Sosialisasi membentuk kamu yang “seharusnya”, menurut konsensus, cenderung “normal”.
Apakah kamu pernah kontraktif, bertentangan, dengan dirimu sendiri?
Kita sering membentuk pengalaman, dari dataran tinggi. Kita melihat tujuan, ingin ke sana, menetapkan titik perhentian [sementara], menyiapkan bekal, berjalan. Kita merasa mundur, berasal dari kejenuhan. Segala sesuatu tidak sebaik yang kita kira. Kita tidak sebaik yang kita kira. Kita mulai beroperasi dari keadaan ketakutan.
Kita takut kehilangan. Takut putus, takut ditinggalkan, takut kekurangan, takut tidak punya pekerjaan, takut tidak menjalin hubungan, takut waktu sia-sia, uang berkurang, semua itu “takut kehilangan”. Arahnya ke mana? Kita tidak ingin menjalani kehidupan yang “seharusnya” kita jalani. Biasanya, “seharusnya” berasal dari pandangan kita tentang normalitas, tujuan, jalur ramai semua orang (sekolah, bekerja, menikah). Kita melupakan siapa diri kita, karena jarang bertanya, “Apa yang kamu inginkan, menurut kamu sendiri?”. Kamu sudah utuh sejak awal, punya kekuatan luar biasa, penuh cinta, sampai terpesona kepada banyak hal. Kamu melupakan banyak hal baik yang sudah kamu bangun: membaca buku, menggambar, rajin belajar, baik kepada orang lain. Sosialisasi, yang sering menormalkan kita, membuat kita sering melupakan apa yang kamu inginkan untuk diri sendiri. Kamu tahu itu. Kamu tidak merasa enak dengan itu. Sampai kamu bilang, “Saya hanya sampai di sini, hanya sebatas ini, hanya bisa begini.”. Tidak lebih.
Ada yang lebih menakutkan dari rasa takut kehilangan, yaitu, ketika kamu kontraktif dengan dirimu sendiri. Contohnya? Kamu tidak percaya bahwa kamu cantik, pintar, dan berhasil. Kamu tidak percaya potensi itu.
Kekalahan kita, bukan karena penghalang, orang, atau musuh yang kuat. Kekalahan kita, hanya terjadi ketika kita tidak percaya dan tidak mengembangkan potensi terbaik kita.
“Apa yang benar-benar kamu inginkan untuk dirimu sendiri?” [dm]