in

Sedah

126

Pada zaman dahulu kala,,

Di masa kerajaan Kediri, tahun 1135-1157, berkuasa seorang raja, bernama Jayabaya.

Ia berada dalam lindungan Dewa Wishnu. Tidak seperti kebanyakan manusia lain, Jayabaya telah digariskan menjadi seorang raja sejak kecil, dan akan berada dalam naungan Wishnu.

Wishnu mengatur keseimbangan jagat raya. Bahwa ketenangan kadang harus dicapai dengan pertempuran. Itu sebabnya, ia dianugerahi kesaktian, dan orang-orang yang siap menjaga kejayaannya. Bahwa kejayaan hanya bisa dicapai dengan merawat alam, menegakkan arca dan simbol-simbol kemakmuran.

Saat itu, kemakmuran berwatak perempuan. Upacara dan ritual di mana-mana. Hujan masih pada musimnya. Dan perempuan memimpin persembahan. Perempuan pula yang mengajarkan bagaimana ketenangan dapat tercapai, dengan menanam, dan menjaga tubuhnya agar selalu memuat jagat raya.

Di candi-candi, pada masa itu, banyak orang bersila dan membaca. Bahkan angin bisa terdengar sedang mengucapkan mantera. Alam sangat selaras. Pakaian sederhana. Rumah-rumah dibangun dengan persembahan, berupa alang-alang, genting, dan kayu-kayu tua. Suara sapi dan susu diperah, di halaman berlarian bocah-bocah bermain perang dan membayangkan diri mereka sebagai pasukan Wishnu.

Senandung manusia keluar karena musim mengeluarkan bunyinya.

Bumi seperti bisa bertukar tempat dengan langit, kapan saja.

Berhitung, hanya menjadi milik orang-orang pintar dan perempuan penjaga adat. Berunding, tak pernah terbuka, hanya milik para punggawa dan brahmana.

Namun, watak Wishnu membutuhkan keseimbangan. Yang kadang berlebihan. Dalam keadaan yang tenang, Raja Wishnu membutuhkan yang lebih.
Jayabaya milik rakyatnya, dari hamba sahaya sudra, ksatria, sampai brahmana. Bahkan patung garuda, seperti tersenyum gagah, menopang gambaran Jayabaya.

Kemakmuran, bukan soal angka. Kemakmuran bagi Raja Jayabaya adalah keabadian jagat raya.

Pada suatu malam yang gelap, di atas rerumputan yang tenggelam oleh mawar liar, Raja Jayabaya merenung, memandang bulan. Ia ingin, kejayaannya abadi, atas restu para dewa.
Bukan dengan emas, bukan dengan pasukan, ataupun pujian.

Ada yang bisa membuatnya melampaui semua itu. Sesuatu yang akan membuatnya dikenang, sangat gemilang, dan tidak akan tenggelam seperti matahari, tidak jauh seperti bintang, tidak segelap mimpi.

Di tangannya, ada sebuah kitab, yang terbuat dari lontar dan tulisan dari mancanegara. Sebuah tanah yang jauh, melewati samudera. Ia sendiri, hanya bisa memegang daun-daun lontar itu. Ia hanya tahu, itu kitab tentang cerita lama, bernama “Bharatayuda”.

Seperti memegangi rasa malu, ia menaruhnya di atas meja.

Keesokan paginya, ia ceritakan keinginannya, kepada para punggawa kerajaan. Dari keinginan, jadilah titah.

Dari titah, sebuah sayembara diumumkan.

“Barangsiapa yang bisa menerjemahkan kitab Bharatayuda ini, sampai selesai, maka Raja Jayabaya akan memberikan kepadanya hidup merdeka, gelar yang dapat diturunkan untuk anak cucunya, dan namanya akan dikenang sepanjang masa.”

Jayabaya, turun sendiri, melihat seperti apa rakyatnya menerima sayembara itu.

Pada sebuah desa, ia melihat, seorang perempuan di antara orang-orang lain, sedang menunduk. Tak berani menatap rajanya.
Seperti apa wajahnya, Raja Jayabaya tidak tahu.

Hanya terlihat rambutnya yang hitam. Begitu rambut itu terlihat, terbayanglah malam-malam panjang. Semua perempuan yang pernah menemaninya, terbang dari pikirannya, hanya tinggal ia dan perempuan ini. Malam-malam yang hitam, milik musim dan rembulan. Pintu tertutup dan suara canda berdua. Dan pakaian yang terlepas, tanpa malu di hadapan kegelapan.

Tanpa isyarat, seorang pengawal mengerti, apa maunya Raja Jayabaya.

Pelan-pelan perempuan itu mendongakkan wajahnya.

Mestinya, dagu perempuan ini tak pernah tersentuh ujung tombak. Bahkan bungapun jangan. Hanya harum bunga yang telah lebur dengan air, yang pantas menyentuhnya. Atau angin taman kerajaan. Atau lulur yang telah disiapkan dari saripati tetumbuhan terpilih.

Tanpa itupun, kulitnya memancarkan gelombang yang tak terlihat. Gelombang yang membangkitkan dada Raja Jayabaya. Sekujur tubuhnya adalah warna matahari yang hangat. Senyumnya adalah suara merdu yang belum berwujud, kata-kata manis yang akan diingat siapa saja.

Raja Jayabaya menuding dan menjentikkan jarinya.

Perempuan itu ikut rombongan ke istana, tanpa berpamitan kepada ladang dan kawan-kawannya.

Di seberang jalan, seorang pemuda tegap bermata ujung keris, sedang geram memandang kejadian itu.

Musim hampir habis, banyak orang gagal mengikuti sayembara. Satu per satu gagal. Ada yang dibuang, ada yang dipulangkan, ada yang dipenggal karena salah merangkai kata.

Namun, di sudut kampung yang jauh, pemuda yang beberapa waktu lalu di seberang jalan, sedang meraut ujung kayu dan memeras getah tanaman. Ia sedang menulis di atas lontar. Ia bertekad mengikuti sayembara.

Berbulan-bulan ia kehilangan jejak-tidur. Ia menghafal huruf-huruf, mengingat kata-kata asing, dan terus belajar menulis dan menerjemahkan.

Penanya tidak setajam pedang, sebab tak pernah untuk menggores. Namun ia menghadapi lebih dari sekadar pertarungan bersenjata. Sebab baginya, menulis berarti memahat di atas batu, yang akan terbaca selamanya. Satu kesalahan, satu garis, berarti segalanya.

Sekarang ia telah mampu menggoreskan pena dengan terpejam untuk menuliskan syair yang hanya bisa diucapkan bulan dan angin. Ia harus terpejam sebab tidak ada bedanya menyabetkan pedang, menggambar, atau menulis baginya.
Pada hari di mana keberanian telah berpadu dengan penulisan, ia mengemasi barang. Ia hanya punya kantong berisi sehelai jubah, daun lontar kosong, tinta, dan seraut pena. Sedangkan apa yang pernah ia baca, telah dihafalnya di luar kepala.

Ia berangkat menuju istana.

Sesampainya di istana, pintu tak terbuka begitu saja. Beruntunglah ia, sebab dilihatnya ada seorang penjaga di istana, yang mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

“Apa maumu datang ke istana ini?”

“Hanya aku yang bisa menghapus mimpi-buruk Raja Jayabaya.”

“Dengan apa?”

“Dengan mewujudkan mimpinya. Ia tidak menungguku, tetapi akulah satu-satunya orang yang ia tunggu selama ini. Yang tidak dapat ditemukan dengan sebuah sayembara. Mintalah orang-orang yang sedang menerjemahkan itu, untuk pulang. Mereka sia-sia sejak aku datang.”

Mendengar jawaban itu, seorang pengawal yang lain tertarik, untuk menahannya.

“Tunjukkan kemampuanmu dalam berbahasa.”

“Aku tidak memiliki bahasa. Aku hanya perantara bagi matahari dan tetumbuhan, untuk menuntun mereka dalam keseimbangan, keselarasan. Bahwa ujung tombakmu tak pernah menuliskan apa-apa ke tubuh musuhmu. Kamu memegang pena yang sia-sia, hanya memegangi ketakutan dan peperangan.”.

Penjaga itu menyadari bahwa memang mereka takut berperang dan tak pernah sekalipun membunuh musuh.

Pintu gerbang terbuka. Keduanya mengantarkan pemuda itu kepada Raja Jayabaya.

“Benarkah kau berani menerjemahkan Bharatayuda?”

“Sang Raja tak perlu menutup-diri dari aksara yang tak terpahami. Biarkan tanganku bekerja untuk pikiran Sang Raja. Jika saya berwujud mimpi, maka mimpi itu adalah terjemahan yang telah jadi. Saya hanya meminta sebuah batu yang merdeka, tempat saya berada di atasnya, selama menulis.”

Dengan menahan marah, Raja Jayabaya mengabulkan permintaan itu.

“Kau tahu hukuman apa yang akan kau terima jika gagal?”.

“Telinga saya telah mendengar 39 orang pulang menyeberang, 7 terpenggal, dan tak terhitung yang mati karena malu. Sejak belajar menulis, hukuman saya telah ditetapkan, duhai Sang Raja, yaitu, ribuan orang berjajar dari masa depan yang akan memeriksa, jauh lebih pintar dari saya, jauh lebih kejam dari musim yang datang lebih awal dari biasanya. Saya biasa melihat bumi bertukar tempat dengan langit selama belajar, akan menghapus mimpi-buruk paduka.”

Raja Jayabaya hanya mengangguk.

“Siapa namamu?”

“Sedah, Sang Raja.”

Sedah mendapatkan lantai bersih, namun ia memilih duduk di atas lempengan batu lebar, untuk menulis. Ia mendapatkan sajian pala terpendam dan ayam, namun memilih makan seadanya.

Dengan cepat ia menerjemahkan. Seperti sapi mengunyah rerumputan segar dan ombak yang tak-henti menyentuh pantai, ia menulis dengan cepat. Seperti musim, kadang ia kerontang, kadang ia basah dalam tangis, ketika membaca apa yang ia terjemahkan.

Kepada hatinya, tempat segala macam rahasia, ia membatin.

“Raja Jayabaya tak tahu sesungguhnya Bharatayuda. Aku yang mengukir di atas batu dan tak-terhapus. Ini hanyalah aksara, bukan kekuasaan. Namun dari cerita ini, seorang petani dapat mendengar sabda para dewa, mengatur strategi peperangan, dan belajar merebut kekuasaan. Aku menggenggam pena bara, mendulang seribu senjata di tanah ini.”

Sesekali Raja Jayabaya mengujinya, memintanya menguraikan beberapa pupuh (paragraf) yang ia tuliskan. Sedah menguraikannya kata demi kata, bahkan sesekali memperagakan bagaimana ia menulisnya. Tak ada lontar tersisa, tanpa keluhan sama sekali.
Raja Jayabaya puas, menaikkan layanan untuknya. Namun sedah tak bergeming. Keinginannya menerjemahkan lebih kuat daripada Raja Jayabaya.

Pada suatu malam, ia tidak menyentuh pena sama sekali. Apalagi makanan. Ia rebah, memandang bulan, dan pelan-pelan airmatanya menetes. Ia sedih namun belum terlihat, sedihnya karena apa yang ia terjemahkan ataukah merindukan kampung halaman.

Raja Jayabaya menghampirinya.

“Apa yang membuatmu sedih?”

“Saya sampai pada gambaran yang tak-mungkin.”

“Tentang apa?”.

“Saya sampai pada Salya Parwa. Ini adalah parwa kesembilan dari 18 parwa. Diceritakan dalam Bharatayuda, Prabu Salya berpamitan kepada isterinya yang tercinta, sebelum berangkat menuju peperangan. Hanya saja, saya tidak sanggup menggambarkan kecantikan isteri Prabu Salya.”

“Bagaimana agar bisa kaugambarkan?”.

“Hanya jika saya berkesempatan untuk bertemu sesaat dengan bidadari. Atau bertemu dengan perempuan tercantik di dunia ini. Biarpun berjarak 40 hasta, atau berjarak seperti kemarau sekarang dengan kemarau berikutnya, tentu saya sanggup menggambarkan.”

Sang Raja Jayabaya termenung.

Sedah menunggu kapan ia bisa memerangkap kesadaran Sang Raja.

“Sang Raja, saya hanya mendengar kecantikan seperti itu, tidak lain dimiliki oleh pendamping Raja Titisan Wishnu.”

Sang Raja tertawa dan menepuk-nepuk dadanya sendiri.

“Tepat pada malam bulan purnama, 3 hari lagi, kau akan bertemu dengan Ajeng Purbarini. Agar kau bisa selesaikan penerjemahan ini.”

Sedah menyembunyikan hembusan nafas lega.

Inilah yang selama ini ia tunggu. Sedah mengorbankan 2 musim dan tidurnya, demi menulis. Seagung apapun menulis, hanyalah jembatan bagi kedua kakinya untuk sampai pada Purbarini, kekasihnya yang terampas.

Malam bulan purnama, yang digariskan musim dan tangan-tangan tengadah, telah datang.

Bau bunga, angin kemarau yang segera berganti, dan orang-orang datang di halaman istana.

Raja Jayabaya berjalan beriringan dengan Ajeng Purbarini. Wishnu menggenggam 7 samudera dan taman langit, berwujud perempuan bernama Purbarini.

Sedah terhenyak. Anggur di tangannya hampir saja lepas. Mantera yang selalu diucapkannya di bawah bulan, mendadak berhenti begitu saja. Seluruh tarian terkesiap, semua tangan sigap menanti bagaimana tangan Purbarini akan melambai, sekejap saja.

Tangan Purbarini melambai kepada semua orang.

Orang-orang pelan-pelan kembali ke dirinya masing-masing.

“Purbarini..”

Sedah menggumamkan nama itu. Angin mengantarnya. Angin memegangi dagu Purbarini, lembut sekali. Wangi bunga mendadak mengalir dari arah Sedah berdiri. Purbarini menoleh.

Purbarini seperti melihat pintu mimpinya, dan pintu itu menganga seperti bibirnya. Kekasihnya di sana!

Sedah ingin mencabut anak panah dari dadanya, dari tatapan Purbarini, dan menunjukkan bagaimana tintanya sebenarnya berwujud darah, karena merindukan Purbarini.

Sedah merindukan Purbarini melebihi ringkik kuda yang meronta di tengah sabana dan terik matahari. Tersiksa dalam melatih-diri menghadapi peperangan yang sebenarnya selalu terjadi.

“Purbarini..”

Ia hanya punya satu daya, mengucapkan nama itu.

Ia seperti menyebut seluruh nama yang ia rasakan sepanjang hari. Sedah seperti memampatkan seluruh sebutan. Matahari, apalah artinya. Musim panen, apalah artinya. Kecipak air di sungai di mana ikan melompat riang menjemput ajalnya di ujung kail, apalah artinya. Semua hanya lembaran-lembaran lontar pikiran Sedah yang menuliskan satu nama.

“Sedah..”

Ucapan lirih Purbarini tak bisa ia dengarkan sendiri. Hanya bibirnya yang bisa mendengarkan nama Sedah, kekasihnya, yang ia ucapkan. Namun bibir hanya berkata, tak mendengar. Seluruh kulitnya selalu mendengarkan bagaimana dada Purbarini menggetarkan detak jantung yang berujung pada satu nama.

Tak ada yang menyadari pertemuan berjarak itu.

Orang-orang menari mengitari api unggun. Tubuh Purbarini lebih panas dari itu. Terbayang keduanya berkejaran menembus hutan, berciuman di antara bunga, tanpa takut sedikitpun kepada harimau, saat dulu mereka masih menjadi kekasih.

Mereka pernah seperti belukar dan lumut. Mereka pernah sedekat perang dan maut.

Raja Jayabaya berdiri.

“Di atas pengorbanan, jagat menginginkan keselarasan. Dari sanalah, kita bangun mimpi. Kerajaan ini akan mekar mengiringi waktu. Dan mimpiku yang telah berjalan bermusim-musim, untuk mengabadikan kisah peperangan Bharatayuda, segera akan terwujud. Inilah Mpu Sedah, yang telah menerjemahkan separuh Bharatayuda, lebih indah dari aslinya.”

Semua orang bersujud. Mpu Sedah menunduk.

Segenap rambutnya yang terurai, disapu angin, yang ingin mempertemukannya dengan rambut Purbarini.

Tangan Purbarini dan Sedah hanya berjarak satu lengan. Tertahan oleh malam yang hampir habis.

Malam berbisik di kedua telinga Sedah dan Purbarini.

“Para Dewa tak pernah mengerti kalian berdua, hanya aku yang mengerti. Aku memiliki angin dan nyala api. Yang akan membuat kedua tanganmu menari, kedua tubuhmu bersatu.”.

Di atas batu, Sedah bersedih. Ternyata lebih menyakitkan bertemu tanpa mungkin bertemu lagi.

Di dalam ranjang kerajaan dan perabotan yang terbuat dari kayu berusia ratusan tahun, Purbarini tersenyum sambil mengusap air matanya.

Ia keluar dari kamar.

Sedah berdiri di ambang halaman.
Keduanya bertemu.

“Kau telah menyiksaku, Purbarini. Kau pergi tanpa berpamitan kepada ladang dan hutan. Memilih kedua kakimu terantai mawar menjadi sajian Wishnu. Apakah kau takut kepada langit, melebihi jagat raya yang mengijinkan kita bersatu dalam janji?”

“Kau dapat menuliskan amarahmu pada batu, Sedah. Kau tidak mengerti seperti apa berlari mencari ujung pulau, menghadapi gelombang pasang dan belajar berenang, namun ternyata pulau itu hanyalah punggung kura-kura raksasa yang bergerak tanpa henti.”

“Apakah musim hujan masih sering menyakitimu?”

“Dengan seribu lapis sutera, kau membawaku terbang ke langit dingin di dalam dadaku, Sedah. Dingin adalah kesedihan terhangat sejak kita berpisah.”

“Dosa sedang menjadi ranjang awan, tempat kita terbang tanpa hukum-daratan, Purbarini. Aku meninggalkan parang dan pedang, mengubahnya menjadi pena teraut. Aku memeras getah tetumbuhan, berwarna merah menghitam. Rinduku hanya bisa diterjemahkan dengan warna yang tak lagi dipersoalkan dari mana asal tinta itu. Aku menerjemahkan peperangan, bagaikan menuliskan rinduku kepadamu.”

“Hapuslah semua tinta itu, Sedah. Kau telah sampai.”

“Kau tahu apa yang terjadi setelah aku menghapusnya dalam pertemuan ini?”.

Purbarini mengangguk.

Sedah setengah menunduk.

Purbarini melepaskan selendang di pundaknya. Cahaya rembulan terlihat di sekujur kulitnya yang mulai terbuka.

“Artinya, setelah pertemuan ini, kita menghapus garis darah. Kita hanya punya cinta, namun tidak anak-cucu. Nasib kita benar-benar berhenti di sini, Purbarini.”.

“Biarlah tombak menggoreskan ujungnya tepat di dada kita, yang telah terbiasa tersiksa. Aku telah menjadi pintu terbuka untukmu.”

“Aku telah menuliskan peperangan abadi di atas lontar. Sepeninggalku nanti, siapapun dapat membaca dalam bahasa bumi Jawa, untuk berperang seperti para raja, seperti Krishna. Goresan rinduku kepadamu, akan menjadi garis berdarah terpanjang. Jawa akan menjadi tanah tumpah darah.”

“Biarkan seperti itu, cinta ini kau tuliskan, Sedah. Peluk dan cintailah aku, dalam abadi.”

Lalu keduanya berpelukan. Ciuman pertama, mereka ulang di situ. Nafas ciuman perpisahan, mereka dulang di situ. Menjadi baja mencair. Menjadi elang yang membumbung tinggi.

Bulan menutup muka. Angin diam, tak bisa memutuskan apa-apa. Semua bersaksi, pada percintaan Sedah dan Purbarini, yang sedang menggoreskan kalimat-kalimat yang tak bisa masuk dalam Bharatayuda.

Mereka bercinta dalam garis penghabisan. Titik darah yang mereka tentukan sendiri.

Lepas, lepaslah duka. Sembuh, sembuhlah rindu yang luka. Biarlah semua menanggung petaka, bersujud meminta ampun kepada para dewa.

Sedah menuliskan Bharatayuda yang terhenti, dengan ciuman terakhirnya.

Berkali-kali ia keluar dari tubuh Purbarini. Berkali-kali Purbarini menjadi bumi yang menampung suka dan duka Sedah.

Mereka bercinta sampai pagi.

Pada pagi yang terlambat bagi pelukan Sedah dan Purbarini, terdengar suara pekak dan derap langkah.

Keduanya menerima hukuman mati. [dm]

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Kota Lama Semarang.

Strategi Berpikir

Fiksi Surga dan Rahim yang Terbuat dari Ruangan