Lalu dia merindukan kematian. Dia seperti King Lear, yang secara fisik membutakan matanya sendiri, agar tidak menjadi saksi-mata, atas perubahan buruk yang terjadi.
Rama Bargawa bertanya kepada para dewa, siapa yang dapat menyempurnakan ajalnya. Para dewa memberikan petunjuk, bahwa kematiannya akan “disempurnakan” titisan Dewa Wishnu.
Dia mencari siapa titisan Wishnu itu. Ketemu. Namun dia menang, dan dia komplain kepada para dewa. Dia mendapatkan petunjuk baru, bahwa titisan Wishnu yang akan menyempurnakan ajalnya, belum dilahirkan.
Apa yang terjadi dengan masa menunggu?
Rama Bargawa mendapatkan ramalan (prophecy) bahwa kelak akan ada pertarungan terbesar, bernama Baratayuda.
Perang besar itu belum terjadi. Rama Bargawa melakukan hal yang tak pernah dibayangkan para dewa. Para ksatria Pandhawa dan Kurawa belum lahir.
Rama Bargawa menciptakan Padang Kurusetra. Kelak, tempat itu akan menjadi medan peranag terbesar. Sebab dalam perang besar itu, titisan Wishnu akan menjadi ahli strategi para Pandawa.
Selama menunggu pula, dia terus mencari titisan Wishnu. Dan terus membunuh.
Rama Bargawa adalah sosok yang menjadi “korban” pemberitaan Dewa Indra.
Dia kehilangan ibunya. Dia terkena Hercules syndrome, membenci peran politik bapaknya. Dia lari dari tanggung jawab seorang putera mahkota. Dia mendambakan “kematian” di masa depan, dengan menciptakan medan peperangan, yang kelak akan mendatangkan peran seorang titisan Wishnu bernama Krishna. Dia tidak mau melihat perubahan yang tidak dia inginkan. Entah kekuasaan, entah kesalahan dia membaca petunjuk Dewa Indra.
Apalah artinya kesaktian jika “sekarang” tidak pernah kamu anggap ada? Jika hidupmu terlalu terlibat, tak berjarak dengan masa depan? Hanya menunggu kematian.
Sebab menangisi kehilangan, dan melarikan diri mencari kematian itulah, dia tercatat sebagai arsitek medan peperangan terbesar, yang membawanya kepada kepastian bernama: Baratayuda.
Kadang, ada sisi Rama Bargawa dalam kehidupan seorang pembaca (berita) yang mengidealkan sebuah masa, di mana hidup ini akan berakhir dengan kematian sempurna. Yang sebenarnya dia ciptakan sendiri.
Seorang pembaca bisa jadi membenci berita peran politik para bapak di Jakarta, seorang pembaca bisa jadi malu melihat tanah-air (ibu pertiwi) dieksploitasi sebagian media, habis-habisan.
Anda tidak sedang menunggu saat membaca dan share berita. Anda sedang menentukan, peperangan seperti apa yang akan terjadi. Atau bisa menuliskan berita sendiri. [dm]