Keduanya bersepakat, konsultasi ke psikolog. Mereka memilih psikolog ini, setelah konflik berkepanjangan (entah yang ke berapa).
Di ruang praktek, psikolog ini tidak memberikan banyak nasehat. Dia tahu, sepasang kekasih ini sudah banyak tahu tentang bagaimana cara mengatasi emosi, namun, banyak faktor yang membuat mereka harus, atau terpaksa, atau kangen konflik.
Psikolog ini hanya memberinya sebuah alat. Semacam penghitung (counter) yang angkanya bisa bertambah, setiap kali ditekan.
Psikolog ini berpesan, “Mulai sekarang, bawalah alat ini. Satu-satunya alat, yang bisa membuat kalian mengerti, tentang konflik dalam hubungan cinta. Selama 10 jam, alat ini harus dibawa lelaki. Jika ada hal yang menurutmu tidak menyenangkan dari pasanganmu, tekan!” katanya sambil memperagakan cara memakainya.
Ada angka bertambah.
Dia melanjutkan, “10 jam berikutnya, berikan kepada kekasihmu, biarkan dia #pakai alat ini. Jika merasa ada yang bisa menimbulkan konflik, tekan!” katanya sambil memperagakan lagi.
Psikolog itu menekan tombol reset. Angka kembali ke nol.
Sepasang kekasih itu saling pandang, lalu bertanya kepada psikolog itu, “Hanya itu?”.
Psikolog itu mengangguk, “Jangan lupa, setelah menekan tombol, pastikan kamu harus menjelaskan alasanmu mengapa harus menekan tombol. Jangan reset angka. Apa yang sudah ditekan pasanganmu, biarkan saja. Kamu hanya perlu meneruskan. Bawa hasilnya ke sini. Besok.”
Sepasang kekasih itu mengangguk. Keduanya keluar dari ruangan praktek.
Ini semacam penentu keputusan terakhir. Si Lelaki membawa alat penghitung itu lebih dulu, 10 jam kemudian baru akan diberikan kepada Si Perempuan.
Sepakat.
Belum sampai parkiran, Si Lelaki merasa ada hal menjengkelkan. Dia tekan tombol. Saat Si Perempuan terlalu banyak mengeluh, Si Lelaki tekan tombol. Setelahnya, dia selalu menjelaskan apa yang membuatnya menekan tombol. Alasan diterima.
Banyak kejadian. Tombol ditekan dan ditekan lagi, penjelasan datang kemudian.
Saat giliran Si Perempuan memegang alat penghitung itu, banyak kejadian lain. Dia memberikan penjelasan setiap menekan tombol, seperti pesan Sang Psikolog tadi.
Giliran 10 jam pertama dan 10 jam kedua sudah selesai. Mereka datang ke psikolog itu, menyerahkan alat penghitung tadi.
Sang Psikolog melihat angkanya. 39. Hampir 40.
Sang Psikolog bertanya, “Apakah kalian masih saling mencintai?”.
Keduanya mengangguk.
Sang Psikolog mendesak, “Angka kalian 39. Aku pikir, konflik kalian hanya akan sampai di angka 27 atau paling tinggi 33. Ini rekor baru. Sungguh luar biasa.” katanya dengan wajah cerah ceria.
Keduanya mengangguk. Lalu saling-pandang.
Si Lelaki bertanya, “Alatmu memang bekerja, namun, aku sangat jengkel dengan cara kerja alat ini. Setiap ada kejadian, aku harus mengamati, apakah layak masuk dalam konflik atau tidak. Dan setiap selesai menekan tombol, aku harus menjelaskan, mengapa aku harus menekan tombol itu.”
Si Perempuan menambahkan, “Selain itu, kami tidak peduli. Apa artinya kalau angka kami ternyata paling tinggi, sementara ternyata kami saling mencintai.”
Sang Psikolog itu melepaskan kacamatanya, lalu meletakkan alat itu ke dalam laci, dan mengunci lacinya.
Dia duduk, tersenyum, dan berkata kepada sepasang kekasih itu,
“Sekarang, kalian berdua mengerti. Betapapun tingginya angka itu, kalian ternyata tetap saling-cinta. Masalahnya, bukan pada alat itu. Terbukti, kalian tidak membutuhkan alat penghitung konflik itu sama sekali. Nantinya, sebelum melakukan apa-apa, kalian hanya perlu menyadari dan bertanya: apakah aku perlu mencari kesalahan pasanganku? Dan apapun yang ditambahkan kekasihmu setiap dia menambahkan angka, kamu harus bisa menerimanya. Tidak perlu mengalahkan jumlah angka yang diberikan kekasihmu.”.
Sepasang kekasih saling-pandang. Rupanya, mereka mengerti.
Psikolog itu membuka pintu, “Pergilah, rupanya angka kalian tertinggi namun sudah saling-mengerti. Kalian berdua ternyata saling mencintai.”
Sepasang kekasih itu keluar dari ruang praktek. Sambil tersenyum. Mereka tidak butuh tombol-penghitung itu lagi. [dm]