Ketika beli Twitter, dan mengubahnya menjadi X, Elon Musk menyatakan-diri sebagai kebebasan absolut.
Bagaimana rasanya bebas berpendapat?
Kebebasan berpendapat, bisa mengancam masyarakat, jika jalan tanpa akuntabilitas atau konsekuensi. Kebebasan berpendapat yang tanpa pengelolaan, hasilnya penindasan.
Tidak perlu contoh.
Apakah kebebasan berpendapat merupakan alat baik-buruk?
Banyak orang hancur, dengan pengalaman buruk, dan sedang berjuang mengatasi itu. Terlalu banyak pertengan: pandangan moral, arus utama, minoritas, nilai-nilai moral, itu sebagian keyword yang diturunkan dari perbedaan berpendapat. Sekaligus banyak “irisan” (persamaan, entah sementara ataupun permanen), yang mungkin tak-terlihat. Penalaran intelektual, adu nilai-nilai universal, membawa orang kepada “opini” yang berdasarkan emosi dan firasat. Perdebatan yang tiada akhir antara perubahan atau “status quo“. Bahkan kebebasan berpendapat sudah bergeser menjadi “penentuan” pemihakan. “Kamu di pihak siapa? Opini mana yang kamu ikuti?”.
Ini bergeser lagi menjadi reproduksi saluran (jangan terbalik!).
Channel dan akun kebebasan berpendapat, ada di mana-mana, hanya agar bebas berpendapat. Channel dan akun ini terikat pada satu hal: prosedur untuk bebas berpendapat, agar mereka tidak bermasalah di “station” yang mereka pakai: YouTube, Twitter, Tiktok, hanya sebagian contoh.
Kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang “kompleks” dan “tunduk” pada peraturan.
Media sosial bisa menjadi “crime scene“, alias “tempat kejadian perkara”, di mana seseorang memperkarakan lembaga, atau individu, secara hukum. Kebebasan berpendapat menjadi penuh mediasi. “Sediakan panggung, biarkan mereka bicara”.
Dan terjebak pada pelanggaran pasal. Bahkan mungkin bukan pasal yang sekarang ada, karena peraturan bisa berkembang. Bahkan mereka yang bebas berpendapat ini, sangat jarang mengerti kronologi dan detail pasal Undang-undang ITE, kalau di Indonesia.
Kebebasan berpendapat menjadi penuh mediasi. Kegelapan realitas, menyingkap fakta, bahkan membedakan antara fakta dari opini, memerlukan kerja-bersama. Antara “kita” dan “mereka”. Kedaulatan rakyat sudah dipercayakan dalam politik partisan. Ada kata “oposisi” yang tidak ada di sistem pemerintahan kita.
Pernahkah kita berpikir, peraturan siapa yang sebenarnya dominan, ketika kita sedang bebas nge-twit di X?
Media sosial menjadi miniatur dari cara kita mengekspresikan kebebasan berpendapat — ketika ruang di luar medsos sudah tidak bisa memenuhi janji keterbukaan.