Betapa sering orang mencari mana yang paling benar. Kalau terdesak, mereka mencari suara dari dalam diri, “Menurutku, ini yang paling benar..”.

Gagasan dan identitas bertabrakan karena kamu hanya memperhatikan “yang terbaik” bagimu, yang datang dari masa lalu.

Kamu bercermin, atau berpikir sebelum tidur. Selalu memperhatikan yang “belum”, ingin yang terbaik, dan menyingkirkan pikiran buruk.

Sampai akhirnya kamu berjarak dari pikiranmu sendiri. Terlalu jauh.

Pernahkah kamu terkejut pada gagasanmu sendiri?

Kalau jarang, mungkin karena kamu jarang mendengarkan apa yang bukan suaramu, jarang memperhatikan apa yang tidak sejalan denganmu.

Setiap bercermin, kamu bilang, “Rambutku kurang bagus, sebaiknya aku keramas. Wajahku lusuh, sebaiknya aku cuci muka.”. Atau ketika mau tidur, kita memikirkan “keinginan” yang sekali lagi sejalan dengan diri kita. “Besok saya mau ke pantai, untuk refreshing”.

Saya menuruti keinginan saya. Kita meredakan kebisingan. Kita marah ketika suara dari dalam kepala, tidak sinkron dengan keinginan kita.

Betapa sering kita bilang, dalam hati, “Saya tidak suka itu. Saya lebih suka begini.”. Kamu memiliki identitas jika bisa akrab dengan kebisingan internal di dalam kepala.
Pikiran bebas berubah menjadi hanya “pikiran”, kemudian menjadi mekanisme pertahanan diri untuk menjadi ” ini” saja. Kehilangan petualangan.

Jika sampai hilang daya-mengenal kebisingan ini, identitas kita hilang. Kamu bisa mengatakan gagasan kamu, jika seperti berbicara kepada diri sendiri.
Mengatakan gagasan adalah menjalankan ketegangan. Kita bekerja berdasarkan ketegangan, antara pikiran membutuhkan uang dengan keinginan mewujudkan gagasan.

Kita tenang jika mengenal perbedaan ini sejak awal.

Pikiran buruk, rasa malas, serakah, pamer, semua itu datang bahkan jika kita tidak dalam pengaruh dari luar. Itu pikiran yang manusiawi.

Kita sering digilas oleh ide-ide yang tidak “personal” sama sekali, yang tidak memuaskan secara pribadi, namun demi diterima oleh orang lain.

Saya sering melihat itu. Orang ramah agar diterima orang lain. Bekerja agar diterima orang lain. Beribadah agar diterima orang lain. Dan semakin tidak mengenal pikiran-pikiran buruk dari dalam kepala.

Media juga demikian. Mereka merasa harus update agar diterima pembaca. Mereka menulis untuk pembaca, demi agar diterima, meskipun sering memaksa media ini untuk menjadi setengah pencerita dan setengah pembohong.

Media tidak sepenuhnya melakukan percakapan kepada diri media itu sendiri.
Mereka memaksakan keadaan agar orang menjadi “publik”, menjadi seperti orang lain. Terhitung sebagai angka share, terhitung mana influencer mana bukan. Dan kebanyakan media tidak melihat pembaca sebagai “person” lagi. Karena satu kesalahan: tidak menemukan “suara batin” dan “deteksi keburukan”, akhirnya mereka menjadi seperti media lain.

Orang lain menjadi seperti orang lain. Identitas kabur. Pluralitas menjadi rata, sewarna.

Ingatlah, “Gagasan kamu bukanlah identitas kamu, melainkan selangkah lebih maju menuju pemecahan masalah kamu.”.

Kamu hanya perlu meningkatkan gagasan kamu menjadi lebih dalam dan lebih maju. Jangan biarkan identitas justru membunuh gagasanmu.

Itu artinya bisa berbicara dengan diri sendiri. Tidak menjadi ” orang lain”. Tidak membutuhkan suara pembenaran. [dm]