62 SURVIVORSHIP BIAS
SURVIVORSHIP BIAS
Hanya melihat hasil gemilang. Mengabaikan kegagalan yang tenggelam.
Summary
Survivorship bias adalah kesalahan berpikir. Orang terpukau pada keberhasilan yang terlihat. Proses, kegagalan, atau hal tak terlihat terlupakan.
Definisi dan Mekanisme
Bayangkan menonton film tentang pengusaha sukses. Hidupnya gemerlap. Jet pribadi. Tepuk tangan meriah. Cerita ribuan orang gagal di jalur sama? Hilang. Lenyap. Itulah survivorship bias. Orang hanya melihat yang “selamat”. Yang sukses. Yang tampil di panggung. Kegagalan? Tersapu ke bawah karpet. Bias ini membuat orang berpikir sukses itu mudah. Peluang menang tampak lebih besar. Realitas jauh lebih kejam.
Bias ini ada di mana-mana. Media sosial penuh foto liburan mewah. Karier cemerlang. Hidup sempurna. Kegagalan? Jarang dipamerkan. Akibatnya, persepsi orang keliru. Mengira semua orang sukses tanpa perjuangan. Mengambil risiko tanpa menghitung peluang gagal. Bahaya. Survivorship bias merusak keputusan. Membuat orang lupa. Kegagalan adalah bagian permainan.
Asal-Usul Istilah
Awalnya, untuk menyelamatkan pesawat tempur dari kehancuran. Selama Perang Dunia II, insinyur Abraham Wald menghadapi teka-teki militer. Pesawat kembali dari misi. Penuh lubang peluru. Komandan ingin memperkuat bagian paling banyak kena tembak. Wald berpikir jernih. Pesawat yang kembali adalah yang selamat. Meskipun ditembak di sayap atau ekor. Yang tidak kembali? Mungkin kena di mesin atau kokpit. Bagian kritis. Tak terlihat di data. Analisisnya, dalam laporan teknis 1943 di Universitas Columbia, menjadi cikal bakal konsep survivorship bias. Istilah ini kemudian populer di statistik dan psikologi. Terutama lewat Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman (2011). Terima kasih, Wald. Mengingatkan untuk tidak terkecoh.
Contoh
90% Startup Gagal dalam 3 Tahun. Bukan Segemilang Apple
Media memuja Apple sebagai kisah startup impian. Forbes (2019, “Why 90% Of Startups Fail”) melaporkan fakta pahit. 90% startup ambruk dalam tiga tahun. Kisah Apple—dari garasi Steve Jobs ke raksasa teknologi—memukau. Cerita kegagalan startup lain? Tak ada yang peduli. Ribuan perusahaan mati. Pendiri bangkrut. Mimpi hancur. Media terus memamerkan pemenang. Seolah sukses cuma soal kerja keras. Ide brilian. Bagaimana orang salah memandang Apple? Mengira kesuksesan Apple adalah pola umum. Bukan pengecualian langka. Mengapa? Kegagalan startup jarang diceritakan. Orang lupa. Dunia bisnis brutal.
Atlet Olimpiade. Hanya Pemenang Dipuji
Segelintir atlet naik podium Olimpiade. Ribuan lainnya tenggelam. Dalam The Sports Gene (2013), David Epstein menulis. Pelatih memilih atlet berdasarkan performa di kompetisi besar. Atlet yang tak lolos kualifikasi? Karena cedera. Kurang dana. Pelatihan buruk. Hilang dari radar. Orang hanya melihat Usain Bolt. Simone Biles. Lupa pada mereka yang berjuang. Tak pernah sampai garis akhir. Bagaimana orang salah memandang atlet Olimpiade? Mengira hanya yang berbakat menang. Kerja keras selalu cukup. Mengapa? Cerita kegagalan atlet tak menarik. Tidak dijual.
Instagram. Pamer Sempurna. Sembunyikan Derita
Scroll Instagram. Dunia tampak bahagia. Liburan di Bali. Karier moncer. Wajah glowing. Journal of Social and Clinical Psychology (2014, “Seeing Everyone Else’s Highlight Reels”) menyebutkan. Ini bikin orang minder. Kegagalan, hari buruk, momen biasa? Tak diposting. Orang hanya pamer keberhasilan. Hasilnya, orang merasa hidupnya payah. Dibandingkan tetangga virtual. Bagaimana orang salah memandang hidup di Instagram? Mengira semua orang bahagia. Tanpa masalah. Mengapa? Budaya pamer menyaring kegagalan. Hanya menyisakan ilusi kesempurnaan.
Reksa Dana. Hanya Pemenang Masuk Berita
Laporan keuangan memamerkan reksa dana dengan return fantastis. Nassim Nicholas Taleb dalam Fooled by Randomness (2001) menyingkap. Dana yang gagal ditutup. Dihapus dari catatan. Data Morningstar (2020) menunjukkan. Hanya 24% reksa dana saham AS bertahan 15 tahun. Yang kalah? Lenyap. Investor terkecoh. Mengira pasar saham penuh pemenang. Bagaimana orang salah memandang reksa dana? Mengira keuntungan besar adalah norma. Bukan keberuntungan. Mengapa? Industri keuangan menyembunyikan kegagalan. Untuk menarik uang.
Solusi
Jangan terjebak kilau hasil. Berikut cara melawan survivorship bias:
- Telusuri data kegagalan. Sebelum memutuskan. Mau investasi? Cek reksa dana yang kolaps. Jangan hanya lihat yang untung.
- Dokumentasikan proses. Catat jatuh bangun. Membuat orang realistis. Membantu orang lain belajar.
- Curigai cerita sukses. Tanyakan. Apa yang disembunyikan? Berapa banyak gagal di jalur itu? Biasanya banyak.
- Normalisasi kegagalan. Ceritakan hari buruk. Dalam obrolan. Membuat orang tak malu belajar. Dari kesalahan.
- Berpikir kritis. Data yang terlihat? Belum tentu lengkap. Tanyakan. Apa yang tidak diperlihatkan?
Dengan langkah ini, orang melihat dunia apa adanya. Bukan panggung pemenang. Yang berpura-pura sempurna.