Dalam “semiotika” tradisional : ) “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified) menciptakan “tanda” (sign). Misalnya, kamu melihat lukisan. Penanda berupa gambar dan petanda berupa informasi yang diterima oleh pemirsa dalam komunikasi.
Aspek ini tidak bisa diukur. Kerumitan terjadi pada evaluasi hubungan abstrak antara tanda, persepsi, dan implikasi sosiologis yang terjadi.
Apresian menerima pesan-pesan konotatif yang berkembang, sehingga mereka membaca “penanda” secara berbeda. Misalnya: gambar apel.
Apel dalam teks tradisional berarti.. Cerita Adam, dosa, manusia turun ke Bumi, dst. Berkembang menjadi logo Apple, Amerika, teknologi, dst. Konotasi yang “aman” (tidak terlalu berbahaya) menjadi masalah ketika gambar Apple secara efektif melanggengkan stereotype yang luas, gagasan esensialis, melalui aktivitas penandaan atau apa yang dikonotasikan oleh petanda.
Stereotype ini juga terjadi pada warna. Saya mengikuti akun Tiktok seorang pakar warna lukisan. Mulai nama warna, bagaimana ia dibuat, mengapa pelukis A suka warna tertentu, dst. Ada lagi buku Ink Making yang berisi cara membuat pewarna alami (natural dyes). Warna tidak semudah yang dibayangkan orang. Dalam dunia desain, bicara tentang warna adalah “universe” tersendiri.
Pada sisi lain, para desainer yang sebenarnya beraliran tradisionalis, bikin cerita tentang .. ini warna maskulin, ini mengesankan keceriaan, dll. Asosiasi yang berkembang, spektrum luas, tetapi mengarahnya ke marginalitas yang ditentukan, menjadi gagasan populer, kemudian terjadi hubungan bawah-sadar antara apresian dalam kesan mereka atas warna tertentu, yang melampaui batas-batas konten eksplisit.
Film juga memakai konsep beginian, katanya untuk memperkuat hubungan antara narasi dan respons emosional, dalam menciptakan efek sensorik kepada penonton. Film memakai narasi tanpa eksposisi, dengan teknik warna, komposisi, dll. Jadinya, semiotika visual memasuki loop (pengulangan) yang ditentukan, disepakati, dan kehilangan kekayaan konotasi.
Sekarang, kita kembali ke masalah yang mau saya ceritakan. Saya sering dengar keluhan kawan-kawan yang belajar filsafat, serta jurnalis yang ingin menulis liputan yang mengulas aspek semiotika visual di balik acara seni. Pertanyaan mereka sama, “Bagaimana menuliskan semiotika visual untuk apresiasi seni?”.
Saya membuat outline yang actionable, yang bisa kamu terapkan untuk menuliskan semiotika visual di acara seni.
Identifikasi Elemen Visual Utama. Gambar. Warna. Teks. Simbol. Bentuk-bentuk visual.
Konteks Acara. Tujuan komunikasi. Audiens. Pesan dari penyelenggara.
Analisis Komponen Semiotik
- Denotasi: Fisik. Literal. Bahan, proses pembuatan, ukuran, dimensi, dst.
- Konotasi: Identifikasi makna atau pesan, apa yang mau dikomunikasikan.
- Ikon, indeks, dan simbol. Ikon mewakili obyek sama atau tidak. Inikasi obyek atau makna melalui hubungan kausatif. Konvensi budaya atau sosial untuk mengkomunikasikan makna.
Warna dan Komposisi. Warna. Tata ruang. Komposisi visual, secara keseluruhan. Theme.
Konsep Semiotik
Identifkasi teknik semiotik:
- Metafora. Memakai kata, konsep, yang merujuk pada sesuatu yang sebenarnya berbeda. “Hidup adalah perjuangan”. *) “Perjuangan”: pengalaman hidup yang sulit.
- Metonimi. Penggantian satu kata atau konsep dengan yang lain berdasarkan hubungan fisik, sebab-akibat, atau asosiasi antara keduanya. “Mereka membaca Shakespeare.” *) Shakespeare: karya Shakespeare.
- Simbol. Representasi visual atau konsep yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lebih besar atau lebih abstrak. Bendera Indonesia.
- Metafora Visual. Penggunaan image atau elemen visual untuk pesan atau makna.
- Ironi. Penggunaan kata atau ekspresi yang berlawanan dengan makna sebenarnya untuk menciptakan efek yang kontras.
Pertanyaan:
- Apa yang digantikan oleh metafora atau metonimi ini?
- Makna simbol atau elemen visual dalam konteks budaya atau sosial.
- Bagaimana penggunaan teknik semiotik ini memengaruhi pemahaman atau persepsi audien?
- Kontrast atau ketegangan dari penggunaan teknik ini.
Respons Audien. Tanggapan “match” antara penonton dengan penyelenggara?
Interpretasi Konteks. .. yang lebih luas dan mendalam.
Peraturan terakhir dan pertama: seni itu bebas, apresiasi itu merdeka. Tidak ada rumusnya. Tuliskan saja.