Di Instagram, saya melihat akun perempuan di Beranda, berjoget, dengan filter pabrikan dari aplikasi dan ponsel mahal. Akun iklan yang harus dilihat orang. Saya tidak peduli sama sekali pada akun iklan ini. Sebagai pemakai, saya tidak punya empati untuk mereka.
Saya mendengar berita pembunuhan dibicarakan di warung kopi. Entah untuk apa perbincangan seperti itu. Mereka tidak suka, namun terus membaca berita dan melihat video update berita (yang sebenarnya bukan berita).
Kawan saya nongkrong baru saja lulus dan mendapat gelar doktor. Orang yang tidak pernah mengerti bagaimana dia meraih gelar doktor, terpesona dengan jumlah buku yang ia baca dan siapa saja dosen mereka.
Di seberang jalan, ada seorang haji yang kaya-raya, punya banyak karyawan, dan nota ratusan juta yang belum sempat ia cairkan.
Betapa mudah mengklasifikasikan orang, dengan sistem lama, dengan pandangan stereotype yang mudah diprediksi hasilnya. Pakaian bagus, pendapatan, gelar, dst. Sampai kemudian klasifikasi itu bermasalah.
Lebih mudah lagi untuk berkata, “Dia hebat, melakukan ini dan itu..”. Lebih mudah mengatakan, “Saya tahu perasaanmu..”.
Tidak. Empati tidak sama dengan simpati. Empati lebih terasa tanpa kata-kata. Empati tidak bisa diajarkan hanya dengan kalimat.
Klasifikasi juga demikian.
Apa yang kita sebut pasar, berisi massa, perdagangan massal, produksi massal, dan informasi yang sengaja disebarkan secara massal. Pasar adalah medan perang. Tempat transaksi. Tempat perhatian dan paksaan, sekaligus tempat pemasar memberikan harapan.
Manusia tidak homogen. Identitas mereka berubah. Pagi menjadi petani, siang menjadi orang tua, malam menjadi penonton televisi, bahkan perubahan identitas ini sangat cepat karena dalam sehari ada 100+ keputusan kecil yang muncul dari bawah-sadar.
Kita lebih suka menjadi seseorang untuk “sekarang”.
Untuk menang di pasar, jangan berhenti mempelajari manusia. Apalagi berhenti dalam klasifikasi lama. [dm]