Memalukan sekali, kalau salah pakai kata. Akibatnya bisa buruk, seketika, atau memicu pewaktu yang akan bikin keadaan berantakan setelah beberapa lama. Justru ketika kamu tidak bisa meralat apa yang sudah kamu tuliskan, apa yang telah kamu katakan.
Orang sering salah-kaprah (misuse) dalam memakai kata. Seperti kata “kepo”, yang berasal dari bahasa China, dianggap sebagai akronim “knowing every particular objects”. Kata “kepo” sudah masuk KBBI.
Kalau istilah itu bisa dilacak asalnya, itu lebih baik, misalnya memakai Etym Online. Jika berbahasa Inggris, ada kamus paling tebal di dunia yang menjelaskan kata berdasarkan “historical principles”.
Kamus Oxford paling rajin memperbarui entri dari kata-kata serapan yang sudah populer.
Jika itu “technical terms” dari suatu disiplin ilmu, pakai kata itu pada konteks yang tepat. Misalnya, Heidegger memakai kata “angst”, yang tidak bisa diterjemahkan sebagai “anxiety” dalam bahasa Inggris. Atau “shadow” dalam ilmu psikologi Carl Gudtav Jung, tidak berarti “bayangan”.
Saya pernah menulis tentang sejarah kata “hoax” yang tidak sama dengan penjelasan Rocky Gerung dan Reynald Kasaly dalam debat mereka, dan penjelasan saya lebih detail.
Jelaskan konteks yang mengubah arti kata. Pada prinsipnya, suatu kata bisa berarti berbeda, berganrung pada konteks pemakaian. Dalam Kitab Ihya’ `Ulum al-Din, kata “`aql” memiliki 4 makna.
Media sering dengan mudah “menerapkan salah-pakai”, dianggap benar sebagai perkembangan bahasa, padahal sebenarnya salah.
Kita sering baca halaman “Pedoman Media Saiber” versi Dewan Pers. Kata “saiber” serapan dari prefix (awalan) “cyber-“. Sebagai prefiks, “cyber-” bukan kata. Kita sering baca kata “cyberspace”, ” cybereconomy”, “cyberpolitics”, dll. Versi Dewan Pers, ” cyber-” malah menjadi kata, sebagaimana dalam “Pedoman Media Saiber”.
Kata memiliki sejarah, memiliki penjelasan teknis, dan konteks pemakaian. Kata tidak bisa hanya kita lihat dari sudut pandang kamus atau pemakaian.
Pemakaian kata yang tidak pada arti dan konteks tepat, akan menghilangkan kekuatan kata itu.
Seperti kata “cinta” yang menjadi “bucin”, memperlihatkan citraan cinta yang dianggap memperbudak. Atau kata “adil” yang lebih sering terdengar dalam bentuk ‘tidak adil”. Apalagi di forum yang mengkritik pemerintah sekarang.
Bahkan kata “korupsi” mengalami “korupsi” bagi orang yang tidak mengerti apa arti “korupsi”.
Sangat wajar, dalam setiap tulisan ilmiah, beberapa kata yang sedang menjadi pembahasan, dibahas dengan detail. Atau dalam suatu perdebatan seru, tanpa titik-terang, orang sering kembali pada kata yang sedang dibahas.
Apa artinya?
Bagaimana sejarahnya?
Sebagai technical term, apa kata disiplin ilmu yang berkaitan dengan kata ibi?
Sedang kita pakai dalam konteks apa?
Agar tidak “abuse”, agar kita tidak malu dengan kata yang sudah kita pakai. [dm]