Mengapa Nlnarasumber tidak berani bicara “kebenaran”?

Bersikap normatif dan “sebagaimana orang lain” adalah pelarian dan jalan-pintas tercepat. Jangan heran kalau jawaban dan pernyataan mereka datar, takut, atau berbohong.

Pada prinsipnya, tidak semua narasumber bisa mengartikulasikan pemikiran mereka. Salah sebut istilah, terlalu sering memperkirakan kualitas tanpa menyebutkan ukuran, tidak bisa parafrase, semua itu hal biasa dalam suatu wawancara.

Narasumber tidak berani mengatakan “kebenaran”, ketika:

  • Kamu tidak pintar bertanya. Jangan ajukan 7 pertanyaan yang tidak ingin dijawab orang.
  • Ingin tampil lebih baik daripada dia sebagaimana adanya. Menunjukkan nahwa dia berpengalaman, ahli, dan tahu masalah.
  • Mendapatkan jawaban yang secara sosial mereka inginkan. Membayangkan konsekuensi sosial yang akan terjadi.
  • Menjawab pertanyaan tentang perilaku sensitif. Dia menganggap pertanyaan kamu sebagai issue moral. Orang mendahulukan moral daripada hal-hal faktual. Misalnya: merasa tidak enak kalau mengungkapkan kondisi korupsi di kantornya, takut menjatuhkan nama baik kawannya.
  • Ingin “menolong” atau “mempersilakan” pewawancara. Tujuan baik untuk menyenangkan pewawancara, karena beranggapan pewaeancara sedang menyelesaikan tugas.
  • Responden merasa memiliki peran penting dan merasa menjadi penentu hasil investigasi menjadi lebih baik.
  • Narasumber membayangkan akan ada pertanyaan berikutnya, yang lebih sulit atau lebih banyak. Cenderung bermain datar dan aman.

Gunakan metode elisitasi dalam wawancara jika memungkinkan. Berikan pengantar yang lebih halus, agar narasumber tidak takut. Perjelas konsekuensi yang mungkin terjadi. Ceritakan bagaimana kamu akan mengolah data. Kalau memungkinkan, beri jaminan “off the record” dan prinsip melindungi narasumber. [dm]