianggapnya benar, tanpa bisa membuktikan.

Regresi Tak-Terbatas

Ini terjadi ketika kebenaran P1 dianggap benar karena P2, P2 dianggap benar karena P3, sampai tak terbatas.

P1 — > P2 — > P3 —> P4 — > P oo

Saya berikan contoh. Agama punya perintah untuk menjalankan X. Kemudian kita periksa. Historisitas. Konteks. Perintah lain. Keaslian teks. Sampai detail terkecil.

Hasilnya? Perbedaan penafsiran, atau bahkan pertentangan.

Semakin kita periksa, semakin banyak aksioma (yang selama ini dianggap benar) menjadi tanda tanya.

Stephen Hawking mengutip Bertrand Russel yang berdialog dengan perempuan yang tidak setuju dengan pendapatnya, di buku A Brief History of Time. Banyak mitologi dan kepercayaan dalam beragama, menggunakan regresi tak-terbatas dan meminta pemeluknya memisahkan antara logika dan agama.

Mitos mengatakan, Bumi disangga kura-kura, atau Bumi disangga gajah.

Proposisi semacam itu tidak bisa dibuktikan, namun sangat dipercaya.

Aksioma (Fakta Kasar atau Postulat)

Terjadi ketika orang tidak bisa menjelaskan “mengapa”, menerima suatu fakta begitu saja, atau menjawab “.. karena memang begitu”.

  • Aksioma hanyalah asumsi yang disepakati banyak orang.
  • Orang banyak bisa salah.
  • Semua pengetahuan dibangun di atas asumsi.

Aksioma dapat berubah berdasarkan pemahaman kita tentang banyak hal.

Batas Ilmu

Ilmu sebatas percaya apa yang mereka tahu, namun mereka tidak tahu.

Para ilmuwan mengerti fusi nuklir, namun tidak pernah melihat perang nuklir. Mereka percaya, perang nuklir memiliki daya rusak terhebat. Secara ilmiah, itu masuk akal. Kalkulasi mereka benar.

Sedangkan apa yang dipercaya selama ribuan tahun, bisa salah.

Pernah melihat angsa hitam? Selama 1500 tahun, orang Eropa percaya, tidak ada angsa hitam. Mereka menerima aksioma: semua angsa berwarna putih. Pada masa itu, orang Eropa percaya, semua angsa berwarna putih.

Ini adalah periode di mana orang Eropa tidak punya “pengetahuan” tentang angsa putih, mereka punya “kepercayaan” tentang angsa putih.

Apa yang terjadi kemudian? Pada tahun 1697, orang Eropa bertemu dengan angsa hitam di Australia Barat. Mereka tidak lagi menganggap bahwa tidak ada angsa hitam.

Pernyataan “semua angsa berwarna putih” menjadi tidak benar.

Yang terjadi adalah negasi pernyataan tersebut, yaitu: “Ada (sebagian) angsa yang berwarna bukan putih”.

Ingat lagi, pada kasus “angsa hitam” di atas: Orang Eropa selama 1500 tahun, “percaya” bahwa semua angsa berwarna putih. Mereka bukan “mengetahui” bahwa semua angsa berwarna putih.

Sains berdasarkan falsifikasi teori, bukan konfirmasi teori. Sains tidak bisa dikonfirmasi.

Sains tidak memiliki kebenaran, melainkan hanya “kepercayaan” akan “kebenaran” sains.

Sheldon, dalam serial “the Big Bang Theory”, berkata kepada ibunya, “Saya akan habiskan waktu saya di sini, di Texas, untuk mengajarkan evolusi kepada para kreasionis.”. Ibunya marah, “Jaga mulutmu, Shelly. Setiap orang berhak atas pendapat mereka. Sheldon menyanggah, “Evolusi bukanlah opini, itu fakta.”. Ibunya menjawab, “Dan itu -pendapat- kamu.”.

Thomas Kuhn dalam buku The Structure of Scientific Revolutions, menjelaskan bahwa sains tidak mengalami akumulasi pengetahuan yang lambat dan konstan, melainkan ada periode yang dia sebut “sains normal” yang berlanjut sampai cukup banyak anomali yang terbentuk hingga titik di mana krisis terbentuk dan orang tidak dapat lagi mengandalkannya. Paradigma terkini untuk menjawab anomali-anomali tersebut. Ini mengarahkan orang untuk memeriksa dan mempertanyakan aksioma.

Ketika aksioma baru akhirnya dibuat dan ditetapkan, sains kemudian berlanjut seperti biasa, menjawab pertanyaan dalam paradigma baru.

Pergolakan paradigma ini dikenal sebagai “pergeseran paradigma”. Contohnya, revolusi Copernicus.

Ketika seseorang “mengetahui” sesuatu, mereka sebenarnya terjebak ke dalam  Trilemma Münchhausen. Kamu tidak mengetahui sesuatu. Apa yang kita anggap tahu, tidak lain hanya kesementaraan dan memeriksa pengetahuan itu sendiri. [dm]