Kekerasan Simbolik, menurut Pierre Bourdieu, merupakan bentuk kekerasan yang tidak menggunakan kekerasan fisik atau kekuatan fisik, namun menggunakan simbol, bahasa, dan representasi budaya untuk menghasilkan kekuatan dan pengaruh atas individu atau kelompok dalam masyarakat.
Kekerasan simbolik ini dapat berdampak pada pemikiran, perilaku, dan identitas seseorang atau kelompok, serta dapat menjadi instrumen dalam mempertahankan dominasi suatu kelompok atau kelas dalam masyarakat. Kekerasan simbolik terjadi ketika kekuatan sosial yang berbeda saling bertentangan dalam masyarakat, dan kekuatan yang lebih kuat menggunakan simbol dan bahasa untuk mempertahankan posisinya.
Di mana ada konflik dan media, di situ pasti ada kekerasan simbolik.
Coba kita lihat “kekerasan simbolik” yang terjadi di media.
Berikut adalah beberapa contoh kekerasan simbolik dalam pemberitaan media:
1. Diskriminasi terhadap minoritas, dengan memperkuat stereotip (standar berat-sebelah) dan prasangka terhadap kelompok tertentu.
Misalnya: Lembaga X besar di bawah kerajaan, kemudian sering diberitakan dengan atribusi (penyifatan) mengerikan, seperti: punya banyak anggota, siap mengawal, dst. Atau mencantumkan agama atau etnisitas pelaku yang tak-relevan dengan kasus tersebut, sehingga ada stereotip negatif terhadap kelompok tersebut.
2. Mempertegas perpecahan.
Melalui “running news” (berita berkelanjutan), sering ada kutipan dari berita sebelumnya, yang memakai istilah “pihak”, atau memberitakan terjadinya konflik (yang belum selesai secara hukum), sehingga secara sadar atau tidak, media menciptakan citraan bahwa “ada konflik ini..”, diperkuat dengan pemberitaan yang tidak berimbang dan bias, terhadap suatu kelompok tertentu.
3. Membentuk opini publik, terutama melalui “pembenaran” menggunakan opini dari narasumber.
Secara sengaja, media “bermain” dengan memperpanas isu dan mempertajam dukungan dan pertentangan. Misalnya: “Pejabat X mendukung ini..”, atau “Tokoh A tidak setuju..”, akhirnya menenggelamkan masalah sebenarnya. Singkatnya, media memilih sudut pandang yang menguntungkan satu pihak dan mengecilkan informasi lain.
4. Objektivitas yang dipaksakan.
Ini terjadi ketika media terlalu fokus pada obyektivitas dengan tanpa mempertimbangkan konteks atau latar belakang suatu peristiwa, dengan cara memberitakan hanya dari 1 narasumber, atau lebih dari 1 namun suaranya sama.
5. Victim blaming (menyalahkan korban).
Misalnya: korban pemerkosaan atau KDRT yang tidak melapor ke polisi, atau kecelakaan terjadi tanpa meliput kondisi jalan, atau kebakaran pasar tanpa meng-cover proses mitigasi kebakaran tersebut.
6. Penjara pemikiran.
Membatasi keragaman pemikiran dan sudut pandang dalam pemberitaan.
7. Menyebar hoaks.
.. karena hoaks sudah jelas merupakan kekerasan simbolik.
8. Menyeleksi narasumber.
Dengan nongkrong di dewan, minta kabar dari kantor dinas, atau menunggu laporan resmi dari kepolisian.
9. Menciptakan musuh bersama.
Bentuk musuh bersama ini, tidak selalu berbentuk manusia.Misalnya, memerangi hoaks, memerangi ketidakadilan, namun hanya sebagai pernyataan, tanpa bentuk penyelesaian bersama yang actionable.
10. Diskriminasi gender.
Sering tidak terlihat. Misalnya meng-ekspos cantiknya mahasiswi Undip di Rembang atau peran seorang PNS sebagai isteri. Atau memberitakan 5 selebritas asal Aceh yang bermata misterius. Sebenarnya itu stereotype dan bias gender. [dm]