Saya duduk di bangku panjang, yang kakinya terkunci. Mungkin alasan keamanan.
Orang-orang melintas di depanku. Tidak bisa saya bedakan, mana mahasiswi, mana pekerja kantoran.
Tidak ada warna seragam. Yang menjadi “seragam” adalah lengan panjang mereka, tas punggung, tindakan berhenti sebentar untuk location scouting, memotret.
Apa saja mereka jadikan latar-belakang: akar yang menjalar di tembok, gedung-gedung tua, remang sore, sepeda antik, marka jalan, semua menjadi latar belakang.
Saya tidak tahu, mengapa tindakan dan pakaian mereka hampir sama.
Bedak halus, pemutih, sunscreen, makeup minimalis, hampir semua seperti itu. Mereka tidak bicara dengan orang asing, kecuali memesan, membayar, atau menyewa. Identitas mereka tersebar di layar masing-masing.
Mereka tidak ikut arus. Merekalah arusnya.
Mereka menavigasi dunia yang kompleks, kontradiksi penanda, mencari happiness, dan identitas yang lebih besar.
Transaksi identitas, penyebaran identitas.
Setiap ada ikon budaya, remah-remah artefak, sesuatu yang teringat dalam cerita sebelum datang ke sini, mereka berhenti dan memotretnya.
Seragam mereka adalah penampilan mereka.
Apakah mereka mencari? Apakah mereka menemukan? Apakah keunikan jika penampilan melebur dalam kesamaan? Paradoks. Tren berubah, penampilan berubah, namun diri mereka tersembunyi demi FoMo, demi “validasi pengalaman” melalui fotografi, seperti kata Sussan Sontag.
Mereka terhubung, sekaligus buih di lautan. Mereka anonym, di layar maupun ketika berpapasan dengan orang. dst.
Seragam penampilan mereka adalah masker pencarian.
Di tengah arus tren, mereka melangkah dalam kebisingan yang menyamarkan identitas. Keunikan menjadi hantu yang diburu demi validasi, setiap klik kamera adalah mantra pengakuan diri. Mereka, terhubung dalam jejaring sunyi, adalah bayangan yang terpantul di layar, sekaligus siluet anonim di keramaian. Dalam hiruk kota, mereka berlari, namun apakah ke arah penemuan, atau sekadar melarikan diri dari ketidakpastian diri?