Kebisingan itu seperti orang asing yang datang, mengambil minuman kita, lalu tidak mau pergi begitu saja. Lebih sering, kita menyingkir, ke tepian, agar tidak terganggu kebisingan.
Kebisingan “mental”, lebih mengerikan: sticker, gambar, dan video yang tidak kita inginkan, link berita, iklan yang terang-terangan membajak perhatian.
Kebisingan “suara”, bisa kita deteksi satuannya, berapa desibel. Kebisingan “mental”, belum punya satuan.
Kebisingan “mental”, mirip topeng. Menutupi wajah kita, membuat kita kehilangan “signal” (kata ini, lawan dari “noise”, kebisingan).
Schopenhauer, filosof Jerman, 150 tahun yang lalu, sudah memprediksi ini. Jauh sebelum Aldous Huxley menuliskan Brave New World. Jauh sebelum ada WikiWand (versi modern Wikipedia). Kebisingan tidak memotong hal penting. Kebisingan lebih berbahaya dari itu. Kebisingan membuat yang-penting berada di antara hal-hal yang-tidak-penting.
Dalam esai “on Authorship“, Schopenhauer menuliskan kebisingan yang “mematikan pikiran”, di mana suara yang benar ditenggelamkan oleh suara yang baru.
Schopenhaer berkata, “Tidak ada kesalahan yang lebih besar yang dapat dibuat daripada membayangkan bahwa apa yang telah ditulis terbaru selalu lebih benar; bahwa apa yang ditulis kemudian merupakan penyempurnaan dari apa yang telah ditulis sebelumnya; dan bahwa setiap perubahan berarti kemajuan.”
Itu terjadi ketika kita klik tanpa berpikir, sebatas penasaran. Selfie karena ikut-ikutan, tanpa tahu kalau ratusan juta orang memiliki motivasi iseng.
Yang baru, mengacaukan yang baik.
Pikiran kita bukan pemfilter informasi. Pikiran kita, sejak Zaman Purba, lebih terlatih untuk “berburu dan mengumpulkan”. Ketika pikiran kelelahan untuk memfilter, dan dipaksa untuk terus-menerus memfilter, pikiran akan menyerah. Tidak punya waktu untuk berpikir.
Pada zaman Schopenhauer, godaan yang “mengaburkan” datang dari ensiklopedia. Perancis mengembangkan ensiklopedia pada Abad ke-18, dengan tujuan: orang tahu dan dapat pemecah-masalah dengan ensiklopedia.
Schopenhauer tidak suka. “.. seratus kali lebih berharga jika kamu capai -solusi- dengan memikirkan diri sendiri,” katanya.
Orang memakai ensiklopedia sebagai pintasan untuk mengerti. Mereka mencari jawaban di buku. Bukan dengan pikiran mereka.
Zaman sekarang, kita memakai Google atau Alexa untuk mencari jawaban.
Kekacauan yang terjadi: kita sering anggap data sebagai informasi, anggap informasi sebagai pengetahuan (knowledge), dan anggap pengetahuan sebagai kebijaksanaan (wisdom). Kita mengira informasi sebagai wawasan.
Sebenarnya, bukan. Mengikuti berita perang, bukan berarti kamu paling tahu tentang perang itu. Lebih awal menemukan fakta “Tidak ada satupun jembatan di sungai Amazon” bukan berarti kamu pintar. Dan menuliskan quote kata-kata bijak, bukan berarti kamu mencapai kebijaksanaan.
“Noise” membuat kita kehilangan signal. Dari pikiran sendiri, dari suara kita sendiri. [dm]