Masalahnya bukan pengakuan status karya seni dan bukan penyelesaian pekerjaan.

Mau di pulau terpencil sampai tebing jurang, manusia bisa bertahan. Manusia menghancurkan batu, berburu, mendirikan sesuatu, dan menciptakan peralatan.

Kita membangun gedung pencakar langit tahan-gempa, kecamatan bebas-banjir, ponsel, dan mobil listrik, sekaligus menghabiskan sumberdaya dan bahan-bakar fosil.

Semua yang di alam, terjadi secara alami, dalam keteraturan, kecuali manusia dengan sifat baik-buruknya.

Tidak jarang, kita membuat hal-hal yang tidak terlalu fungsional, tidak begitu efisien, hanya karena kita suka membuatnya, mencari batas imajinasi, dan mengejar estetika, yang lantas kita sebut seni (art).

Seni diciptakan, dengan sengaja. Seperti lukisan, instalasi, seringnya mobile, bisa disimpan (collectable). Seni memiliki bentuk, berwujud (tangiblr), emosional, indah, bergaya, ide, penjelajahan, dan lebih bernilai jika merupakan tindakan sosial. Semacam itulah ide seni yang klasik.

Ketika internet memasuki era Web 3.0, kita mengenal seni yang tak-berwujud. Produk seni bisa berupa sesuatu yang masih dibuat namun intangible — tidak  mudah disentuh, djsimpan).

Mau contoh? Musik No. 13 for Strings in G Major karya Mozart, atau Nocturno Op. 9 No. 2 karya Chopin. Bisa dirasakan, diulang, berbentuk.

Mana produknya? Baukan di partiture, bukan di pertunjukan, bukan di cover atau permainan-ulang musik itu.

Mana aslinya? Pertunjukan tari juga tidak berwujud. Sendratari Dewabrata Retno Maruti, atau Diponegoro Sardono W. Kusumo, boleh dibilang tidak berwujud. Rekaman sendratari itu, tidaklah sama dengan sendratari itu sendiri. Apa yang saya sebut itu, penciptaan karya seni yang rumit.

Sebaliknya, beberapa gedung diciptakan, dan tangible, sekaligus tunggal, yang kita akui sebagai seni, seperti mandala Borobudur.

Ada lagi, benda yang diciptakan dengan sense of art seperti MacBook Retina 15 Pro (tolong, jangan bandingkan Apple dengan laptop lain, dengan pembandingan Apple to Apple), namun produk ini diproduksi massal.

Ada satu aliran seni yang mengakui bahwa seni tidak berguna, di mana menurutnya, seni berfungsi untuk keberadaannya sendiri. Seni tidak memiliki fungsi praktis.

Ada lagi, aliran di seberang lain, yang percaya, seni berfungsi untuk mendorong tindakan, menuntut tanggapan, memaksa penonton untuk bertindak. Setidaknya, menurut aliran ini, menganggap seni memiliki fungsi.

Kreasi seni, memiliki perbedaan di bingkai sekelilingnya. Bingkai dipasang pencipta karya seni, diterima apresian. Status seni menjadi identitas, di mana ini bisa diterima atau tidak diterima apresian.

Setiap pencipta (creator), pembuat (maker), penemu, (observer) ilmuwan, pengusaha, pengrajin, aktivis diperbolehkan untuk menyebut ciptaan mereka seni.

Publik apresian belum tentu sepenuhnya menerima itu sebagai seni.

Celana jins robek, dianggap seni oleh sebagian orang, bisa saja saya tidak menganggapnya sebagai seni, jika tidak ada tindakan sosial di balik pembuatan jins robek it

Menyebut ini karya seni, menyimpan harapan, tidak sama dengan produk pabrikan, eksperimental, dll. Dengan kata lain, jika pembuat mengatakan ini karya seni namun tidak memenuhi harapan publik, maka harapan mereka kandas.

Publik mengharapkan utilitas, praktis, universal, rasional, dan applicable, pada benda yang secara estetis (ini hanya salah satu kategori seni) ingin dikatakan sebagai seni, akhirnya, harus berhadapan dengan kecenderungan seni yang ambivalen, ambigu, tak-stabil, mengejutkan, emosional, dan tak-rasional.

Kita lebih mudah menciptakan sesuatu, dengan ponsel dan internet, bahkan sesuatu yang sangat artistik. Pengetahuan, metode, medium, lebih menantang. Lebih bebas menjelajah.

Pada saat sama, muncul kecerdasan buatan, yang terus memperbaiki-diri dan semakin terlatih, yang memiliki kemampuan luar biasa. Ini zaman di mana orang bisa menerapkan teknik melukis sebagai opsi klik, atau bisa diperumit dengan sentuhan manual seperti Photoshop. Ini bagian dari pembingkaian (framing) di balik proses pembuatan karya seni. Hanya contoh kecil. Wilayah audio, gerak, audio-visual, semua punya pilihan kerumitan sendiri. Kecerdasan buatan bisa mengubah parameter (deskripsi teks) menjadi gambar 4K siap cetak ke kanvas.

Apakah kita akan jadikan project ini sebagai karya seni ataukah sains? Apakah ini akan menjadi industri pabrikan atau bagian dari titik perjalanan kreatif kita? Ini akan menjadi sesutu yang kabur dan mengundang penjelajahan pikiran dan emosi, atau melayani pesanan dan selera pelanggan?

Ketersediaan pengetahuan baru, membuat karya seni dan cara kita mengapresiasi karya seni menjadi berbeda. Terjadi karya-karya yang hybrid, di mana semiotika suatu karya memiliki lebih banyak pintu. Banyak item disatukan, konteks dipertukarkan.

Misalnya, saya melukis dengan AI, di mana Buddha memasuki Neraka seperti Neraka dalam teks -Inferno- Dante, dengan gaya surealisme, teknik impresionisme, dengan medium cat minyak, resolusi 4K, pencahayaan sinematik. Tekan enter. Tunggu sebentar. Done. Siap saya save dan saya cetak. Bisa pilih tombol untuk membuat variasi baru.

Perhatikan pada terminologi awal di contoh ini: Buddha dan Inferno Dante, kemudian detailnya bisa kamu lupakan. Ini bentuk hybrid, di mana saya melakukan percobaan (penjelajahan), akan seperti apa jadinya.

Jangan anggap teknik ini mudah. Jangan bandingkan Apple to Apple dengan ketika kamu melukis di atas kanvas.

Saya tidak memperdebatkan status seni. Mari perhatikan bagaimana seni menjadi alasan untuk membuat sesuatu di zaman internet.

Baiklah, saya berikan contoh mudah. Dengan teknologi AI, kamu bisa ubah video yang kamu buat dengan lamera depan, menjadi berpenampilan seperti pengantin Jawa. Lengkap dengan sanggul, mahkota emas, make-up, dan bergerak sebagaimana kalau kamu direkam video sebagai pengantin.

Orang yang melihat template siap-pakai, ketika akan membuat deep fake pengantin Jawa, memakai seni sebagai alasan. Ia ingin ini terlihat “art”. Dalam kalimat singkat, Saya ingin tampilan seperti pengantin Jawa di template video ini..

Membuat karya seni yang konvensional adalah kemewahan, berhadapan dengan teknologi AI. Karya hasil AI pada akhirnya dibuat untuk karya itu sendiri.

Seni menjadi pragmatisme, menjadi alasan (motivasi), bukan sebagai pembingkaian di balik proses menciptakan karya.

Saya mengakui, sentuhan AI seperti Midjourney, Adobe AI, dll. tidak mungkin dilawan manusia manapun. Saya mengakui, sentuhan AI sangat artistik, lebih membebaskan imajinasi dan membawa orang ke jalan terjal — namun kategori sesuatu dikatakan artistik, tidaklah sebatas bentuk, gaya, dll.

Hasil AI bagus, tekniknya bagus, namun ditentukan oleh standar yang kita punya tentang “bagus” itu.

Sungguh suatu tinndakan naif, menilai AI hanya dengan standar yang sudah kita punya dan jarang kita naikkan. AI dalam konteks “standar kita belum naik”, menjadi penyelesai pekerjaan, berdasarkan nilai-nilai masa lalu. Seperti: koreksi ejaan saya, parafrase, edit foto ini, dst. Itu bukan mitra. Itu bukan artisan. Itu buruh level rendah yang terjadi karena kita kurang kreatif melihat masa depan.

AI yang sudah unggul seperti MidJourney, memainkan peran terbalik. Secara teknis, ia sudah “selesai”. Versi barunya semakin bagus. MidJourney memberikan inspirasi. Misalnya, ketika saya mencoba fitur “zoom”, apa yang dilakukan MidJourney “bukan” zoom. Lebih dari itu.

Saya ingin, seni bukan sekadar alasan bertindak. Seni harus menjadi tindakan sosial. Saya ingin seni bukan sekadar kejelasan dan keterukuran. Seni perlu kabut, kejutan, tanpa utilitas pragmatis, dan perjalanan yang belum selesai.

Kedatangan AI tidak merusak pasar seni, hanya jika para seniman, pencipta, pembuat, berani menaklukkan cara mereka berpikir, hidup, dan melihat realitas. [dm]