Sering berkata “Saya menyerah..” bukan untuk suatu moment saja, bisa menjadi perilaku tak-sadar, semacam reaksi spontan, ketika kamu dapat persoalan yang menurutmu tidak mungkin kamu selesaikan.
Berbahaya sekali. Kamu sedang alami “ketidakberdayaan” namun menurut versi kamu. Sekarang, misalnya kamu berkata, “Saya menyerah belajar Bahasa Inggris..”. Kamu berkesimpulan kalau kamu tidak bisa meneruskan belajar Bahasa Inggris. Padahal, ribuan mentor Bahasa Inggris di dunia, termasuk guru sekolahmu, mengatakan kamu bisa. Artikel dan buku semua bilang kalau belajar bahasa asing bisa dilatih, dibiasakan, sampai kamu kuasai bahasa itu. Mengapa kamu buat kesimpulan “Saya menyerah..”? Itu karena menurut versimu, masalah ini tidak bisa kamu atasi.
“Saya menyerah..” terjadi ketika kamu merasa.. Ini takdir. Bukan kapasitas saya. Tidak mungkin kalau saya selesaikan itu.
Besok lagi, kalau ada masalah sama (atau masalah yang dinilai “berat”), yang terjadi: pikiran memilih auto-reject. Menolak secara otomatis. Itulah bahaya yang saya maksud. Melatih otak untuk membuat keputusan “menyerah” dan memberikan reaksi otomatis: jika bikin pusing, tinggalkan.
Belum lagi, kalau kita bicara tentang pentingnya suatu masalah. Tidak semua masalah sama pentingnya. Ada yang sangat penting, ada yang mendesak, ada yang jika tidak terselesaikan maka hidup kita kacau.
Kasus lain lagi. Sudah mencoba diet dan berolahraga, namun timbangan masih geser ke kanan, kemudian mencoba lagi, tidak berhasil lagi, sampai akhirnya berkesimpulan, sampai kapanpun tidak bisa sukses dalam diet. Apalagi ditambah “ancaman” ketika melihat makanan lezat.
Banyak orang tidak bahagia, karena “Saya menyerah..”, tidak menguasai keadaan. Mereka bahkan tidak berusaha lebih keras untuk ubah kebiasaan “Saya menyerah..” karena merasa hal itu di luar kendali mereka.
Kata kuncinya adalah “di luar”, eksternal.
Ketidakberdayaan ini konsep yang didasarkan pada ide bahwa perilaku manusia terjadi melalui asosiasi dan tanggapan.
“Kalau sesuatu diberi reward, ada kecenderungan mengulang itu di masa depan. Kalau salah dihukum, orang cernderung menghindari perilaku sama.”
Ciri ketidakberdayaan: rendah diri, motivasi lemah, kurang berusaha, frustasi dan suka menunda pekerjaan.
Martin Seligman dan Steven F. Maier, yang meneliti ketidakberdayaan pada manusia dan hewan, menemukan:
- Mereka yang pernah depresi di masa lalu lebih mungkin untuk menerima depresi di masa depan dan lebih kecil kemungkinan untuk mencoba perubahan.
- Perempuan yang alami kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak mampu melarikan diri, tidak mau terima bantuan hukum.
- Orang yang diberitahu kalau dirinya tidak mampu, cenderung tak-berdaya.
- Orang yang idap penyakit kronis, sering merasa tak-berdaya, karena tidak mampu ambil tindakan untuk perbaiki hidup mereka.
Kemajuan tidaklah linier.
Cara atasi ketidakberdayaan: dengan membingkai-ulang masalah.
- Bingkai kegagalan kamu, perlakukan sebagai sesuatu yang eksternal (dari luar), spesifik (banyak faktor terkait), dan tidak stabil (ada kemungkinan berubah); sebaliknya, ketika sukses, bingkai itu sebagai hal yang internal, umum, dan stabil.
- Kenali apa namanya (nama masalah ini), bagaimana cara kerjanya.
- Kamu tidak bisa kendalikan pengalaman hidup, tetapi kamu bisa jelaskan pengalaman kamu itu.
Ketidakberdayaan hanyalah contoh kecil, ketika kita tahu artinya dan cara-kerja ketidakberdayaan itu, dengan mudah kita bisa kendalikan.
Lihatlah gambar ini. Kita bisa, jika..
Apa yang terjadi, yang kita sebut realitas, terjadi karena pikiran kita membentuk realitas itu. Kamu bisa sunting realitas dengan mengubah cara berpikir seperti di atas.
Saya tunjukkan contoh lain, bagaimana melihat “keinginan piknik” yang datang dari pikiran, dan melihat cara orang tua mendidik kita, di 2 tulisan ini:
Piknik Tidak Bisa Segarkan Pikiranmu
Piknik bukan pelarian. Melihat lagi, mengapa kita suka jalan-jalan..
Piknik dan Liburan untuk 15 Tahun Mendatang
Mendidik anak dengan piknik dan liburan. Setiap keluarga, bisa.
Kedua tulisan itu, seperti kasus belajar Bahasa Inggris dan diet gagal, adalah tentang bagaimana membingkai masalah. Tentang menyunting realitas yang ada -karena- pikiran. Bukan halusinasi, bukan berpura-pura semuanya baik-baik saja, bukan membiarkan berlalu. [dm]