Saya suka buku catatan polos, bukan yang bergaris.
Kalau dihitung, saya lebih sering lihat format catatan kosong tak-bergaris daripada buku tulis bergaris. Mulai dari buku gambar, kertas HVS, Microsoft Word, browser, semuanya tanpa-garis.
Bisa untuk menulis, bisa untuk menggambar.
Setiap masuk toko buku, melihat notes kosong, saya tergoda untuk membeli. Dan drawing pen, ukuran 0.3 dan 0.5, atau spidol kecil Snowman.
Yang terjadi kemudian, notes kosong sering saya biarkan kosong.
Pikiran saya penuh rencana, nanti mau menulis ini dan itu. Sampai kemudian rencana itu tidak saya jalankan.
Ada buku Junior 101, ukuran A5, sampai sekarang saya biarkan kosong. Setumpuk buku kosong, rencana untuk menulis, kemudian buku itu tetap kosong, tanpa tulisan.
Saya lebih suka menulis di FiiNote. Bisa saya buka, revisi, share URL, kapan saja. Saya tidak terpenjara di “_resistance_” (perlawanan-batin ketika mau krearif), karena setiap hari saya tetap produktif menulis.
Setidaknya, saya tergoda. Setiap buka drawing di Pinterest atau Tumblr, saya bayangkan, “Saya akan gambar di halaman kosong.”. Atau saya bayangkan sambil naik motor, ” Saya akan buat outline di notes.”. Tidak. Angan itu hanya jembatan. Saya melompatinya. Saya langsung tulis di Android atau laptop. Dan berhasil. Jadi. Edit, publish.
Mungkin buku kosong itu berperan lain.
- Trigger agar saya menulis di format file.
- Reminder bahwa saya masih punya banyak halaman kosong.
- Hadiah untuk orang lain.
- Mungkin tidak untuk tulisan, untuk drawing atau scrap book saja.
- Bantal ketika tidak ada bantal.
- Atau memang dia hanya saya beli agar tetap menjadi buku kosong.
Atau tujuan saya membeli adalah mencari tujuan saya membeli, yang sampai sekarang saya belum tahu mengapa saya membeli buku kosong itu. [dm]