Saya melakukan “sweeping”. Mencari kata “tetapi” di tulisan saya. Saya buat keputusan: “Sebisa mungkin, saya akan kurangi pemakaian kata -tetapi- dalam tulisan dan percakapan.”.
Lihatlah, seberapa sering lawan bicaramu mengatakan “tetapi..” di tengah pembicaraan.
Betapa sering saya mendengar kata “tetapi”.
- Itu ide yang bagus, tetapi..
- Saya mau, tetapi..
- Sudah saya coba, tetapi..
- Sebenarnya saya punya kesempatan waktu itu, tetapi..
- Saya masih ingin di sini, tetapi..
- Itu baik, tetapi..
Para guru dan orang tua, sering mengatakan “tetapi”. Mereka sering meringkas pengalaman dan “petunjuk terbaik” dengan kata “tetapi”.
” Tetapi” memberikan syarat.
“Tetapi” salah satu kata-sambung, membuat kalimat menjadi majemuk, namun bersyarat.
Orang yang dituakan, yang dianggap berpengalaman, mengatakan “tetapi..” untuk memberikan peringatan, syarat, dan kadang kemalasan.
“Tetapi” sering membuat orang mundur ke masa lalu, ke pengalaman.
“Tetapi” itu bagus, jika untuk antisipasi kemungkinan buruk dan untuk mengatasi masalah. Bukan untuk memberikan -judgement- (penghakiman).
Tidak jarang, “tetapi..” muncul sebelum seseorang mendengarkan penjelasan. Mereka sudah menukas atau menyimpulkan dengan “tetapi..”.
Belum identifikasi masalah, sudah mengatakan “tetapi”.
Kata “tetapi..” berkaitan dengan bagaimana menurut “saya”, dan ada apa setelah ini. Misalnya, “Saya bisa selesaikan ini, -tetapi-..”.
Ada ide bagus di balik “tetapi..”, dan setelahnya ada langkah-langkah perbaikan, pembelajaran, pembaruan, dan penyelesaian, agar “tetapi..” tidak ada lagi.
Kata “tetapi..” tidak menganggap suatu ide itu salah, tetapi setiap ide selalu bersyarat, membutuhkan hal lain, agar ide kamu tidak menjadi pemborosan.
Asalkan kamu berkomitmen kepada konsekuensi setelah kata “tetapi..” muncul, maka “tetapi..” itu baik.
Tidak ada ide yang terbuang. Buatlah perbedaan, dengan menunda mengucapkan “tetapi..” sebelum kamu tahu masalah yang kamu hadapi.
Sebisa mungkin, buatlah komitmen untuk menghapus “tetapi..”.
Percaya atau tidak, kata “tetapi..” justru sering muncul dari orang-orang yang menyatakan dirinya terlibat, mengerti, memiliki empati, dewasa, dan orang dekat kita.
Guru berkata, “Kalian harus rajin belajar, baca buku, tetapi jangan lupa..”. Politisi memberikan bantuan untuk orang-orang yang dulu pernah dukung mereka, “Kita berikan untuk siapa saja yang membutuhkan, tetapi..”.
Seberapa sering orang di sekitarmu mengucapkan “tetapi..” di balik jawaban mereka?
Buatlah “tetapi..” ketika kamu akan mengerjakan sesuatu, sebagai antisipasi, bukan untuk menghambatmu.
“Aku mau mencintai kamu, tetapi..”.
Jangan terlalu percaya “tetapi..” dari orang lain. [dm]