Selfie menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri, bagi sebagian orang.

Selfie mengatakan, “Inilah saya.”, “Saya pernah..”. Konteks selfie, secara visual, maupun di caption, sering kehilangan kedalaman. Terbatas.

Lebih mudah memotret daripada menulis; meskipun tidak sebenarnya demikian. Orang berlatih menulis, sebelum berlatih memotret.

Selfie, membentuk mental defensif. Pose diatur. Merancang -candid-, dengan berpura-pura -candid-. Edit, buang yang buruk. Ulangi kalau perlu. Lihat tanggapan. Dapat berapa Like dan Comment?

Begitu ada aba-aba, orang menjadi defensif. Sudah ada -timer-, tetap saja terkejut ketika pembawa bendera meneriakkan “Mulai!”. Lalu orang bertindak berbeda, ketika tahu, fotonya akan dipamerkan.

Apakah selfie kamu bercerita lebih banyak? Betapa sulit menampilkan “saya” yang berbeda, dengan konteks, view, dan tujuan unik.

Ceritakan sesuatu.

Bukan “saya di sini” tetapi “ada apa di sini”. Bukan “saya bersama..” tetapi “bagaimana” orang di samping saya. Bukan “saya sedang apa” tetapi “mengapa” saya melakukan ini.

Kadang, kehadiranmu perlu kamu gantikan dengan cerita kamu. Buat orang lain menyingkap lebih dari sekadar wajah.

Orang lebih dulu belajar berpikir, jauh sebelum belajar menulis.

Ajak mereka memasuki “mengapa” dan “bagaimana”. Menuliskan cerita, bertutur sebagai manusia. Kadang selfie kamu justru merusak cerita sebenarnya. Kadang kamu perlu melakukan fotografi, tanpa kamera. [dm]