“Status-quo” artinya bukan “kekuasaan” atau “penguasa”.
“Status quo” dari bahasa Latin, artinya: “keadaan saat ini” atau “keadaan yang tetap dan cenderung tidak bisa berubah”.
Contoh “status quo”? Jika di suatu tempat, banyak orang bermalas-malasan (ini keadaan) sejak dulu (cenderung tidak berubah), maka itulah status quo tempat itu.
Mereka yang suka perubahan yang lebih baik, selalu mempertanyakan status quo. Menantang status quo itu bagus.
Kalau “status quo” saya dalam kecepatan membaca buku, masih seperti setahun yang lalu, berarti ada yang “bermasalah” dari cara saya membaca buku. Orang boleh memilih jalur mereka masing-masing. Yang tidak mau berubah, membiarkan status quo tetap sebagai status quo. Alias sekarang yang tidak berubah. Masih begini terus.
Menantang status quo berarti mengajak orang keluar dari “zona nyaman” dan “zona aman”, agar lebih baik lagi. Kita sedang di dalam tempurung, lihatlah lubang itu, kita bukan hanya bisa mengintip langit yang luas kalau mau keluar dari tempurung status quo.
Perubahan selalu berawal dengan menantang status quo. Kita tidak bisa sendirian. Kita tidak bisa melihat suatu entitas terpisah dari entitas lain. Ada “hidden connections“, kata Frithjof Capra.
Membincang kemiskinan tanpa melihat keterhubungan faktor-faktor yang membuat kemiskinan terbentuk, tidak akan bisa menghapus kemiskinan. Seorang diri, tidak lebih kuat dibandingkan penguatan hubungan orang-orang yang terorganisasi dan memiliki visi sama. Efek jaringan selalu lebih baik, dan berawal dari kesadaran individual terlebih dulu.
Dunia tidak sedang kacau. Dunia selalu kacau. Orang-orang hanya terlihat diam. Mereka terdengar kalau kita mendengarkan, dan terpimpin kalau kita mau lebih dahulu mendatangi mereka.
Menantang status quo adalah jalan awal dari perubahan.[dm]
