Seorang pelanggan di meja seberang, sedang marah-marah, tentang pekerjaan tadi siang. Dia sedang bercerita. Orang yang ia ceritakan, tidak ada di situ. Orang-orang di sekitarnya, bukanlah orang yang ada hubungan dengan pekerjaan yang ia ceritakan. Sebenarnya, masalah sudah selesai, namun ia ceritakan kekesalan itu.
- Profesional mengerti, kalau pekerjaan tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan emosi. Suara keras bukan penanda urgensi.
- Seorang editor tidak berteriak ketika melihat orang bergelar doktor menulis dengan struktur dan tata-bahasa yang kacau. Mereka sering menjumpai itu dan sebagai bagian dari pekerjaannya, dia sudah siap menghadapi itu. Tanpa berteriak.
- Seseorang yang mengerti filsafat tahu bahwa pertanyaan mereka tidak selalu mendapatkan jawaban, meskipun agamawan mengaku memiliki semua jawaban yang tidak boleh dipertanyakan.
- Pedagang saham yang sukses, tidak terguncang ketika ia menang ratusan juta rupiah, tidak seperti di film.
- Seorang driver profesional, ketika berhadapan dengan lalu-lintas atau kecelakaan, dia tahu cara mengatasinya, tanpa mengandalkan teriakan. Dia tahu harus ke mana, lewat mana, dan bagaimana menghadapi masalah di tengah jalan.
Amatir bertindak dengan cara lain. Emosional dan berteriak.
Mereka berteriak untuk menarik perhatian. Pemakai Twitter mengikuti “trending topic” untuk ikut berteriak, agar twitnya dilihat di “terbaru”, untuk menaikkan popularitas.
Politisi membuat pengumuman bantuan, seolah-olah bantuan itu datang karena dirinya, dari dirinya dan seolah-olah bantuan sedang dijual.
Selain itu, orang-orang yang marah di media sosial, bukan hanya menyulut kemarahan lain. Mereka memperbesar api. Mempertajam polarisasi pendapat. Keadaan yang penuh warna, berubah menjadi hitam-putih, baik-buruk.
Kita sering melihat orang emosional dan mengandalkan teriakan. Mereka sedang keras dan marah. Bukan berarti, kita harus ikut keras dan marah. [dm]