Dalam suatu pertemuan, saya perhatikan siapa yang paling diam, tidak banyak bicara. Mereka biasanya menyimpan energi besar. Yang tidak banyak bicara, belum tentu “introvert”. Kadang mereka berprinsip, “Katakan apa yang kamu tahu, ketika harus bicara. Jangan mengatakan semua yang kamu tahu.”.
Berbicara dan terhubung, dengan teknologi. Canggih. Platform sangat mendukung. Chat, email, video, diary, koleksi link, diskusi, dll. Bisa terhubung kapan saja, dari mana saja.
Ada seorang kawan yang mengaku tidak punya ide untuk mengatakan sesuatu kepada dunia. Dia memilih hanya memakai aplikasi, jarang menulis status atau upload sesuatu.
Begitu mudahnya “”terhubung”.Pertanyaan:
“Bagaimana jika kamu tidak punya sesuatu untuk dikatakan?”
Ada seorang kawan yang lain, yang mengatakan apapun yang ia inginkan. Gembira, piknik, makan apa, sedang di mana, ia posting.
Dia tidak pernah bertanya begini:
“Bagaimana jika ini semua terjadi karena teknologi (dengan mudahnya posting) mendesakmu untuk selalu posting, dengan content mirip orang lain?”
Bicara itu mudah. Mengikuti orang lain itu mudah. Berdiri di pundak raksasa. Berjalan bukan dengan kaki kamu sendiri.
Itulah masa di mana kamu [merasa] tidak punya kata. Menulis dan posting dengan content seperti orang lain. Sesuatu yang mendesakmu ingin mengatakan, tidak selalu harus kamu katakan.
Tulisan yang tidak pernah kamu ragukan sebelum kamu posting adalah tulisan yang akan mengancam dirimu sendiri.
Jika kamu tidak bisa berbicara dengan seseorang di sebelahmu sekarang, teknologi [canggih] itu menjadi tampak tidak bermanfaat.
Secanggih apapun teknologi itu. [dm]