Pada Mei 1998, di tengah kobaran kerusuhan Jakarta, perempuan etnis Tionghoa menjadi sasaran perkosaan massal yang brutal, sebuah teror sistematis yang menghancurkan jiwa dan martabat.
Puluhan, mungkin ratusan, nyawa direnggut dalam kekejaman yang dirancang untuk menteror. Sampai sekarang, keadilan tetap bisu, menyisakan luka yang terus berdarah di hati bangsa.
Abstrak
Laporan ini menggali tragedi perkosaan massal Mei 1998, sebuah pelanggaran HAM berat yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa di tengah kerusuhan akibat krisis ekonomi dan politik. Berdasarkan temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, 85–152 kasus kekerasan seksual terverifikasi, dengan bukti sifat sistematis dan terorganisir. Kekerasan ini meninggalkan trauma fisik, psikis, dan sosial yang mendalam, diperparah oleh penyangkalan negara dan masyarakat. Meski Komnas Perempuan dan UU TPKS 2022 menawarkan harapan, impunitas dan hambatan reparasi terus menghambat keadilan. Laporan ini menyerukan reformasi hukum, pendidikan sejarah, dan dukungan bagi penyintas untuk mencegah pengulangan sejarah kelam.
Tragedi perkosaan massal Mei 1998 adalah teror sistematis terhadap perempuan etnis Tionghoa yang mengungkap kegagalan negara dalam melindungi warganya, dengan 85–152 kasus terverifikasi yang hingga kini belum mendapat keadilan. Laporan ini mendesak pengakuan resmi, penuntutan pelaku, dan reparasi menyeluruh bagi penyintas untuk memutus siklus impunitas dan diskriminasi. Pembaca diajak memahami urgensi reformasi hukum dan kesadaran publik untuk mencegah kekerasan berbasis gender dan etnis, memengaruhi keputusan kebijakan HAM, pendidikan sejarah, dan dukungan korban di Indonesia.
Latar Belakang: Krisis yang Memantik Kekerasan Seksual
Pada Mei 1998, Indonesia dilanda kekacauan akibat krisis ekonomi dan politik yang memuncak. Krisis keuangan Asia 1997 menyebabkan nilai rupiah anjlok hingga 80% dan harga kebutuhan pokok melonjak, memicu kemarahan publik terhadap rezim Orde Baru Soeharto yang dituduh penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme. (World Bank, 1998. Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update. Washington, DC: World Bank; Aspinall, Edward. 2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford: Stanford University Press.) Etnis Tionghoa, yang distereotipkan sebagai penguasa ekonomi, menjadi sasaran kebencian akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru, seperti larangan budaya Tionghoa, yang memupuk sentimen rasis selama puluhan tahun. (Purdey, Jemma. 2006. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Singapore: NUS Press.) Penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 memicu kerusuhan di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo, yang berujung pada perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa, sebuah teror sistematis yang mengguncang bangsa. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.)
Etnis Tionghoa, yang hanya sekitar 3–5% dari populasi Indonesia tetapi sering distereotipkan sebagai penguasa ekonomi, menjadi kambing hitam krisis. Kebijakan diskriminatif Orde Baru, seperti larangan penggunaan bahasa dan budaya Tionghoa, pembatasan akses ke universitas negeri, dan paksaan asimilasi melalui pergantian nama Tionghoa, memupuk kebencian selama puluhan tahun. (Purdey, Jemma. 2006. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Singapore: NUS Press.) Propaganda yang menyebarkan narasi bahwa etnis Tionghoa “mengendalikan” ekonomi memperparah ketegangan, menjadikan mereka sasaran empuk dalam kekacauan. (Heryanto, Ariel. 1999. Where Communism Never Dies: Violence, Trauma, and Narration in the Last Cold War Capitalist Authoritarian State. International Journal of Cultural Studies 2(2): 147–177.)
Pemicu langsung kerusuhan adalah penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, saat mereka berdemonstrasi menentang Soeharto. Kematian mereka memicu kemarahan nasional, yang dengan cepat berubah menjadi kerusuhan massal di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo pada 13–15 Mei 1998. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Di tengah asap pembakaran toko dan mobil, perempuan etnis Tionghoa menjadi sasaran kekerasan seksual yang brutal, sebuah tragedi yang mengguncang hati nurani bangsa. Kekerasan ini bukan sekadar ledakan kemarahan, tetapi bagian dari pola terorganisir yang menargetkan kelompok rentan untuk menciptakan teror kolektif.
Skala dan Brutalitas Kekerasan Seksual
Perkosaan massal Mei 1998 adalah salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia, ditandai dengan kekejaman yang dirancang untuk menghancurkan martabat korban dan komunitas mereka. Komnas HAM dan Komnas Perempuan, melalui penyelidikan mereka, mengungkap skala dan sifat sistematis dari kekerasan ini.
Komnas HAM, melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada Juli 1998 oleh Presiden B.J. Habibie, mendokumentasikan 85 kasus kekerasan seksual yang terverifikasi hingga 3 Juli 1998. Rinciannya meliputi 52 kasus perkosaan, 14 kasus perkosaan dengan penganiayaan fisik, 10 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus intimidasi seksual. Total laporan mencapai 168 kasus, dengan 20 korban meninggal dunia. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) TGPF mencatat bahwa angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena banyak korban enggan melapor akibat trauma, stigma sosial, dan ancaman. Kekerasan terjadi di wilayah seperti Glodok, Pluit, Muara Angke, Jembatan Tiga, Jembatan Dua, Pondok Bambu, Kemayoran, dan Duren Sawit di Jakarta, serta di Medan, Surabaya, dan Solo. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.)
Kekerasan ini ditandai dengan brutalitas ekstrem. Banyak korban diperkosa secara berkelompok oleh beberapa pelaku, sering kali di depan keluarga atau kerumunan. Beberapa disiksa dengan benda seperti batang logam, botol pecah, atau kawat berduri, menyebabkan luka parah pada organ reproduksi. (Komnas HAM. 2008. Temuan Tim Ad Hoc 1998. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.) Komnas HAM menyimpulkan bahwa kekerasan ini merupakan pelanggaran HAM berat karena bersifat sistematis, meluas, dan menargetkan perempuan etnis Tionghoa. Namun, tidak ada pelaku yang diadili karena penyelidikan terhenti di Kejaksaan Agung akibat kurangnya kerja sama dari aparat keamanan. (Komnas HAM. 2003. Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.)
Komnas Perempuan, bekerja sama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK), mendokumentasikan 152 kasus kekerasan seksual antara 12 Mei dan 2 Juni 1998, dengan rincian 103 kasus perkosaan, 26 kasus perkosaan dengan penganiayaan, 9 kasus perkosaan dengan pembakaran, 14 kasus pelecehan seksual, dan 20 korban meninggal. (Komnas Perempuan. 2003. Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal! Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Angka ini lebih tinggi dari TGPF karena periode pengumpulan data yang lebih panjang dan sumber yang lebih beragam, termasuk laporan medis, kesaksian keluarga, dan wawancara dengan penyintas. Mayoritas korban adalah perempuan etnis Tionghoa dari berbagai latar belakang sosial, mulai dari pelajar hingga pengusaha. Kekerasan ini sering kali dilakukan di depan umum, seperti di jalanan atau pusat perbelanjaan, untuk memaksimalkan rasa malu dan teror. (Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. Laporan Kekerasan Seksual Mei 1998. Jakarta: TRK.)
Salah satu kasus yang mencolok adalah pembunuhan Ita Martadinata, seorang aktivis berusia 18 tahun yang berencana bersaksi tentang perkosaan di Kongres AS pada Oktober 1998. Beberapa hari sebelum keberangkatan, ia ditikam hingga tewas di kamarnya. Pihak berwenang menyebutnya perampokan, tetapi aktivis percaya itu adalah pembungkaman. (Komnas Perempuan. 1998. Pembentukan Komnas Perempuan: Latar Belakang dan Tugas. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Kasus ini menunjukkan risiko besar yang dihadapi penyintas dan pendukung mereka dalam mencari keadilan.
Mengapa Sistemis? Perspektif Global
Perkosaan massal Mei 1998 bukan sekadar akibat kekacauan kerusuhan, melainkan serangan terorganisir yang dirancang untuk menargetkan perempuan etnis Tionghoa sebagai bagian dari strategi teror. Komnas Perempuan menyebutnya “terorisme negara”, mengacu pada keterlibatan atau pembiaran oleh aktor negara. (Komnas Perempuan. 2018. 20 Tahun Komnas Perempuan: Refleksi Tragedi Mei. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Untuk memahami sifat sistematis ini, kita perlu membedah bukti, konteks politik, dan perbandingan dengan kasus global.
Pertama, penargetan etnis Tionghoa bersifat disengaja. Korban bukan hanya perempuan secara umum, tetapi secara khusus perempuan Tionghoa dari berbagai kelas sosial, mulai dari pelajar hingga pedagang. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Stereotip rasis yang menggambarkan etnis Tionghoa sebagai “penyebab” krisis ekonomi 1997, yang dipupuk oleh propaganda Orde Baru, menciptakan narasi bahwa mereka pantas dihukum. (Heryanto, Ariel. 1999. Where Communism Never Dies: Violence, Trauma, and Narration in the Last Cold War Capitalist Authoritarian State. International Journal of Cultural Studies 2(2): 147–177.) Perkosaan menjadi alat untuk “menghancurkan” komunitas ini melalui serangan terhadap perempuan, yang dalam banyak budaya dianggap simbol kehormatan keluarga. (Purdey, Jemma. 2006. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Singapore: NUS Press.)
Kedua, kekerasan ini menunjukkan tanda-tanda organisasi. Laporan TGPF mencatat adanya “komandan” yang mengarahkan kerusuhan melalui sepeda motor atau kendaraan, memberikan instruksi untuk menjarah, membakar, dan memperkosa. Banyak pelaku dilaporkan bukan warga lokal, menunjukkan kemungkinan mobilisasi dari luar wilayah. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Beberapa saksi melaporkan pelaku bertindak dengan disiplin militer, memicu spekulasi keterlibatan unsur militer atau paramiliter. Meski bukti langsung terbatas akibat kurangnya kerja sama dari aparat, kegagalan polisi dan militer untuk menghentikan kekerasan menguatkan dugaan pembiaran. (Human Rights Watch. 1998. Indonesia: The Damaged Lives of Women During the Riots. New York: Human Rights Watch.)
Ketiga, konteks politik menunjukkan bahwa kekerasan ini mungkin sengaja dipicu untuk tujuan politik. Mei 1998 adalah masa transisi kritis, dengan rezim Soeharto menghadapi tekanan dari gerakan reformasi. Kekerasan, termasuk perkosaan, terjadi tepat setelah penembakan mahasiswa Trisakti, yang memicu kemarahan nasional. Analis seperti Ariel Heryanto berargumen bahwa kerusuhan ini digunakan untuk mengalihkan perhatian dari krisis politik dan melemahkan gerakan reformasi. (Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London: Routledge.) Dengan menciptakan kekacauan, pihak-pihak tertentu—mungkin loyalis Soeharto—dapat membenarkan tindakan represif atau mempertahankan kekuasaan.
Secara global, pola ini mirip dengan kasus-kasus seperti genosida Rwanda (1994), perang Bosnia (1992–1995), dan Pembantaian Nanking (1937). Di Rwanda, perempuan Tutsi diperkosa secara massal untuk “merusak” garis keturunan etnis. (Human Rights Watch. 1996. Shattered Lives: Sexual Violence during the Rwandan Genocide. New York: Human Rights Watch.) Di Bosnia, kamp perkosaan menargetkan perempuan Muslim untuk menghancurkan identitas komunitas. (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia. 2001. Prosecutor v. Kunarac: Judgment on Sexual Violence in Bosnia. The Hague: ICTY.) Di Indonesia, perkosaan menargetkan perempuan Tionghoa untuk mempermalukan dan mengusir komunitas yang dianggap “asing.” (Komnas Perempuan. 2018. 20 Tahun Komnas Perempuan: Refleksi Tragedi Mei. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Kekerasan ini bertujuan menciptakan trauma kolektif, mendorong isolasi atau migrasi komunitas Tionghoa.
Dampak: Luka yang Tak Sembuh
Tragedi Mei 1998 meninggalkan luka yang melampaui fisik, merasuk ke jiwa korban, keluarga, dan komunitas. Dampaknya masih terasa hingga kini, mencerminkan kegagalan bangsa untuk memberikan keadilan dan penyembuhan.
Pertama, korban menghadapi trauma fisik dan psikis yang menghancurkan. Banyak yang menderita luka parah, seperti kerusakan organ reproduksi akibat penyiksaan dengan benda tajam, kehamilan yang tidak diinginkan, atau infeksi menular seksual. (Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. Laporan Kekerasan Seksual Mei 1998. Jakarta: TRK.) Secara psikis, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, dan kecemasan melumpuhkan kehidupan banyak penyintas. Seorang penyintas, yang disebut “Lani” dalam laporan, menggambarkan bagaimana ia kehilangan kepercayaan diri dan hidup dalam ketakutan konstan setelah diperkosa di depan kerumunan. (Komnas Perempuan. 2003. Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal! Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Banyak korban menghadapi stigma sosial, ditolak oleh keluarga atau pasangan karena dianggap “ternoda,” yang memperparah isolasi mereka. (Human Rights Watch. 1998. Indonesia: The Damaged Lives of Women During the Riots. New York: Human Rights Watch.)
Kedua, penyangkalan oleh negara dan masyarakat menyebabkan reviktimisasi. Pejabat tinggi, seperti Jenderal Wiranto, mengklaim tidak ada bukti perkosaan karena kurangnya kesaksian langsung, mengabaikan trauma yang menghambat pelaporan. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Penyangkalan ini memicu ancaman terhadap korban dan aktivis. Kasus Ita Martadinata, yang dibunuh setelah berencana bersaksi, adalah contoh tragis. (Komnas Perempuan. 1998. Pembentukan Komnas Perempuan: Latar Belakang dan Tugas. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Masyarakat juga sering mempertanyakan kebenaran laporan, menyalahkan korban, atau menyebutnya “hoaks,” yang memperdalam luka emosional. (Kompas. 2020. Penyangkalan Publik atas Tragedi Mei 1998. Kompas, 13 Mei 2020.)
Ketiga, komunitas Tionghoa menghadapi dampak jangka panjang. Kekerasan ini memperdalam ketakutan dan ketidakamanan, mendorong banyak keluarga untuk bermigrasi ke Singapura, Australia, atau Amerika Serikat. (Purdey, Jemma. 2006. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Singapore: NUS Press.) Mereka yang tetap tinggal hidup dalam kecemasan, menghindari ekspresi budaya Tionghoa untuk mengurangi risiko diskriminasi. Kekerasan ini juga memperkuat stereotip rasis, dengan beberapa segmen masyarakat menyalahkan etnis Tionghoa atas kerusuhan. (Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London: Routledge.)
Keempat, trauma ini menular ke generasi berikutnya. Anak-anak penyintas tumbuh dalam lingkungan penuh ketakutan dan rahasia, dengan orang tua yang enggan membahas masa lalu. (Komnas Perempuan. 2023. Napak Tilas dan Reparasi Korban Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Banyak penyintas melaporkan kesulitan membangun hubungan intim atau membesarkan anak karena trauma yang berkelanjutan. Komunitas Tionghoa juga kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara, terutama aparat keamanan, yang gagal melindungi mereka. (Human Rights Watch. 2020. Indonesia: No Justice for 1998 Victims. New York: Human Rights Watch.)
Kelima, kerugian ekonomi memperparah penderitaan. Banyak bisnis milik etnis Tionghoa dihancurkan, meninggalkan keluarga tanpa mata pencaharian. Perempuan Tionghoa yang menjadi tulang punggung keluarga, seperti pedagang, kehilangan segalanya setelah toko mereka dibakar. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Dampak ini memperdalam kemiskinan di kalangan komunitas yang sudah terpukul oleh krisis 1997. (World Bank. 1998. Indonesia in Crisis: A Macroeconomic Update. Washington, DC: World Bank.)
Respons Institusi: Perjuangan Melawan Impunitas
Tragedi Mei 1998 memicu respons institusi yang beragam, dari pembentukan lembaga baru hingga kegagalan penegakan hukum. Respons ini mencerminkan tantangan dan harapan dalam mencari keadilan.
Pembentukan Komnas Perempuan adalah titik terang. Pada 13 Agustus 1998, aktivis seperti Saparinah Sadli dan Ita Fatia Nadia bertemu Presiden Habibie, menyampaikan bukti kekerasan seksual. Habibie, tersentuh oleh laporan pribadi, meminta maaf publik dan mendukung pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181/1998. (Komnas Perempuan. 1998. Pembentukan Komnas Perempuan: Latar Belakang dan Tugas. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Komisi ini menjadi pionir dalam advokasi kekerasan berbasis gender, sering disebut “putri sulung reformasi,” dan terus mendorong reformasi hukum serta dukungan bagi penyintas. (Komnas Perempuan. 2018. 20 Tahun Komnas Perempuan: Refleksi Tragedi Mei. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.)
TGPF, yang dibentuk untuk menyelidiki kerusuhan, menghadapi rintangan besar. Anggota dari polisi dan militer, seperti Mayor Jenderal Da’i Bachtiar, menuntut kesaksian langsung korban, mengabaikan trauma yang menghambat pelaporan. (Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.) Akibatnya, beberapa aktivis, seperti Ita Nadia, mengundurkan diri dari tim. Penyelidikan terhenti di Kejaksaan Agung, dengan alasan kurangnya bukti, meskipun laporan TGPF dan Komnas HAM mendokumentasikan ratusan kasus. (Komnas HAM. 2003. Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.) Penyangkalan oleh pejabat seperti Wiranto, yang mengklaim tidak ada bukti perkosaan, memperparah marginalisasi korban. (Human Rights Watch. 1998. Indonesia: The Damaged Lives of Women During the Riots. New York: Human Rights Watch.)
Komnas Perempuan terus memperjuangkan kebenaran melalui acara seperti “Napak Tilas” di pemakaman Pondok Ranggon, tempat korban tak dikenal dimakamkan. Acara ini menantang penyangkalan dan menghormati korban. (Komnas Perempuan. 2023. Napak Tilas dan Reparasi Korban Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Komisi juga mendorong reparasi non-yudisial melalui Inpres No. 2/2023, seperti layanan kesehatan dan dukungan sosial, meski implementasinya terhambat oleh birokrasi yang menuntut dokumentasi yang sulit dipenuhi korban. (Kompas. 2023. Reparasi Korban 1998: Tantangan Birokrasi. Kompas, 15 Mei 2023.)
Analisis: Kegagalan dan Harapan
Tragedi Mei 1998 mengungkap kegagalan sistemik Indonesia dalam melindungi warganya, tetapi juga menunjukkan potensi perubahan melalui advokasi dan reformasi.
Pertama, kegagalan hukum dan politik mencerminkan warisan impunitas Orde Baru. Meski Komnas HAM menyimpulkan bahwa perkosaan merupakan pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No. 26/2000, tidak ada pelaku yang diadili. (Komnas HAM. 2003. Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.) Resistensi dari aparat keamanan, yang menolak menyerahkan data atau saksi, menunjukkan perlindungan terhadap pelaku potensial. (Human Rights Watch. 2003. Indonesia: Accountability for 1998 Riots. New York: Human Rights Watch.) Bias gender dalam sistem keadilan juga terlihat: kekerasan seksual dianggap “kurang penting” dibandingkan pelanggaran lain, seperti penembakan Trisakti. (Komnas Perempuan. 2018. 20 Tahun Komnas Perempuan: Refleksi Tragedi Mei. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.)
Kedua, penyangkalan masyarakat memperparah trauma. Banyak warga, dipengaruhi oleh desas-desus atau media, mempertanyakan kebenaran laporan perkosaan, menyebutnya “dilebih-lebihkan.” (Kompas. 2020. Penyangkalan Publik atas Tragedi Mei 1998. Kompas, 13 Mei 2020.) Narasi ini mencerminkan budaya patriarki yang menyalahkan korban dan meminimalkan kekerasan seksual. (Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London: Routledge.) Penyangkalan ini membuat penyintas enggan berbicara, memperpanjang penderitaan mereka.
Ketiga, reparasi untuk korban masih terbatas. Inpres No. 2/2023 menjanjikan dukungan seperti layanan kesehatan, tetapi birokrasi mengharuskan korban menunjukkan laporan polisi, yang jarang ada karena ketakutan melapor pada 1998. (Kompas. 2023. Reparasi Korban 1998: Tantangan Birokrasi. Kompas, 15 Mei 2023.) Hingga 2023, hanya sedikit penyintas yang menerima bantuan, dan kebutuhan seperti terapi psikologis jangka panjang belum terpenuhi. (Komnas Perempuan. 2023. Napak Tilas dan Reparasi Korban Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.)
Namun, ada harapan. Pembentukan Komnas Perempuan dan pengesahan UU TPKS 2022 adalah langkah besar menuju keadilan gender. UU ini memberikan kerangka hukum untuk melindungi korban dan menuntut pelaku, dengan pendekatan berbasis trauma. (Kompas. 2022. UU TPKS: Langkah Baru untuk Keadilan Gender. Kompas, 12 April 2022.) Acara seperti “Napak Tilas” menjaga memori kolektif dan menantang penyangkalan. (Komnas Perempuan. 2023. Napak Tilas dan Reparasi Korban Mei 1998. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.) Untuk mencegah kekerasan serupa, Indonesia perlu memperkuat institusi HAM, mengintegrasikan sejarah ini ke dalam pendidikan, dan melatih aparat penegak hukum dalam menangani kekerasan seksual. (UN Women. 2010. Sexual Violence as a Weapon of War. New York: UN Women.)
Perkosaan massal Mei 1998 adalah luka nasional yang belum sembuh. Dengan 85–152 kasus terverifikasi, kekerasan ini menargetkan perempuan etnis Tionghoa secara sistematis, mencerminkan kegagalan negara melindungi warganya. Dengan advokasi, reformasi hukum, dan pendidikan, Indonesia dapat menghadapi masa lalunya untuk membangun masa depan yang lebih adil, memastikan para korban mendapatkan keadilan. [dm]