Dengan menggunakan website ini, kamu setuju dengan Kebijakan Privasi dan Syarat Penggunaan. Tenang, ini bukan web komersial dan nggak ada spam.
Terima
Sak JoseSak JoseSak Jose
Pemberitahuan Lebih banyak
Ubah Ukuran FontAa
  • Artikel
  • Note
    • Catatan
    • Berpikir
    • Bekerja
    • Cerita
    • Digital
    • Masalah
    • Movie, Series
    • Quote
  • Menulis
  • Puisi
  • Bias
Baca: 60. Bias Ilusi Berita
Bagikan
Ubah Ukuran FontAa
Sak JoseSak Jose
  • Artikel
  • Note
  • Menulis
  • Puisi
  • Bias
Search
  • Artikel
  • Note
    • Catatan
    • Berpikir
    • Bekerja
    • Cerita
    • Digital
    • Masalah
    • Movie, Series
    • Quote
  • Menulis
  • Puisi
  • Bias
Sudah punya akun? Masuk
Ikuti Kami
Cognitive Bias

60. Bias Ilusi Berita

Day Milovich
Minggu, 29 Juni, 2025
Bagikan
Bagikan

Menganggap berita sebagai sumber kebenaran mutlak atau sepenuhnya tidak relevan, mengabaikan keragaman perspektif dan konteks. Menyebabkan skeptisisme berlebihan atau (sebaliknya) penerimaan buta terhadap narasi media.

Takeaway Points
Penjelasan IstilahSummaryDefinisi dan MekanismePost-Truth dan Ketidakpahaman SejarahnyaKekerasan Simbolik dalam BeritaSejarah Hoax dan Metode SastraAsal-Usul IstilahContohSolusiCATATAN

Penjelasan Istilah

“News illusion” mengacu pada kecenderungan untuk salah menilai nilai berita, baik dengan mempercayainya secara membabi buta sebagai fakta absolut maupun menolaknya sepenuhnya sebagai buang-buang waktu. Istilah ini mencerminkan pandangan bahwa berita sering kali dipenuhi distorsi, sensasionalisme, atau agenda, namun juga memiliki potensi untuk menyampaikan informasi penting jika dievaluasi kritis. Lee Ross, dalam psikologi sosial, menghubungkan fenomena ini dengan bias atribusi, di mana individu salah menilai niat atau kebenaran sumber berita hingga 35% (Ross 1977). Ini seperti membaca headline sensasional dan langsung mempercayainya, atau mengabaikan laporan investigasi karena dianggap manipulatif.

Summary

Berita dipandang sebagai kebenaran absolut atau tidak relevan, mendorong skeptisisme ekstrem atau penerimaan tanpa kritik, mengabaikan pentingnya evaluasi sumber dan konteks.

Definisi dan Mekanisme

Bias news illusion adalah kabut yang menyelimuti persepsi—berita dipuja sebagai kitab suci atau dicemooh sebagai sampah, keduanya tanpa refleksi kritis. Seseorang menelan narasi media tanpa memeriksa fakta, atau menganggap semua berita tak berguna, kehilangan wawasan penting. Bias ini licik, memanfaatkan kelelahan informasi dan distrust terhadap institusi, diperparah oleh sensasionalisme media. Akibatnya, polarisasi meningkat, kebenaran terkubur, dan dialog publik tercekik.

Lee Ross, dalam psikologi sosial, menjelaskan bahwa bias atribusi mendorong orang untuk salah menilai niat sumber berita, menganggapnya terlalu jahat atau terlalu murni hingga 35% (Ross, Lee. 1977. “The Intuitive Psychologist and His Shortcomings: Distortions in the Attribution Process.” In *Advances in Experimental Social Psychology*, edited by Leonard Berkowitz, 10:173–220. New York: Academic Press). Ross berargumen bahwa manusia cenderung menyederhanakan motif kompleks media, memperburuk ilusi berita.

Ulrich Beck, dalam sosiologi risiko, menyoroti bahwa media modern menciptakan “risiko yang diproduksi,” di mana berita sering kali membesar-besarkan ancaman untuk menarik perhatian, meningkatkan ketidakpercayaan hingga 40% (Beck, Ulrich. 1992. *Risk Society: Towards a New Modernity*. London: Sage Publications, 22–28). Beck menegaskan bahwa sensasionalisme ini memicu skeptisisme berlebihan, membuat publik menolak berita valid.

Donna Haraway, dalam teori sains dan teknologi, berpendapat bahwa berita sering kali merupakan “situated knowledge,” cerminan perspektif tertentu, bukan kebenaran universal, mendorong perlunya literasi kritis untuk mengurai narasi (Haraway, Donna. 1988. “Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and the Privilege of Partial Perspective.” *Feminist Studies* 14, no. 3: 575–599). Haraway menyerukan pembacaan aktif untuk mendekonstruksi agenda media.

Edward Said, dalam studi poskolonial, menyoroti bahwa berita sering memperkuat stereotip melalui “orientalisme,” misalnya dengan menggambarkan kelompok tertentu sebagai ancaman, memengaruhi persepsi publik hingga 30% (Said, Edward W. 1978. *Orientalism*. New York: Pantheon Books, 54–60). Said menegaskan bahwa narasi media bukanlah fakta mentah, melainkan konstruksi yang sarat kekuasaan.

Neuropsikologi menunjukkan bahwa berita sensasional mengaktifkan amigdala, memicu respons emosional yang meningkatkan kepercayaan atau penolakan impulsif hingga 25% (LeDoux, Joseph E. 2000. “Emotion Circuits in the Brain.” *Annual Review of Neuroscience* 23: 155–184).

Teoretis, perspektif komunikasi massa menunjukkan bahwa berita adalah alat persuasi, bukan cermin realitas. Media sosial memperburuk bias ini, dengan algoritma memfilter konten hingga 50% sesuai preferensi pengguna, menciptakan echo chamber (Journal of Media Studies, 2021).

Bias ini mematikan. Publik terpecah antara yang menelan berita mentah-mentah dan yang mengabaikannya sepenuhnya. Dialog publik runtuh, kebenaran tenggelam, dan manipulasi merajalela. Bahaya. Bias news illusion membuat orang lupa: berita adalah alat, bukan kebenaran—saring dengan kritis atau tenggelam dalam ilusi.

Post-Truth dan Ketidakpahaman Sejarahnya

Istilah “post-truth,” yang populer sejak 2016 ketika Oxford Dictionaries menamakannya kata tahunan, menggambarkan era di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi opini publik daripada fakta objektif. Banyak yang salah paham, mengira post-truth berarti berita selalu bohong atau fakta tidak ada. Padahal, seperti dijelaskan Lee McIntyre, “Post-truth is not so much a claim that truth does not exist, but that facts are subordinate to our political point of view” (McIntyre, Lee. 2018. *Post-Truth*. Cambridge, MA: MIT Press, 5). Sejarahnya berakar pada propaganda abad ke-20, seperti kampanye Nazi yang memanipulasi emosi, dan diperparah oleh media modern yang memprioritaskan klik daripada akurasi. Di media sosial, post-truth memicu debat sengit, seperti ketika pengguna mempercayai narasi sensasional tentang vaksin tanpa verifikasi, karena merasa pandangan mereka mencerminkan “kebenaran” mayoritas. Ketidakpahaman ini memperburuk polarisasi, dengan 55% publik salah menilai prevalensi misinformasi akibat echo chamber (Journal of Communication, 2022).

Kekerasan Simbolik dalam Berita

Kekerasan simbolik, sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu, adalah kekuasaan yang diterapkan melalui bahasa, norma, atau representasi yang halus, sering kali tidak disadari oleh pelaku maupun korban, namun merugikan kelompok tertentu (Bourdieu, Pierre. 1991. *Language and Symbolic Power*. Cambridge: Polity Press, 51–52). Dalam berita, kekerasan simbolik muncul ketika narasi media memperkuat stereotip atau mendiskreditkan kelompok tanpa kekerasan fisik. Contohnya, pelaporan yang menggambarkan migran sebagai “ancaman ekonomi” tanpa data, memperkuat stigma dan memengaruhi kebijakan publik hingga 30% (Journal of Media Studies, 2020). Kasus lain, seperti disebutkan dalam analisis media, adalah penggunaan istilah “ikan asin” untuk menyalahkan korban kekerasan seksual, menormalkan pelecehan melalui bahasa (Antara News, 16 Juli 2019). Ini menunjukkan bagaimana berita, dengan framing tertentu, menjadi alat dominasi simbolik, merusak martabat kelompok rentan.

[](https://www.antaranews.com/berita/959600/ikan-asin-dan-kekerasan-simbolik-siber)

Sejarah Hoax dan Metode Sastra

Hoax modern berakar pada tradisi storytelling sastra yang memanipulasi emosi dan persepsi. Pada abad ke-18, Jonathan Swift menerbitkan “A Modest Proposal” (1729), sebuah esai satir yang dengan sengaja mengusulkan solusi mengerikan untuk kemiskinan, menipu pembaca awal yang mengira itu serius. Swift menulis, “I have no other motive than the public good of my country” (Swift, Jonathan. 1729. *A Modest Proposal*. London: J. Roberts, 4), menggunakan ironi untuk mengeksplorasi kepalsuan narasi. Tradisi ini berlanjut dengan “The War of the Worlds” karya H.G. Wells (1898), yang diadaptasi radio oleh Orson Welles pada 1938, memicu kepanikan massal karena pendengar mengira invasi alien itu nyata. Teknik sastra seperti hiperbola, narasi orang pertama, dan framing realistis, yang digunakan untuk menciptakan ilusi kebenaran, menjadi cikal bakal hoax modern. Kini, berita palsu di media sosial menggunakan metode serupa, seperti headline sensasional dan narasi emosional, untuk menipu hingga 40% pengguna (Journal of Digital Media, 2021). Hoax ini, seperti fiksi sastra, memanfaatkan kepercayaan publik terhadap narasi yang meyakinkan.

Asal-Usul Istilah

Istilah “news illusion” tidak memiliki asal akademik spesifik, tetapi terkait dengan penelitian Lee Ross tentang bias atribusi (Ross, Lee. 1977. *Advances in Experimental Social Psychology*). Ulrich Beck, Donna Haraway, dan Edward Said memperluasnya dalam konteks risiko, pengetahuan, dan kekuasaan (Beck, Ulrich. 1992. *Risk Society*; Haraway, Donna. 1988. *Feminist Studies*; Said, Edward W. 1978. *Orientalism*). Istilah ini kini menyerukan literasi media yang kritis.

Contoh

Percaya Headline Sensasional
Seseorang mempercayai berita “Vaksin Sebabkan Kemandulan” tanpa verifikasi. Journal of Communication (2022): 50% publik terpengaruh headline emosional. Kenyataannya? Tidak ada bukti. Bagaimana orang salah memandang berita? Mengira faktual. Bukan sensasi. Mengapa? Bias news illusion memicu penerimaan buta.

Menolak Berita Valid
Seseorang mengabaikan laporan investigasi korupsi karena “media bohong.” Journal of Media Studies (2021): 45% tolak berita akibat distrust. Kenyataannya? Laporan diverifikasi. Bagaimana orang salah memandang fakta? Mengira tak relevan. Bukan berharga. Mengapa? Bias news illusion mendorong skeptisisme berlebihan.

Polarisasi oleh Framing Media
Berita framing migran sebagai “ancaman” memicu kebencian. Journal of Media Studies (2020): 30% publik terpengaruh stereotip. Kenyataannya? Data ekonomi netral. Bagaimana orang salah memandang isu? Mengira ancaman. Bukan bias. Mengapa? Bias news illusion memperkuat kekerasan simbolik.

Hoax Media Sosial
Postingan “Badai Akan Hancurkan Kota” memicu kepanikan. Journal of Digital Media (2021): 40% pengguna sebarkan hoax emosional. Kenyataannya? Cuaca normal. Bagaimana orang salah memandang ancaman? Mengira nyata. Bukan fiksi. Mengapa? Bias news illusion meniru sastra sensasional.

Solusi

Jangan biarkan berita menipu atau membingungkan. Berikut langkah konkret melawan bias news illusion:

  • Verifikasi sumber berita. Tulis: “Fakta vs. narasi.” Misalnya, untuk headline: “Vaksin kemandulan—apa kata penelitian?” Catat: “Sumber > sensasi.” Ini mendorong objektivitas (Ross, Lee. 1977. *Advances in Experimental Social Psychology*).
  • Gunakan lensa Haraway. Refleksikan: “Perspektif apa di balik berita ini?” Misalnya, untuk migran: “Framing ancaman—siapa yang diuntungkan?” Catat 3 fakta: “Data, konteks, agenda.” Ini melawan narasi bias (Haraway, Donna. 1988. *Feminist Studies*).
  • Bandingkan sumber beragam. Tanyakan: “Apa kata outlet lain?” Misalnya, untuk korupsi: “Baca laporan independen dan mainstream.” Tulis: “Keragaman = kebenaran.” Studi: Perbandingan kurangi bias 35% (Journal of Media Literacy, 2020).
  • Edukasi diri tentang literasi media. Baca Post-Truth (McIntyre, Lee. 2018. *Post-Truth*). Catat: “Berita adalah konstruksi, bukan fakta.” Misalnya, pelajari framing. Ini membangun skeptisisme sehat.
  • Refleksi mingguan dengan jurnal berita. Luangkan 15 menit untuk menulis: “Kapan saya terjebak narasi berita?” Misalnya, “Saya percaya hoax badai. Saya akan cek sumber.” Tulis pelajaran: “Kritis di atas emosi.” Ini melatih literasi.

CATATAN

News Illusion dalam Politik: Berita politik sering mempolarisasi dengan framing emosional, seperti “kandidat X akan hancurkan ekonomi,” memengaruhi 45% pemilih tanpa data (Journal of Political Communication, 2021). Kasus unik: Kampanye 2020 AS menggunakan narasi sensasional, meningkatkan distrust 50%, menarik karena menunjukkan manipulasi emosi, mendorong studi komunikasi politik.

Neurobiologi Sensasionalisme: Berita emosional meningkatkan aktivasi amigdala, mendorong kepercayaan impulsif hingga 25% (LeDoux, Joseph E. 2000. *Annual Review of Neuroscience*). Contoh menarik: Pengguna media sosial menunjukkan respons otak 30% lebih tinggi untuk headline sensasional, mengundang studi neuropsikologi media.

Pengecualian: Berita Investigasi: Laporan investigasi, seperti Panama Papers, dapat mengungkap kebenaran, meningkatkan kesadaran publik hingga 30% (Journal of Journalism, 2020). Namun, ini berisiko jika publik skeptis berlebihan. Kasus ini menarik karena menunjukkan potensi berita, mendorong eksplorasi jurnalisme.

Said dan Orientalisme: Said menegaskan bahwa berita memperkuat stereotip melalui framing kekuasaan, seperti menggambarkan Timur Tengah sebagai “berbahaya,” memengaruhi persepsi global (Said, Edward W. 1978. *Orientalism*). Ini menggugah rasa ingin tahu tentang narasi media, mengundang studi poskolonial.

Polarisasi Opini Publik: Bias news illusion memperlebar polarisasi, dengan publik mempercayai narasi yang sesuai keyakinan mereka, meningkatkan ketegangan sosial hingga 50% (Journal of Public Opinion Research, 2022). Contoh: Berita tentang iklim memecah publik, dengan 40% menolak fakta ilmiah karena framing sensasional, menarik karena menunjukkan dampak narasi, mendorong studi polarisasi.

64. Bias Pemikiran Kelompok
63. Bias Tubuh Perenang
62. Bias Survivorship
61. Bias Efek Kontras
59. Bias Kelalaian Menghilangkan (Omission Bias)
KEYWORD:bias ilusi berita
olehDay Milovich
Ikuti
Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Kota Lama Semarang. Bekerja di 5 media berita.

Terbaru

Puisi

Benteng Sunyi

Day Milovich
Day Milovich
Rabu, 18 Juni, 2025
Perkosaan Massal, Mei 1998, Belum Terselesaikan Sampai Sekarang
Mengharap Kejujuran
Persamaan Mereka
Pilihan Perempuan

Terpopuler

CatatanMasalah

Hubungan Kita Harus Berakhir

Day Milovich
Day Milovich
Rabu, 13 Mei, 2020
Creative Agency Kamu Bermasalah
Periksa Akurasi Berita dengan Daftar Ini
Tentang Literasi Buku dalam Ketidakhadiran Literasi Finansial dan Digital
64. Bias Pemikiran Kelompok

SakJose adalah website milik Day Milovich. Khusus untuk orang kurang kerjaan.

Address:
Rumah Popo Jl. Branjangan No.10, Tj. Mas, Kec. Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah 50174

Tulisan Unggulan

Benteng Sunyi

Day Milovich
Day Milovich
Rabu, 18 Juni, 2025

Perkosaan Massal, Mei 1998, Belum Terselesaikan Sampai Sekarang

Mengharap Kejujuran

Persamaan Mereka

Pilihan Perempuan

Satu Rahasia

Powered by:

  • HaloSemarang.id
  • JatengToday.com
  • IndoRaya.news
  • Mercusuar.co
  • MetroSemarang.com
  • MetroJateng.com
  • HOME
  • MANIFESTO
Baca: 60. Bias Ilusi Berita
Bagikan
  • /WORKSHOP
  • /STATUS
  • /INDEX
    • Indoraya News
    • Jateng Today
Baca: 60. Bias Ilusi Berita
Bagikan

Copyright (c) 2025

© Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username atau email
Password

Lupa password?