in

Jejaring Sosial untuk Politik dan Hedonisme Digital

197

Sensor, Pengintaian, dan Manipulasi Informasi

Banyak caleg dan kandidat presiden yang membidik pemakai smartphone dan jejaring sosial untuk berkampanye. Mereka memproduksi informasi, menyebarkan pamflet propaganda, dan berinteraksi dengan para calon pemilih, melalui jejaring sosial, blog, dan akun-akun buatan.

Tidak semua pemakai smartphone menyukai semangat demokrasi liberal. Banyak juga yang apatis terhadap janji politik, namun, mereka ini tetaplah pemakai internet.

Ada negara-negara yang menguasai internet warga, misalnya: Russia, China, dan Iran. Rusia, seperti kita tahu, tidak memiliki program jangka panjang. China, sebaliknya, sejak awal percaya kekuatan teknologi, sebagaimana Iran yang menjadi musuh besar Yahudi.

Tindakan pemerintah Amerika lebih mengerikan, yaitu mengintai dan menyadap aktivitas komunikasi warganya, melalui NSA (National Security Agency), mulai dari handphone, email, dll. Bukan rahasia jika Google membuat pangkalan informasi yang digunakan militer Amerika. Bukan rahasia pula jika China membendung arus informasi dengan membangun firewall (tembok-api digital) agar stabilitas ekonomi dan politiknya terjaga.

Pemerintah Russia, China, dan Iran, menyewa, melatih, dan membayar narablog untuk memberikan komentar ideologis dan membuat tulisan untuk mengomentari isu politik sensitif. Sensor, yang diterapkan di negara itu, tidak efisien menghadapi gencarnya informasi dari luar.

Sekarang, lihatlah kasus Turkey, negara yang membatasi Twitter, semakin kewalahan menghadapi kekuatan penduduk. Terapkan pelarangan, maka penduduk akan belajar mengakses situs terlarang, mereka akan gunakan VPN (Virtual Private Network), shell, proxy, dan aplikasi pembuka proteksi.
Informasi itu bebas. Informasi, mengalir seperti air, ketika dibendung dia akan menjebol pertahanan. Tidak perlu dibendung, tetapi, lakukan pemutarbalikan informasi untuk tujuan politik dan dagang.
Caleg dan kandidat presiden, perlu memperkerjakan narablog, website, dan akun-akun anonymous, untuk kuasa-informasi.

Orang tidak perlu baca sejarah sebuah partai dan kebijakan politik, mereka akan memihak (atau menyukai) informasi yang dianggap “masuk akal”, “terbaru”, dan berasal dari “sumber terpercaya”.
Deliberasi otoriter terjadi, di mana “warga” seolah-olah terlibat, dan akan berujung pada dukungan masa.

Pilihan Politik dan Hedonisme Digital

Justru, seruan memakai internet, gencar dibicarakan, agar orang memasuki ruang hampa informasi. Blog, wiki, pencitraan media online, bersandingan dengan “hedonisme digital”. Saya mempunyai seorang teman yang rajin share link berita online, mengomentarinya dengan sikap politiknya, menghujat dan memuji. Dia ini merupakan tipikal orang yang menjadi penikmat jejaring sosial, terlibat penuh sebagai konsumen berita politik.

Secara tidak langsung, dia terlibat dengan pengambilan keputusan, menular kepada teman di Facebook ataupun pengikut di Twitter dia.

Hedonisme digital, tidak berhenti sebagai keasyikan menuliskan status dan tweet. Beri warga akses internet cepat, dan lihatlah apa yang terjadi. Mereka download film dan musik, menonton YouTube, mengumbar kebiasaan selfie, dll. Mereka tidak pergi ke mana-mana, hanya membaca, menonton, dan menengok dunia dari internet. Mereka, jika terlibat dalam forum pengambilan keputusan, yang dengan sengaja diciptakan untuk pembentukan opini, maka akan dianggap sebagai representasi publik.

Melibatkan publik dalam pengambilan keputusan, secara online, bisa meratakan tanggung jawab. Jika ternyata gagal, mereka bilang, “Kami sudah membuka usulan, dan publik memilih begini.”.

Tidak jarang pula, kebenaran berdasarkan “opini” media massa, mengalahkan kebenaran berdasarkan “hukum”. Lihatlah para aktor politik yang sedang diproses hukum dan menolak dipanggil KPK, mau datang di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) untuk membentuk opini publik.
Meminta diadakannya forum terbuka, mengantar orang pada pseudodemokrasi, seolah-olah demokrasi. Para pemimpin dan legislatif yang kelak tetap memegang agenda dan keputusan politik.
Internet menahan orang di dalam hedonisme digital, mereka sibuk dengan koneksi vpn, shell, proxy, untuk menaikkan kecepatan download, memburu aplikasi dan film terbaru, serta meramaikan propaganda politik, menyebar poster dan status yang sedang ramai. Internet memang memainkan peran sosial, namun tidak selalu berhubungan dengan keterlibatan politis.

3 Faktor Kegagalan Menambang Data Politik di Jejaring Sosial

Sekarang, keadaan berubah, dunia telah dipetakan berdasarkan pemakaian jejaring sosial. Dan lihatlah Indonesia, lihatlah teman dan tetangga Anda sendiri.

Orang Indonesia lebih suka pasif di group dan halaman Facebook. Mereka sangat mencintai profile Facebook sendiri.

Data yang ditambang dari akun Facebook sekarang ini, dihambat dengan banyak sekali pengaturan privacy bawaan Facebook.

Perusahaan iklan, masih menggunakan demografi, atau sistem pemetaan konsumen berdasarkan asal, jenis kelamin, kesukaan, dll. yang masih tradisional. Data itu tidak bisa menjelaskan: berapa orang yang concern terhadap isu lingkungan-hidup? Berapa orang yang tahu tentang sejarah Indonesia? Tidak bisa dideteksi.

Penyebab gagalnya penambangan data dari jejaring sosial, adalah:

Pertama, pengaturan privacy di jejaring sosial, bisa diatur menjadi: sangat aman. Bisa “hanya saya”, “hanya teman”, atau dalam kondisi terlindungi.

Kedua, orang bebas memasukkan data sebagai anonymous (tak dikenal), tidak perlu jujur saat mengisikan identitas, bahkan bebas-sunting.

Sistem pendataan masih menggunakan sistem demografi lama. Manusia di jejaring sosial direduksi menjadi kategori data statistik klasik: umur, asal, jenis kelamin, dll.

Berdasarkan 3 (tiga) faktor tersebut, tidak mengherankan jika gagasan yang menarik di Facebook adalah game, aplikasi quiz, fansmania (pengidolaan terhadap tokoh, artis, dan hiburan), dan pendidikan. Isu tidak dianggap menarik di Facebook adalah isu kesehatan dan politik. Anda bisa membuktikannya dengan melihat profile Facebook Anda sendiri.

Pengisian data yang boleh berbeda, membuat gagasan yang mengalir tidak lagi memiliki gender.
Minat orang direduksi menjadi “Like” di Facebook dan “Retweet” di Twitter. Mengetahui apa yang kamu sukai, lebih menarik daripada kategori-kategori demografi lama dalam statistik. Saya suka berteman dengan orang yang menyukai film “Godfather” daripada tahu asal dan jenis kelamin teman saya. Apa yang kamu sukai, lebih “mendasar” daripada data mengenai dirimu. Gagasan tidak lagi dipengaruhi gender.

Menurut statistik, perempuan lebih banyak menggunakan jejaring sosial, lebih meluangkan waktu untuk berjejaring sosial.

Kampanye tanpa Media Partisipasi Politik

Presiden Obama, yang berhasil membawa Obama ke kursi kepresidenan Amerika Serikat, mengawali kerja mereka di tahun 2008, sebelum Trump “mengacaukan” Twitter seperti sekarang. Tahun itu, Twitter masih bayi, iPad belum ditemukan, dan ponsel China belum menguasai pasar. Tim Obama memiliki filosofi sederhana: fokus kampanye di jejaring sosial bukanlah tentang teknologinya, melainkan pada perilaku pemakai jejaring sosial itu.

Behaviour, not technology.

Tim Obama menyediakan sarana partisipasi, bukan sekadar dukungan. “Kalau saya mau mendukung, bagaimana caranya? 99% caleg akan bilang : “Coblos saya!” Itu dukungan, bukan partisipasi.

Tim Obama menyajikan cara berbeda : Anda bisa sumbang uang ke rekening ini, atau Anda bisa sediakan tempat untuk diskusi agar bisa disinggahi tim kami (jika dukungannya bukan dalam bentuk uang). Obama mendapat keuntungan melimpah dari donasi ini.

Betapa menyedihkan, jika kita diminta mendukung, tetapi tidak diberi sarana berpartisipasi. Massa menjadi angka, menjadi dukungan statistik. Who fights whom. Siapa melawan siapa.

Berkampanye tanpa penyediaan sarana partisipasi politik kepada massa dan penggunaan jejaring sosial dengan perspektif demografi lama, hanyalah kesia-siaan dan pembodohan publik. [dm]

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis.