“Kamar kelas 3 habis, masih ada kamar kelas 1”, kata resepsionis hotel. Itu taktik hotel agar ada pemesan di kelas 1. Tidak mungkin saya cek. Saya sedang membutuhkan kamar, tidak mau keluar dari hotel ini. Saya booking kamar kelas 1.
Saya tahu sedang di kelas satu, dari bentuk kamar lebih luas, toilet memakai bath tub, dan ada kotak deposit dengan kunci kombinasi. Ada yang siap antar kalau mau shopping. Sebentar, kelihatannya itu pelayan yang tadi di kelas 3 (lebih rendah). Mengapa saya dapat pelayan sama di kelas 2 dan di kelas 1?
Perlakuan berbeda untuk pelanggan di kelas berbeda, seharusnya pelayan juga berbeda. Sudah wajar. Beberapa hal tetap sama.
Masalahnya, tidak semua pegawai, yang berjalan dalam sistem perhotelan, memiliki sikap sama.
Ada yang ramah, ada yang menyebalkan. Pelanggan tidak tahu yang mana. Mereka tidak begitu kenal dengan siapa yang akan melayani mereka.
Ketika kamu “menjual” layanan, dengan membedakan kelas, jangan lupa membedakan cara kamu melayani orang. Cara menjawab, bercerita, memberikan bonus, bertanya, sikap, dll. Bukan hanya apa yang kamu berikan.
Sebisa mungkin, pelanggan jangan sampai melihat kesenjangan ini.
Pemenang selalu memakai sistem dan sistem tidak menahan para pemenang. Buatlah mereka tidak bermasalah. Jangan hanya terlihat tanpa masalah.
Jangan sampai mereka merasa di kelas 1, bersama pelayan kelas 3. [dm]