Menganggap kelalaian (tidak bertindak) lebih salah dibandingkan dengan bertindak yang menyebabkan kerugian, meskipun akibatnya sama. Ini menyebabkan orang mengabaikan tanggung jawab moral atas dampak kelalaian.
“Omission bias” adalah kecenderungan untuk menganggap tindakan yang menyebabkan kerugian lebih salah daripada kelalaian dengan dampak serupa, karena tindakan terasa lebih disengaja, meskipun konsekuensinya setara. Istilah ini dipopulerkan oleh Jonathan Baron dan Ilana Ritov melalui penelitian tentang pengambilan keputusan moral (Baron and Ritov 1994). Ini seperti menganggap dokter yang tidak memberikan vaksin (kelalaian) kurang salah daripada dokter yang memberikan vaksin dengan efek samping, meskipun keduanya menyebabkan kematian.
Summary
Orang memaafkan kelalaian yang merugikan dibandingkan tindakan dengan dampak serupa, mengabaikan tanggung jawab moral dan konsekuensi, sehingga memperburuk masalah.
Definisi dan Mekanisme
Menganggap kelalaian tidak berdosa menciptakan tabir yang menyembunyikan tanggung jawab moral. Seorang manajer tidak memperbaiki mesin rusak, menyebabkan kecelakaan, tetapi merasa kurang bersalah karena “tidak bertindak.” Orang tua menolak vaksinasi anak, menyebabkan wabah, namun merasa tidak seburuk jika vaksin menyebabkan efek samping. Bias kelalaian menghilangkan menyesatkan, memanfaatkan kecenderungan otak untuk menganggap tindakan lebih disengaja dan salah daripada kelalaian, meskipun hasilnya sama. Akibatnya, masalah berlarut, kerugian meningkat, dan tanggung jawab moral diabaikan.
Bayangkan dua dokter: satu tidak memvaksin pasien, menyebabkan kematian akibat penyakit; yang lain memvaksin, menyebabkan kematian akibat efek samping langka. Kebanyakan menilai dokter kedua lebih salah, meskipun hasilnya sama. Dalam psikologi moral, Jonathan Baron menunjukkan bahwa 70% orang lebih memaafkan kelalaian daripada tindakan dalam skenario hipotetis, meskipun dampaknya identik (Baron, Jonathan, and Ilana Ritov. 1994. “Reference Points and Omission Bias.” *Organizational Behavior and Human Decision Processes* 59, no. 3: 475–498). Secara statistik, ini terkait dengan “status quo bias,” di mana tidak bertindak dianggap lebih aman, dengan studi menunjukkan preferensi kelalaian hingga 65% dalam keputusan berisiko (Spranca, Mark, Elisa Minsk, and Jonathan Baron. 1991. “Omission and Commission in Judgment and Choice.” *Journal of Experimental Social Psychology* 27, no. 1: 76–105). Daniel Kahneman menghubungkan ini dengan “loss aversion,” di mana kerugian akibat tindakan terasa lebih berat daripada akibat kelalaian (Kahneman, Daniel. 2011. *Thinking, Fast and Slow*. New York: Farrar, Straus and Giroux, 301–309). Dalam sosiologi, Pierre Bourdieu berargumen bahwa norma sosial sering memaafkan kelalaian karena tidak mengganggu “kapital sosial” atau status (Bourdieu, Pierre. 1979. *Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste*. Cambridge, MA: Harvard University Press, 192–198). Teoretis, etika utilitarian (misalnya, John Stuart Mill) menegaskan bahwa kelalaian dan tindakan setara jika hasilnya sama, namun bias ini bertentangan dengan prinsip tersebut. Media sosial memperparah bias ini, dengan narasi yang menyalahkan tindakan (misalnya, “vaksin berbahaya”) sementara memaafkan kelalaian (misalnya, tidak memvaksin). Bias ini merajalela. Kegagalan regulasi menyebabkan bencana. Penolakan vaksin memicu wabah. Manajer mengabaikan risiko. Akibatnya, kerugian bertambah, solusi tertunda, dan moralitas terkikis. Bahaya. Bias kelalaian menghilangkan membuat orang lupa: tidak bertindak sama buruknya dengan tindakan yang merugikan.
Asal-Usul Istilah
Istilah ini diperkenalkan oleh Jonathan Baron dan Ilana Ritov melalui studi tentang penilaian moral (Baron, Jonathan, and Ilana Ritov. 1994. “Reference Points and Omission Bias.” *Organizational Behavior and Human Decision Processes* 59, no. 3: 475–498). Kahneman memperkuatnya dengan analisis bias kognitif (Kahneman, Daniel. 2011. *Thinking, Fast and Slow*. New York: Farrar, Straus and Giroux). Penelitian sebelumnya oleh Spranca dkk. juga mendukung (Spranca, Mark, Elisa Minsk, and Jonathan Baron. 1991. “Omission and Commission in Judgment and Choice.” *Journal of Experimental Social Psychology* 27, no. 1: 76–105). Istilah ini kini mengingatkan bahwa kelalaian memiliki konsekuensi setara dengan tindakan.
Contoh
Kegagalan Memperbaiki Mesin Rusak
Manajer tidak memperbaiki mesin karena “tidak ada anggaran,” menyebabkan kecelakaan kerja. Journal of Safety Research (2020): 40% kecelakaan industri akibat kelalaian pemeliharaan. Kenyataannya? Korban terluka, manajer dianggap kurang salah. Bagaimana orang salah memandang kelalaian? Memaafkan tidak bertindak. Bukan hasil. Mengapa? Bias kelalaian menghilangkan mengurangi tanggung jawab.
Penolakan Vaksinasi Anak
Orang tua menolak memvaksin anak, menyebabkan wabah campak. American Journal of Public Health (2019): Penolakan vaksin meningkatkan kasus campak 30%. Kenyataannya? Anak sakit, tetapi kelalaian dianggap “pilihan.” Bagaimana orang salah memandang vaksin? Memaafkan kelalaian. Bukan dampak. Mengapa? Bias kelalaian menghilangkan menutupi konsekuensi.
Ketidakpatuhan Regulasi Lingkungan
Perusahaan tidak memperbarui sistem limbah, menyebabkan polusi sungai. Environmental Management (2018): 50% pelanggaran lingkungan akibat kelalaian. Kenyataannya? Ekosistem rusak, tetapi perusahaan dianggap kurang salah. Bagaimana orang salah memandang regulasi? Memaafkan kelalaian. Bukan kerugian. Mengapa? Bias kelalaian menghilangkan meminimalkan tanggung jawab.
Kegagalan Memperingatkan Risiko Keamanan
Karyawan tidak melaporkan kebocoran gas karena “bukan tugasnya,” menyebabkan ledakan. Journal of Risk Research (2021): 35% insiden keamanan akibat kelalaian pelaporan. Kenyataannya? Korban jiwa, tetapi karyawan merasa tidak bersalah. Bagaimana orang salah memandang risiko? Memaafkan kelalaian. Bukan akibat. Mengapa? Bias kelalaian menghilangkan mengaburkan moralitas.
Solusi
Jangan anggap kelalaian tidak berdosa. Berikut langkah konkret melawan bias kelalaian menghilangkan:
- Bandingkan hasil tindakan dan kelalaian. Tanyakan: “Apa dampak jika saya bertindak vs. tidak?” Misalnya, untuk vaksin: “Tidak memvaksin: wabah (30% risiko); memvaksin: efek samping (0,01% risiko).” Tulis: “Hasil setara, kelalaian tidak lebih baik.” Ini menyamakan tanggung jawab.
- Gunakan lensa Bourdieu. Refleksikan: “Norma sosial apa yang memaafkan kelalaian?” Misalnya, untuk lingkungan: “Apakah budaya perusahaan menghindari tanggung jawab?” Catat 3 dampak: “Polusi, denda, reputasi.” Ini melawan norma permisif (Bourdieu, Pierre. 1979. *Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste*. Cambridge, MA: Harvard University Press).
- Fokus pada konsekuensi. Nilai hasil, bukan niat. Misalnya, untuk keamanan: “Kebocoran gas: ledakan, bukan soal ‘tugas.’” Tulis: “Konsekuensi > alasan kelalaian.” Ini meningkatkan kesadaran moral.
- Edukasi diri tentang etika. Baca Thinking, Fast and Slow (Kahneman, Daniel. 2011. *Thinking, Fast and Slow*. New York: Farrar, Straus and Giroux). Catat: “Kelalaian = tindakan jika hasil sama.” Misalnya, pelajari kasus vaksinasi. Ini membangun perspektif utilitarian.
- Refleksi mingguan dengan jurnal tanggung jawab. Luangkan 15 menit untuk menulis: “Kapan saya memaafkan kelalaian?” Misalnya, “Saya abaikan mesin rusak, tapi risiko nyata. Saya akan lapor lain kali.” Tulis pelajaran: “Kelalaian punya akibat.” Ini melatih kesadaran.
CATATAN
Kelalaian dalam Konteks Hukum: Hukum sering memandang kelalaian (negligence) sama seriusnya dengan tindakan, seperti dalam kasus malpraktik medis, di mana tidak bertindak (misalnya, tidak mendiagnosis) menyebabkan denda hingga $1 juta (Journal of Legal Studies, 2020). Kasus unik: Dokter yang tidak memvaksin dianggap bertanggung jawab atas wabah lokal di AS (2019), menarik karena menunjukkan pergeseran persepsi hukum terhadap kelalaian, mendorong pembaca untuk mengeksplorasi etika hukum.
Pengecualian: Kelalaian yang Disengaja: Dalam etika, kelalaian disengaja (misalnya, sengaja tidak melaporkan kebocoran gas untuk hindari biaya) dianggap setara dengan tindakan kriminal, dengan 80% hakim dalam studi menyamakan keduanya (Law and Human Behavior, 2018). Ini menggugah rasa ingin tahu tentang bagaimana niat memperumit penilaian moral, mengundang pembaca untuk mendalami psikologi moral.
Terperangkap dalam bias kelalaian menghilangkan, tidak bertindak menjadi alasan palsu untuk lepas tanggung jawab, namun kebenaran lahir dari kesadaran konsekuensi. Refleksi menuntun untuk menyamakan kelalaian dengan tindakan, bertanggung jawab atas hasil, dan bertindak demi solusi, seperti seorang penjaga mercusuar yang tetap menyalakan cahaya, mencegah kapal karam dengan keteguhan moral.