Day Milovich,, 17 Musim Batin [Kumpulan Puisi #6 Day Milovich], (c) 2011
#001
jika hangat mengaliri pipimu tanpa kata, basuh airmata itu dengan hujan doa. tentu duka sampai tepian, mengarak serak isak jadi diam penghabisan. embun masih di ujung daun, hujan tiris membentuk dingin berlapis. masih ada peluk, usai perjalanan jauh. aku berkeliling, di kerling matamu. merampas sendiriku, menelisik rute berbalik, kembali ke arahku. kau titik berangkatnya, aku datang dan perginya. hari tak layak menjadi haru selagi kau ingin bersamaku.
#002
gelisah tak berpisah dari tepi sepi, bayang samar tertinggal di kamar. telah lelah harapku diresapi mimpi, tentang kabar terpenggal jauh dari jangkau radar. sepi beredar tanpa pagar, aku sendiri, kau menguji. dengan pisah dan entah, aku mengejar berlari liar mengantar tanya kepada matahari. duka tak terjawab dengan dupa, segala duga hanya berjumpa sangka. jagat raya menyembunyikanmu dariku. semua baru tersingkap setelah bulan merah, dan rekah pipimu menyambut diamku. telinga masih bahasa paling ramai, tak pernah terkatup, sanggup memadamkan segala letup di dada.
#003
matahari sudah hitam, tenggelam di gerimis. debu diganti deru, sepanjang lampu merah menyusun detik mundur. meminta secepatnya kabur, menggiring perjalanan sepanjang tidur perjalanan. kau masih meminta[s] percakapan tentang rindu membisu. tidurmu masih terhalang sesuatu, aku masih menyibak batu. lantas kau terperangkap dalam jumpa seribu sapa. rupanya hidup sedang menjadi pertarungan, melawan lupa pada waktu, menyerta kenangan yang kekal dibentuk-ulang. selalu terjadi, tepat saat kita menyadari: kau dan aku sedang berseberangan.
#004
begitulah malam larut sehitam kopi, dan lesap asap menebar ceri[t]a ke mana saja. kau mengurai, aku memanaskan. kalau kita sepasang mata, kau belati aku api. dingin mencair pasti setiap kali. empat jam sebelum kau terpejam, aku berubah kejam menuturkan hukum rajam, sebelum melanggar segala yang berbatas. dalam sekam kau merapat terkunci. mendengarku berlagu dari jantungmu sendiri.
#005
pada jumpa yang ketiga kau tak lagi tersesat dalam hasrat dan penat. tiada puisi yang terurai, sebab suara yang telah hilang dari telepon, telah menjadi manusia. pagi akan mencari batasnya sendiri, malam akan terjadi sendiri. lagi pula, waktu pasti berhenti di pelukan, erang senyap di dekap. beri aku embun dari sekujur kulitmu, dan matahari yang tenggelam digelut rambutmu.
#006
daun masih disusun musim, menghijau kuncup, matahari redup. kalam sedang menjadi pejam, meski amuk telah redam. ke mana suaramu pagi ini? tidurmu tanpa bunga, hanya hitam damai tanpa tepian. ke mana langkahmu siang ini? pergimu tanpa peta, hanya rindu tanpa perjumpaan. ke mana datangmu malam ini? aku ingin mengantarkan lelahmu agar tak kembali, berkelakar dan menidurkanmu, sampai dalam mimpi aku tetap menjumpaimu. merasakan seratus tahun, penuh alun dan melodi. merasakan cinta, sepanjang duka dan nadi.
#007
tiga kelenjar berpijar, menjalar pada tubuh di jauh. mendatangkanmu, api suci merasuk. tubuh hanya tertutup daun pintu. degup beruntun sekeras batu. cium jauh penuh, dada hilang jeda. sayap kupu-kupu tersingkap di jendela, dekap dahan perlahan bercabang, sentuh mencari penuh, mekar semua kembang. beginilah semesta tercipta, dari cinta yang tak pernah meminta. sepanjang hari aku sembunyikan nama, menaburkan seribu wajah seorang perempuan, dan merasakan inkarnasi sempurna suatu percintaan. mengapa dengan tubuh ini kita berjumpa sekarang?
#008
kau perempuan, dengan gelang di kakimu. kau perempuan dengan henna di rambut dan kedua tangan. kau perempuan dengan tangan terentang, mendesah dalam marah. kau perempuan, menangis dalam senyum. jika diijinkan menghilang menemuimu, tetap kupilih jalan terjal, mengetuk pintu depan sampai kau bukakan sendiri. aku ingin kau di sini, atau aku di tempatmu berada. aku ingin bangun di tempat kau bangun. damai serumah di atas tanah.
#009
akan kutempuh jauh, tanpa menunggu musim daun luruh. akan kutembus kilometer beratus-ratus, agar ritus purba bisa terjadi. jarak tak berlaku bagi para penakut, tak terjadi bagi yang tak bisa percaya. setiap mengenangmu, tiada detail kecil hilang-sapa, hingga senyum terjadi begitu saja. dan senyum itu sungguh nyata. jauhmu hanya ujian, seberapa jauh rindu terentang, seberapa tempuh rindu menyeberang.
#010
kau bukan apapun selain kata di layar, namun kata selalu tak bisa gambarkan kembara hati yang membara. sebelum bertemu, aku merindukanmu. saat bertemu, aku tetap merindukanmu. aku mengetahui satu takdir, bahwa setelah perjumpaan aku masih terus merindukanmu. dari yang terentang jarak, tersingkat dalam suara sebelum tidur. dari yang terlentang, terangkat dalam[nya] rahasia yang selalu terkubur. aku ingin menjadi matahari, terbenam di langit hatimu. meniti hari, serumah dalam senang tanpa sudah. tanpa jauh dan resah. hanya keluar dari peluk dan tawa lepas. segala keberadaan wujudku, teringkas satu keajaiban: menunggu di jauh jarakmu. dari jarak pula, terlahir rindu, dari salam hingga pejam.
#011
kalau rindu tanpa tikai, tentu lapar menggugah kapar. dan hidangan di meja mengiring tawa manja. rambut kusut masai, sisakan senda pagi berpulang, mengulang kembara jiwa yang membakar. dan seratus kejadian disengaja, dari kerling mata sampai sentuh saling mengeja. semesta berisi gerak dan suara saja. atau tikai telah satu pembuluh dengan rindunya?
#012
sebab kau hendak menjemput tidur yang sering alpa dari mimpi, aku sunyikan ruang dengan nyanyi. manteraku ada pada warna dan suara, terbebas sudah kata dan nyawa. tidurlah sampai hitam memelukmu, [se]dalam hati tanpa-batas. bawa suaraku berikut katup telapakku menyentuhmu, merasuk sebaris doa. aku mengajakmu menembus waktu, dan seribu lapis semesta, di mana pinta terkabul sebelum setengah kedip-mata. lelah telah dilarung gelombang petang, malam masih tenang. biarkan semua di jemu semu dunia, mari melanglang berkalang bintang, beradu sentuh berdua, setenang panjat doa. dan hujan pasti turun karenanya, mungkin dari mata, mungkin di sekujur bujur tubuh. dari keduanya, sakit hanya tragedi yang pulih dengan samadhi. bawa suaraku berikut katup telapakku menyentuhmu, merasuk sebaris doa. dalam batin,, terucap tiga kata saja.
#013
dinding bergantian meramal cuaca. gambar-gambar tersalin di tikungan beranda. semua meramal cuaca, sibuk membaca diri, memintas waktu meminta batu remuk dalam percakapan. aku menunggumu, berkelana menempuh jenuh di rimba kota berkendara bara di genggaman, memilah almanak yang tersadari bagai duri datang-pergi. kau datang setelah remang jauh terbuang ditelan tigaratus status. sementara aku telah pecah, dalam sesekali marah di alam malam. tak utuh, menempuh seribu butuh. ke mana lelah punah jika bukan di rumah? ke mana diri utuh jika jauh masih separuh tempuh?
#014
perempuan berambut boneka, tubuhnya menebarkan mantera, merapat padaku dari empat arah angin, merasuk di segala ingin. perempuan yang melarut dalam segala marka, setiap rubuh memasukkanku pada rasa dan dera, membuat waktu melambat beku dalam dingin, menahan serbu seribu nama dari kabar angin. perempuan yang punya raut berupa kata, kadang hanya suara. mengarah padaku, yang berlari menjemput dari arah matahari terbit. dalam pandang, aku cuma mata. dalam sentuh, aku seluruh tubuh. dalam dosa, aku segala rasa. rindu sudah menjarah alir darah, menyelam salam bermalam-malam, lantas kapankah kau dan aku saling-masuk, kalau bukan di sepanjang waktu?
#015
seladang bunga, seluruh kelopaknya terbuka. mungkin sesekali, seperti inilah luka. namun dia masih dalam dada, belum nama, belum rupa. hingga hanya kekasih yang melihatnya. betapa manis benih telah menjelma bunga. meski luka tertanam di merah hatimu, senyum dalam tangis telah mengiris langit jadi selapis gerimis. sedang aku hanya tanah, tempat bunga itu tengadah, goyah di liuk angin memutar kisah. tentang butir-butir debu, terinjak dan terkikis. dan kupu-kupu menyerbu[k] bunga, beradu warna berterbangan, menerima sejarahnya sebagai ulat pertapa, melihat bunganya tercerabut begitu saja, diberikan kepada perempuan demi kata “cinta”, menembus luka sekian masa, bunga itu mengiring rasa yang dinyatakan. selanjutnya aku percaya.
#016
bunga terhisap, kupu-kupu mendekap senyap. sari melesap, beredar di pembuluh. nelayan mengayuh, jauh ke langit tingkat tujuh. peluh tiris, gerimis terjadi di sekujur kulit bumi. bebatuan tesingkir, pikir sedang bekerja, denyut semesta menyatu-rasa. lanskap hanya berupa dekap, tubuh kembali utuh, segala pulih telah beralih dari bara ke seribu cahaya. dalam gelap, aku tersesat di benam mataharimu. dalam terang, aku ingin mengulang. mendulang besi menjadi berjuta panah, semuanya mengarah pada hatimu. aku tak singgah, aku ingin tinggal, di rumah, demi kekal. mencintaimu.
#017
aku tidak pergi, hanya ingin menjemput jejak, menutup retak dan menjaga jantung berdetak. aku pasti datang, menentukan di mana harus berkalang. di pangkuan puan, aku bertuan. melawan takdir dan kutuk, menuntaskan pikir yang selalu terbentuk. bahwa kau alasanku datang dan pergi, merupa cinta dalam kerja. untuk apa kuwujudkan keindahan, jika tak kutemukan keindahan. untuk apa kuresapi kecantikan, tanpa bersanding dengan kecantikan. meraup semesta dan kekalmu, semesra ruang dan waktu.
#018
kau masih tenggelam di antara boneka pagi, beragam orang menggenggam telepon penuh nama. aku tersisih di benam bara, menerka hari membalik malam. tertanam jerit pasar dalam dada, tawamu membiak menyusun kalimat penuh koma. tatap dan ratap menembus senyap, membawa ribuan pasang sayap. kenapa setiap ingin menyingkir, bayangmu selalu menyerta, menyelinap dari cerminku?
#019
ada tanda cinta di kotak pandora, saat jalan-jalan kota terbuka. dada meronta, menetak urat jadi bara, melawat pada rasa berjejalan tanpa jumpa, menempuh kata menyentuh luka. betapa indah wajah berdua, dalam satu rasa. dalam cinta, pikir terjadi di luar garis, menghapusnya dengan gerimis. dalam cinta, pikir terbebas menembus kotak. dan menghancurkan kotak itu.
#020
beri aku henti, di tikungan pemisah mimpi. gulirkan sikap dinginmu, menjadi bola salju. membesar dan menurun. dalam lindasan itu, aku terbenam di dinginmu. yang menggiringmu, menggiling gigilku.
#021
di bawah pelangi, kau kenakan payung fantasi. mengembang di senyummu, melambai di rambutmu. ada wangi, berkejaran sepanjang ujung dahi. kuku yang tergigit penghabisan, dan kaki berayun tanpa sadar. denyut nadi berhenti di ranum kulitmu. dan seribu kali dalam jeda, aku hanya berkata, “bisakah kau pulang sebentar lagi?”. sebab tanganmu tak bersepakat, menggelayut dengan raut terbenam. tersipu, disapu pagi.
#022
percakapan sedang tidak terbuka, sebab orang-orang masih menjejali status dengan kutipan kamus dan memaksakan rumus kebenaran. sore menuju petang, senja tetap habis. rinduku mencekam, terbentuk dari segala kata yang berbalik, terkunci di bilik-bilik pembacaan, berkejaran, keluar di mula petang, hanya jika kau menjelang pulang. menyambut rambut, mencegat jejak tercekat di nafasmu.
#023
para malaikat mengajariku, melukismu di langit, sambil menggigil memasuki warna, menghisap asap menjelang gelap. laut bersorak dengan ombak, membebaskanku sekali waktu, biar tak retak diarah panahmu. sebab laut selalu menemuiku, merunut denyut tak menentu. semesta yang aku rasa menjadi mesin yang bekerja, ataukah genggammu, yang membuat jantungku menjadi rute segala arah. laut selalu menunggu, berharap kau menjadi kedua mataku, menikmati mega yang meliuk, membentuk naga.
#024
jangan sebut rumah, sebab jalan selalu membuatku bergairah. denyutnya mencecar pikir, mengajarkanku menapaki jejakmu, memunguti ayat yang tersayat deru seteru. tentu aku pulang, tanpa paling, meninggalkan semua bising. semua jam aku hentikan, waktu mati. jangan sebut rumah, kecuali kau menungguku, di depan tungku dan menyelam di temaram, dengan jejaring sosial yang terkatup di kedua bibirmu.
#025
kalimatku untukmu, semoga kembali, menjadi datangmu.
#026
pengalaman telah memberi, yang tak terhapus. meski bibir menyerta sentuh, memupus haus begitu halus. kehendak mencakar mengumbar samar, setaman kembang liar, dan sekaman kamar. pertemuan telah terjadi. rembulan mentusir remang di beranda, seketika pijar matahari. kalam bungkam beralih genggam saling selam, segala erat bergiliran mengundi rajam, sejengkal sepangkal pembicaraan bermandikan sandi. sepasang dan menyatu, tak beda lagi. kau tinggalkan pesan, aku melupa mantera dan ramalan. pengalaman telah mengabarkan, detak berkait ritus, hembus berkejaran hingga embun menembus humus. kebersamaan tak kan tertukar dengan buruk yang terkabar, atau ramalan kepagian. sebab peluk telah terurai tanpa sandi. setelah tikai pada dingin keseratus, ada ingin ke seratus satu bertekad memberangus: aku ingin mencintaimu lagi. di sana pasti pagi terjadi lagi.
#027
musim masih berangin, kau mencacah jalan berkejaran menetak almanak tanpa merah hitam. sesekali telepon mengabarkan kepergian lagi, tentang malam me-rapat, siang kerontang. sementara mata, hari, sudah tinggal putaran. aku menghibur dengan mengubur marah, aku berbaur mengalikan debur dengan serah. sabar tak seperti benih, yang menyebar akar melilit tanah, sabar hanya karib dengan debar. menunggumu pulang, seperti nasib berpulang menjadi segala kejadian. kalau musim masih berangin, kabarkan serahmu, tanpa marah dan jemu. masa yang kau-aku nanti, tak pernah semu, tak temu juga. namun kau-aku nyata, saling cinta tanpa meminta. pada pintu yang tak pernah aku kunci, di situ kutandai: di sini pejam telah kikis, sebab mimpi begitu bengis. tenanglah, aku iring berangkatmu, berkeliling, selagi kau tetap mendengar nyaring langkah dan debar jantungku, di tubuhmu sendiri.
#028
kalau nanti tanah terbelah sepanjang tubuh, jemput shubuh dengan sujud penuh, jangan kabur di terik dhuhur, bawa kabar ashar dengan panjat doa berbinar. di maghrib aku kian karib dengan gelap, pengetahuan disingkap setengah senyap. dan isya’ tumpahkan isak sebelum kau tidur sejenak. tentu tak ada lelah, kujemput tanah terbelah, rubuh sepanjang tubuh. setelah mati aku akan dihidupkan, meneruskan pesan tuhan, untuk terus mencintai[mu].
#029
sesudah percakapan, kau-aku tertidur. lambai pantai, [se]sepi mimpi, sesap nyenyak menetak goda. hutan kejadian begitu sederhana, merapal kalimat tanpa cekat dan sekat. waktu cepat, atau melambat, semoga penat terlunaskan. di pejammu kutandai keningmu, hingga marah merah lamat sudah, bersamaan kau tersenyum, menyepi dalam mimpi. belah laut pelarianmu dengan tongkat musa yang menyibak gelombang dengan muara. masuklah di samudera segala perkara, selesaikan tanpa sengsara. dan maafkan dunia yang selalu membatasimu, sebagai manusia. kutandai tanganmu dengan harum, sewarna pisang terkelupas itu. pujian terurai nirkata, nyanyi pengetahuan menata pesta sepanjang kota, mendekap gemerlapmu. aku memandang dalam rentang, dan remang selimuti parasmu, tersenyum dalam mimpi.
#030
tak ada kias ataupun bekas telapak mengeras dari perjalanan. sudah lunas tikai berantai hari ini. suaramu menyerta deru mesin. nafas membawa bayang paras lelah menari. meski diam mencekam, sekelam malam. marah masih menghibur dengan senyum di ujung raung, membelah lelah, sebelum lampias tawa pecah empat arah. tak ada rindu tanpa dendam, sedang jarak sepanjang siang dan petang hanyalah mengukur seberapa jauh rindu merentang. seberapa nyali menentang.
#031
tuhanku, kaulah penyerta segala kehendak burukku. kaulah belati dalam genggamanku, yang akan mengalahkan buruan dan musuhku. menangkan aku, untuk beralih dari marah menjadi sabar, dari jarak menjadi dekat, dari arah menjadi benih tersebar, dari sakit menuju hidup, dari segala jemput menuju wujudku.
#032
setiap tujuh basuh, aku lenyap, tanpa usap. setiap jauh tempuh, aku melangkah ingin lagi mendekap, tanpa senyap. setiap tujuh basuh kusebut nama-nya untukmu. menarilah lagi bersamaku, itu sebabnya kau-aku bertemu.
#033
aku memanggil di gigil doa, di gigit bibir melangit sakit, dan kutuk yang punah peluk. aku memantrai sakitmu, menghisap pusat rasa, tanpa asap tanpa selinap dekap. jika semua di depanmu, biarkan segalanya terjadi. walaupun kau seribu. menyerbuku!
#034
pena berserah, lelah pada semu[a] kata yang tak sampai kepadamu. biarkan berserah-diri, istirah di katup bibirmu. biarkan malam ini kaubacakan cerita tentang dirimu. jika tulis dan kata telah sengketa, diam akan meredam rencana pertikaian, mengubur-diri pada tari. bidadari dan malaikat masih berputar di orbitnya, kita menari, saling-dekat, menyisihkan gusar di langit dan matahari terbitnya. menjadi sepasang adalah siang dengan segala tempuhnya.
#035
di biru langit, matahari berkelit. kau sedang sakit, kalender bersuara blender, memutar hari semakin rumit. tidur masih melansir lelah, berpikir hanya mencapai sudah. di hitam langit, bulan berdandan di atas pepohonan. alangkah indah mata sepasang yang sedang terbayang. terpejam, meninggalkan percakapan di pagi menjelang. ada sujud yang belum terwujud, pekerjaan masih mengajakku bergelut, di antara angka dan milimeter, tenggelam dalam warna. kau sudah lama mencair di layar datar, seperti hitam dan putih di semua warna, tak hilang, tak tergantikan. rembulan dan matahari, tak pernah sepasang di langit, kecuali pagi begitu cerah. tanpa marah, tanpa mata merah. segalanya hanya teman di paruh waktu, aku mau menjadi penuhmu.
#036
mari meringkas duka, jadi merah saja. dan hidup jadi bersahaja. sejarah mirip peraduan, terlalu panjang pinangan, hanya berujung di seribu kejadian. mari lalui segala yang berlalu di lintasan retas, tangan berpadu, satu pejam satu di hati. ini titian rambut dibelah tuju, tidak ada setuju tak setuju. begitulah masa diterjemahkan, tanpa bait indah berkalang pelik. hidup adalah cinta yang diterjemahkan menjadi kerja. dan saling-percaya.
#037
kadang yang terbaik, jatuh begitu saja. itu sebabnya kadang kau-aku jatuh bersama. sesekali dalam rindu-jauh, sesekali dalam peluk-sentuh. seperti musim pula, ranggas dan beku menyelingi semi dan panas, tikai dan cemas datang begitu saja. lantas kau-aku melupakan, ada bunyi di balik segala kata dan kejadian, yang tidak sedang melantun santun, mendatangkan diam yang mencekam. dan bunyi itu sedang menyusun bentuknya, jadi tembang, jadi gelombang, tenang, tepat di kulitmu yang sedang menebar kembang.
#038
aku menembus gerimis, kau menyanyi di telepon. aku turun, berteduh di kota jauh, melacak jejak peluh sendiri saat aku mencari senja di antara candi. cerita masih saja terjadi, terbebas dari jalan dan hujan. sebab hangat selalu kau berikan, berupa marah dan cemburu, menetak jantung dan petak langkah. di laut maya, jejaring menebar mangsa, dan sambungan seperti tempat semua orang menyabung janji. menang kalah terpampang di dinding yang tak terbuka, tempat suka bersuaka, melupakan luap luka, menyamar di antara kalimat, menyelinap di kotak masuk dan perbincangan. aku tak mendengar bising, aku di jauh sangka, menempuh duka di antara cerita orang-orang, tentang mesin-mesin yang tak terselesaikan. menebar kata, terhubung kepada semua orang. dari benda-benda mati yang terbungkus dan berpijar, semua melewati kanal, lantas saling kenal. mencintai sebelum bertemu, bertikai sebelum bertemu. pada suara yang hilang dalam kalimat-kalimat hikmat.
#039
cinta sejati tak pernah memasuki ruang. tanpa masa, dia terjadi begitu saja. di detak jantung mendadak, di kilas tawa, dan lintas kerja. di antara marah dan gelombang suara, antara tidur dan jaga, itu terjadi begitu saja. kelak kau-aku akan sampai pada rencana sempurna, memasuki rumah sempurna, berlutut dan tangkup telapak menjulangkan doa, membentangkan satu rasa: saling cinta. mengumpulkan segala dari semesta, merampungkan hidup dalam senda sederhana. selayaknya utuh tubuh, semaraknya sudut rumah, dengan lelangit berupa kubah. kadang gerimis, kadang bintang. selain kau, semua hanya separuh kata, sebelah diri.
#040
tangan telah lelah tengadah, merapal doa. dupa sirna di kulitmu, kembang dan remang merenangi tubuhmu. telinga pekak, ruang kedap. langit beri[lah] jawab dalam indah wajah. namun jawaban doa selalu berupa: wajahku di telapak. sendiri. waktu kian membatu, malam membias tanpa kias. airmata membilas parasmu. semoga batu itu bisa dibentuk tetes tangismu.
#041
berbahagialah jika sekarang hanya kebalikan-sempurna semua rencana. aku batu yang menunggu, selalu terlempar di jangkaumu. kerasnya akan meliat, terbentuk, karena derai airmatamu. dalam tawa itu.
#042
butir hujan menggulirkan tinta langit, kubaca dengan doa penjemput gerimis. begitulah langit mengirimkan kabar tentangmu, meminta kata mengguratkan tintanya sendiri. sebagian merah, sebagian tengadah.
#043
kelenjar berpijar menghadirkan pasar terbakar. apakah kau sedang mengingatku?
#044
telah aku pecahkan cermin yang sia menampung bayangan wujudmu. aku terhadang pada matamu, menemukan cermin itu. biarkan aku katakan, bagaimana aku menemukan cermin itu di sini. kau pasti tak melihatku, sebab sejak lama, aku telah berada di dalam penglihatanmu, menjadi penglihatanmu.
#045
pada setiap denyut rindu, aku ingin menyahut suaramu. pada setiap luput aku mau hanyut di airmatamu. basah doamu, mengundang kubah air dari langit. semua turun, memantulkan senja jingga dan mawar di pipimu. ijinkan dekapku mengusapmu.
#046
kau bisa memilih gerimis melagukan rintik dan tiris, atau kau hanya menangis. kau dapat meredam marah dengan pejam, atau kau pecahkan malam dengan tawa. kau bisa berbalik menyibak canda yang terbayangkan di masa lalu, atau menapak indah menapak langkah penuh bunga rekah. kau bisa mengingatku saat memilih, menjatuhkan pilihanmu, kepadaku yang hanya memilihmu. aku tak akan pergi jika kau berdiam, walau kau sangat senang melihatku pergi. tentu saja denganmu.
#047
pertemuan kali ini, tak ada gambar terbuat. kata begitu lekas, berkejaran. setiap peluk selalu cemas, berbisikan. kau-aku bertukar tempat dan berkas, melihat pemandangan dan ritus di jejaring, sampai siku merah. nyanyian sesekali memecah, nafas meringkas deru dan haru tentang cerita tak tertata. tak ada yang bisa kau-aku ceritakan kepada orang lain, tentang orang lain. kau bercermin di telepon. jalan, setengah rentang. kicau burung sepanjang hutan tanpa macan, mengundang dendang. segala tak butuh kiasan, kata dan tawa berpaduan tanpa remang. jalan kembali melambai memulangkan, sementara kau-aku kembali berjauhan. seperti kelingking dan ibu jari yang menempel pada ibu jari dan kelingking. hari berduaan, kita telah sampai [nanti]. saling menanti hati.
#048
musim kemarau, tertunda di dada. mimpi sedang tak terjadi di ujung pagi, sebelum [kau] pergi. suaramu parau memecah sepi ruang remang penuh penanda. kembali semua gurau, memecah anak sungai. tumbuhkan anggrek di ujung dan tepian, merunut kejadian, meraut indera sampai tajam. tenggelam di penghujan yang tercurah indah. kau-aku karam, dalam pembicaraan saling-selam. selamanya.
#049
lalu siapa yang berjumpa denganku di mimpi tadi? pejammu tergugah, pada sentuh terbangun sudah. mengapa kau terperanjat? katamu, “sebab kau sedang di depanku.”
#050
melewati jalan dan reranting jati, angin melumat sendi[ri]ku. mengeja lagi perjumpaan yang terulang di rerantai jejaring. tanpa laut, tanpa dahan merunduk. hanya jejak tanah masih menetak langkah menikmati pertemuan ketiga, membenah pengertian. kau-aku masih mengakar, menyilangi rencana. membenamkan matahari, hangatkan fajar.
#051
musim memanggilmu pulang pada kekasih, terpisah sembunyikan kisah di celah merah pusara[n] kejadian membosankan. ada getar tertahan di rembang petang. tanpa laut, tanpa tapak bersahut, tanpa embun menyusut luruh di kaki telanjangmu. masih ada pipi memerah memantulkan rupa langit, dan telapak tanganku menelungkup di kulitmu sewarna pisang terkelupas. kau-aku melepas mimpi, sebab nyata terjadi. anggrek mekar sedang nyata, mata saling meminta dan terpenuhi. ruh yang menderu, sukma tenggelam di kesima, dan peluk berlangsung, menindih pedih yang hampir pergi. memanggilmu pulang kembali.
#052
tubuh sedang terurai menjadi seribu lebah, menghisap bunga untuk sang ratu. aku menuangkan madu, untuk tubuhmu.
#053
menjelang petang kau melewati sarang. mega tak geming di langit hening. senja menyesap cahaya siang, kau-aku beradu jarak, menunggu kendaraan merangkak. rongga waktu tak berhingga, malam sebatas kelam. alfabet luruh dari jatuh tubuh, tenggelam di jurang sepasang mata berpasang. pena patah di tengah engah tawa. kau-aku saling beri, menyibak berkas dan lanskap tatapan dan kedipan mengurai muasal lamunan. biarlah pertemuan menjalani takdirnya, tanpa kiasan, tanpa puisi. biarkan begitu saja. sampai subuh orang-orang bersuci tubuh. adzan berbaur gending, tengkuk merinding. tubuh masih seluruh dinding, pagi memerangkap lembab. kau pulang, aku mengantar. kenapa rindu masih diuji dalam jumpa, mengapa entah masih terjadi di [se]luruh benam. tubuh. laut hilang-dasar, petang masih menyisih angin bergelombang. aku masih mau rebah di basah tanah, menanam bunga di taman indah. rima tak jaga, jantung hilang irama. pekat hampir terangkat dari sepi hitam kopi. dan hisap asap, kian habis. masih ada laut indah, belum kau singgah. tempat-tempat yang belum dilawat. jejarimu menuliskan gurat kalimat di uap jendela . tentang urat dan raut yang tiba-tiba menjadi bayang. dalam kalimat elegi, “aku akan datang lagi”. kenapa rindu menjeruji dalam pisah wajah, mengapa indah selalu nikmat di [se]luruh benam.
#054
begitu banyak kutandai gambar, namun gambar sembunyi juga di pengaturanmu. di catatan dan perkumpulan, jejak kata hilang-terjemah, tak-terjamah. teman hanya kata lain bagi limaribu penyamar. kotak perbincangan dan pesan masuk menggiring pada coretan di dinding, dan pertemuan rahasia dengan teman-teman, di album kenangan. yang terkunci dari sangka tanya. jejaring telah memetakan wajah menjadi ratusan anak panah, kata sandi yang terus berubah, membincang kalimat-kalimat yang salah di permainan, kotak perbincangan dan pesan keluar-masuk. adakah rahasia telah kau pisahkan dari saling-percaya?
#055
tak ada nyiur dan bakau di pantai ini. dahan berayun, bulu-bulu berdiri di dingin berangin. udara bergetar, dada berdebar. jalan hampa, peluk sedang merunut jumpa. kehendak terhalang almanak. yang hanya berwajah 24 jam tak bertambah. tanpa hitam, tanpa merah. dedaunan bergulir bagai dadu dari kincir angin para dewa. menyisir pasir, menepis kenang. bintang merasi dikatup mega. kabar tersebar menjala[r] tanpa perbincangan. di pinggir pantai, doa lebur dengan debur. rindu bertindih buih. perempuan berwatak naga, sedang melaut. menerjemah langkah, mengeja kerja, menjadikannya wujud cinta.
#056
kata tak kenal kekal-makna, selalu mencair dilumat kalimat. kata tanpa padanan, lawan rindu tak [ku]jumpa pula. kata hanya kata, sesampainya padamu, aku memahami arti percaya, melupakan segala buku dan bahasa. pada aku, pada rasa.
#057
kau ditakdirkan menjadi pemenang, tanpa tahu. siapa kawan yang menenangkan. siapa lawan yang memenangkan. menyembah wajah entah. tak tahu apa yang hilang dari malam menjadi siang. dalam pejam malam, semesta mengucap salam. kau di rumahmu, hati yang memuat segala wujud. lupakan sungai madu dan susu, dan empatpuluh perawan menanti. lebih baik lakukan saja semua, biarlah langit yang memutuskan.
#058
sebelum kau pulang, sebaiknya telisik lagi. siku yang berubah merah dan raut pagi di wajah. biar aku tidak terjebak bayang, kandas sebatas kelopak dan kulitmu. pada setiap jumpa, aku matikan bayang yang mudah membiak berkembang. untuk sampai pada nyata, walau seratus diri harus mati di pertemuan mendatang. di lapis semesta mana, kau minta aku berjumpa?
#059
arah tumbuh penuh sebelah, bercabang, menebar akar serupa pelukan tak kesampaian. pada lelah kau jemput istirah. mengencang lariku padamu, mengencang ikatanmu padaku. namun merindukanmu tak seperti mesin yang menungguku, untuk merekam lanskap dan bibir lirih, menyembunyikan hujan ratusan gambar yang [se]lalu berpuisi di telingaku. tak terdengar suara ciuman lagi. kau telah tidur, dengan tujuh boneka di sebelah, saat tangan melarikanku ke kota mati dan kalang remang, bernama mimpi. di antara kalimat tak bersegi, angka dan kode yang diinjeksi menguji permisi. penat yang menggiringku pada niat jahat, sudah lama jadi tafakur pada wajah-nya, menyapa-diri. aku di ruang tengah, kursi kayu telah membatu, menyiang malam di hitam kopi. aku bekerja di tidurmu, di jauh dan rindumu. kau-aku garis bujur dan lintang yang bertemu di edaran matahari, yang tak pernah tenggelam di mesin ini. umur masih dipinjam tubuh, utuh. rindu kita sudah tanpa alasan, cinta kita sudah tanpa sebab. dan tujuan telah membiaskan putih menjadi pelangi. seperti apakah pelangi di tidurmu?
#060
sihir di ujung raungmu telah menandaskanku pada arung laut dan tikung gunung. di dasarnya akar menebar, membentuk kehidupan seribu pasar. kadang aku naga penjaga debur, kadang pula aku reptil perambah tanah paling subtil. tanpa air kita bersuci di debur debu, melewati perompak menetak subuh, ujung pedang semua waktu. telah kupatahkan pedangku, kini rasa dan pikirku tak bermata. aku hanya gunakan matamu untuk menikmati semestaku.
#061
di hilir keluh, kembali aku luruh pada jauh. di hulu malu, kembali aku memetik bunga berputik warna yang kau suka. senja juga jingga, hari menanti tak berhingga. ujung jemu telah kulingkarkan padamu lewat pelukan seharian. menyingkap hijab pelenyap gelap. terang sang matahari juga kukut di wajahmu. sekarang setiap menatap cermin, bayangku menjadi dirimu, merasi di perbintangan, melaut di jalanan bergelombang.
#062
beri aku impian, sekali saja, sebelum tanah melangitiku. jika tak aku wujudkan, aku akan dibangkitkan melewati titian. tanpa wasiat berat, kuminta: ratakan tanah dan rahasiakan kuburku. balik lagi semua buku dan catatan, tanpa gundah. akhirat tidak mengadakan pengadilan karena rasa cemburu[ku] pada diriku. jika aku mencintaimu dalam waktu, tak pernah kuhitung hari dengan batu, tak pernah kutukar ruang dengan uang yang memburu. beri aku tidur, seribu kali saja, agar seribu kali dihidupkan untuk hidup mencintaimu. meralat penat yang dianggap khianat, memperbaiki sampai hakiki segala benak dan kehendak. terbang melangit menuju satu. bersamamu.
#063
di tanganmu kimia bekerja, menyaring tanah jadi besi, mendulang besi menjadi emas. sekali pandang, aku membatu, di genggammu. goda dalam dada, menyesah doa. biarlah hadirmu di hariku tanpa penutup, jadilah kau doaku. mangsa dan hisap tubuhku. sudah lama kau kutetapkan, di hati ini, sebagai perempuan paling jahat, tanpa bandingan, tanpa tandingan.
#064
tilam dan rambut sedang bergelombang menyisakan jejak remas dan genggam. telepon mati. tawa dikalikan canda. pintu tertutup menjenguk beranda dari jendela. nafas kita menghela kekang di peta tubuh sendiri-sendiri. tidak ada peluh, tidak ada keluh. setiap hari [me]nanti, gelap membuka kerjap, terang menggugah naga di sarang. jarak yang terentang hanya untuk mengukur sejauh apa cinta terentang. kau timur aku maghrib. tubuh meminjam umur, kisah ajaib berlaku gaib, terjalani di sini. aku menanti, menanti. berdua lagi.
#065
usai sujud pagi, ada lelah indah. masai raut kembali berbagi mengurai elegi kemarin. ada gelisah yang telah, ada nyanyi setiap kali. titik-titik embun di rimbun daun, dan alun jazz tanpa gaun dan kopi. matahari selalu saja jarang tersambut, masuk juga mengisi puisi. harum bertaut rambut dan tutur tanpa alur yang sangat kita sukai, bercakap tanpa dekap, menghabiskan sarapan di antara telepon. menceritakan orang-orang dalam pertemanan dalam rupa bayang, yang tak pernah saling-jumpa. membincang orang, menggiring kerja, menjaja tawa tak tertawar. tak tertakar. bunga-bunga yang kau siram, belum juga mekar. kau-aku sadar pada jam di dinding. sadar pula bahwa waktu selalu penuh jeda, sadar pada kamar yang menggiring. lantas kau-aku tidur lagi di kamar masing-masing. jauh dari subuh, sedekat jarak menelepon.
#066
sudah lupakan saja segala mula kau-aku berjumpa, lupakan pula sekian pola[h] yang mempertemukan. setiap malam, puluhan teman masih setia, meronda membuat tanda jari. tertawa, menyamar, dan sesekali canda dan [t]error diteruskan di perbincangan dan kotak masuk. kerumunan dan hunian menumbuhkan rindu, menjamur di meja makan. cinta tak mencari sempurna, tak pula keajaiban. dinding[ku] menggiring mencari nyatamu, hancur berkeping terurai menjadi kalimat. mengutip seribu buku dan ratusan puisi, menjamu kau tanpa jemu.
#067
hujan meluas siang tadi, lesap di akar, lenyap pada gelap. bau tanah tersisa sepanjang hutan jati. kau-aku menyusur demi nikmat kopi, bercanda berisik sesekali mendengar mereka berbisik, tentang macan jawa yang masih, dan maya tersisih malam ini. pertemuan ini tanpa pantai, tanpa gambar, dan barang-barang yang tertinggal di kamar. tanpa jamuan dan kabar. kau-aku tak lelah mengikat janji mengait bait-bait yang belum selesai di rambut masai, dan ingin yang bermain dalam dingin. angin yang menjalankanmu kembali. tanganmu tak sempat rekat, kembali tanpa rehat, menapak kelak dalam lambai. mengingat pantai yang tak jadi kita masuki. nanti, nantikan waktu. kembali [akan] terjadi.
#068
kalau kuceritakan mimpi, mungkin sekarang fajar dan malam tak saling kejar. waktu tetap saja berputar di matahari kembar yang kau sangga dalam tidur. pulau terbelah merubah peta indah. dalam tidur, hanya kulihat cahaya, hitam di segala warna, dan putih membe[r]kas segala pelangi, tak terulangi. demi tidurmu aku bernyanyi, tentang serah imaji dan cerah janji. tentu kau tak mendengarku, sebab lagu hanya abadi dalam hati. tentu kau tak melihatku, sebab aku berada tepat di hati[mu].
#069
jelita lelah mengembara, meredam siang bara. tasbih masih terkalung, tubuh istirah melewati shubuh, bibir bergetar masih merapal asma. biarkan mata itu istirah, biarkan degup jantung para pemandangnya kembali mengenal jeda. tabur wangi bayi di sekujur kulitnya, sedang melesap dan menguap. kalau kau mau senyap, jangan dengarkan jantungku saat meneleponmu.
#070
tak ada sinar menyesah nyiur, semua teranyam di ritual perkampungan. laut tanpa sesaji dan tarian. angin mengedarkan senja yang asin[g]. mata hanya celah merah, tempat lelah dan berbenah pulang. perut telah memisahkan pikir dari dzikr. di sini telah aku hapus cerita tentang lelaki pembelah laut, dan perempuan yang duduk di atas mega. aku hanya percaya, pengertian terjadi seketika, begitu saja. tanpa kias dan bunga-bunga. di laut, yang teratur telah lebur dalam debur, yang benar telah tawar diratakan cakrawala. aku mau laut, tanpa seberang barat, tak ingin lagi berlabuh di daratan penuh kawat peraturan karatan.
#071
cerita yang aku kenang, bukan tentang jantung dan legenda. sebab tubuh ini telah beda dari semula, dan legenda bisa direka[m] siapa saja. kau berbaju tembus jingga dan senja yang merayap adalah dua anggrek yang tertangkap sepasang tanganku. dalam bingkai warna yang bertikai di mataku. tatap lekat kedua mataku,, betapa indahnya pula aku di kedua matamu.
#072
batu bersujud, wajahnya benam di tepi kali, mengelam. kau dalam genggam. bulan membuatnya berbayang. dedaunan luruh terlentang, tengadah menantang langit. pepohonan meliuk, rukuk ke segala arah, angin merasuk di sela pepucuk dahan. kau bertarung melawan kantuk. udara membawa aroma kembang, mencipta lanskap bergelombang. kau menerima bisik, memacu arus di hangat tubuh. kau-aku ingin lorong waktu membeku, berhenti dalam jeda kerja. kau-aku ingin waktu melambat, saat rasa dan tubuh melambai pada diri. tak ke mana-mana,, namun lihatlah batu yang tak kau pandang, pepohonan yang rubuh ditebang. semuanya sedang sujud pagi dan siang. dengan tubuh dan dirinya. sendiri.
#073
bintang yang tak pernah tersesat, masih pucat di langit rumah, menunjuk arah. kau tengadah. itulah utara segala arah. menebus tangan gemetar, aku berlutut. menuntut nasi[b] yang tak pernah jawab. sebatas musim, serak kian nyaring, langkah berserak menyibak duri-duri meruncing di antara jejakku yang belum terjadi. kata telah bersayap, merangkum pengalaman dalam rupa pertikaian tanpa meja perundingan. semoga setiap [ber]cinta, menjadi ritus penebus, pelenyap bencana di segala rencana. aku terang, sang matahari muasal hujan di langit. kau rekah tanah membuka telan, jangkitkan sakit segala penyembuh. dan kita utuh, pada jauh, segala sentuh, jadi maka jadilah.
#074
selalu kau tersimpuh di sana, beralas serak mawar dipilin belukar. kakimu telanjang, di gelayut jingga senja yang manja. dan regang busurku, surut dari kejar maut. buruan lepas, padang terhampar, pandang lepas, melanglang kau tak terkejar. ke mana kau lari, jika bukan di nyataku? ke mana kau berbalik buru, jika bukan disesap mimpiku. kuberikan panah ini, yang belum tersentuh segala buruan, untuk kau arahkan. tepat di bilik jantungku. tanpa itu pula, aku mencintaimu sebelum kau-aku bertemu di hutan kenangan itu.
#075
aku tak ingin menghilang. menjadi angin akan selalu kau abaikan. aku tak ingin bersila di mega. menjadi burung akan mati dipanah asmara. aku tak ingin melaut. menjadi daratan akan melapangkan larimu berkejaran dengan bayang. aku ingin menjemputmu dari pintu depan, saat kau mengaduk susu selesai mandi berendam. aku telah terpisah dan terusir, melampaui segenap susah dan pikir. sampai pula di depanmu, bersila menata kata, menyusun kalimat [k]ini yang belum pernah aku ucapkan. yang ke sekian, tak akan sekian. aku mencintaimu, perempuan. mengetuk pintumu sebagai manusia kepada manusia. tak ada cerita selain itu, tak ada inginku selain mengajakmu.
#076
tadinya aku berontak, setelah kau jerat dengan hilang dan peluk. [ter]serah bosan melawan, terbujur. menempuh sembah-tubuh dipetimati, [se]belum mati. kau apakan jasadku yang tak ke mana di dunia fana? kau [ber]tukar dengan tubuh mana lagi agar kau-aku bertemu kembali? selagi langit sabdakan matahari, putih tetap ditakdirkan terbias sebagai tujuh warna pelangi. lantas dalam wujud apalagi aku harus mencintaimu?
#077
di pusara daratan, sukma mengembara, menempuh alang-alang kumitir. di pusaran samudera, manusia menyelami hunian yang tak diceritakan, terbebas dari aturan, tak terbayang, tanpa bayang. dan pantai ini, tapal batas keduanya. hanya selaput tipis dari seribu semesta kasat mata. kau menggenggamnya, mengatakannya dengan sepasang mata. di senyap ucap, lidah melesap. menyelam laut, menyesah daratan. seribu semesta bersaksi, kau-aku berciuman.
#078
pada saatnya nanti, mungkin saja. perjalanan telah lenyap dari ingatan, dan rambut bonekamu luruh bersama kemarau tubuh, aku akan buatkan cokelat di pagi hari, menikmati langkah orang di [je]jalan hitam. bersanding denganmu. membacakan buku puisi, menjawab semua tanyamu, tentang siapa perempuan dalam puisi itu. bukankah semua masih seperti rencana? jika kertas pembatas buku akan mengembalikanmu pada perjalanan itu, kau-aku tak pernah terhukum oleh masa lalu.
#079
mega memecah kesumba jingga, benam matahari hampir padamkan senja, kau berpayung lembayung murung. merindu kalbu setia, menerobos tapal batas peraturan mereka. perih dan didih, tertawa[r]kan senyap ke sekian. langit menuang curah di rimba rindu. kota masih berangin kecoklatan, hutan jati melambai menantimu lagi. menyapa sukmamu yang terus membaca tanda cinta dari mana saja. aku diam melacak jejak di sajak yang membelah diri, membiak, mencecar mencarimu. di semua nyata dan semu.
#080
malam tinggal sepertiga, tidur tak masuk rencana. menilik jejaring, semua orang lelah, belum juga berbaring. lantas gambar dan berkas terjelajah, kau-aku melebah, singkirkan kesal lelah perlahan, kembali ke muasal lamunan. agar segala wujud sepadan tak hanya angan. dalam pekat tak berbilang bintang-bintang berjatuhan, doa terasakan, badan mengasah, airmata basah, pada harap [me]langit. cinta tertangkar di pertemuan, membiak mengiring segala kejadian, seribu kehidupan kemudian. terjadi, terjadilah kau-aku bersebelah, di segala arah. begitu[lah] indah. lantas pagi memasangkan hijab, berdua meninggalkan meja makan yang telah dipenuhi oleh langit permintaan.
#081
tiada getar sayap hudhud pada nomor-nomor yang diputar pesonamu. atau dua singgasana yang hadir melebihi cepatnya kedipmu. telah kulupakan bilangan dan makna ayat. cantik itu [ter]bentuk, kutuk yang mesti membebaskan-diri[ku]. kaulah kalimat dalam setiap rapalku, yang dihafal kapal-kapal melaut, dan didaraskan deras hujan di dadaku. bilqis telah datang dari kabar dan lamunan, tentang istana sepasang. sebelum pejam, menjemput kalam di atas jernih kolam.
#082
menyadap rahasia rasa, ribuan lembar telah kutandai jadi gambar di ingatan. namun kalimatmu tersenyum di kedalaman halaman semua teman. nafas tersendat, rembulan hikmat di orbit. seluruh syaraf membelah diri, mengulangmu, meramu getar kelenjar yang berputar saling kejar. sedang apa kau di sana? rupanya aku belum sembuh juga, harimau tak memangsa, mengawalku sampai pantai, memberikannya pada naga dara yang masih melaut sampai senja. rindukah kau pada diriku saat bekerja? kursiku telah menghitam, kebanyakan malam menghabisinya dengan diam. menunggu. sedebar debur laut, sekalut maut yang selalu menurut, menungguiku tidur setelah shubuh.
#083
luka sehitam lamunan, namun permainan belum lagi terjadi. percakapan bermunculan tersilang tiada henti bersamaan dengan halaman yang terus memanggil tak selesaikan gigil. hujan selebat hutan, wajahmu berkelebat, membabat segala ingat. hanya “zaujati” di antara dzat sejati, reranting hutan jati yang menjatuhkan kembang menjadi angin dingin tertebar. inikah ranjang alam, yang selalu berupa kelam kalam, di remukan kejadian?
#084
kau lepas jangkauan, seperti pelukan tertahan dalam kenang. aku ingin masuki kekal, tanpa pengenal. sebab nama, hanya memecah koma, pendatang trauma. aku ingin meniti rambut belah tujuh, dengan tempuh utuh, tanpa mantera, selain yakin. selagi meragukan, begitu membahagiakan, aku tidak akan membawanya [ber]pulang. sebab rumahku punya segala, dari sepasang manusia.
#085
di pusat pesan, orang-orang mengais kiasan, tentang hujan dan perawan, yang dimainkan kerat kata menetak kerak makna. menjarah masalah-masalah sejarah sekenanya. di halaman, orang-orang bergantian saling cecar tentang penanda tanpa petanda, menjalani ritual begawan kepagian. di dinding, aku merinding bersanding bintang yang tak merasi[o], mengedarkan komentar berinduk jari. aku menghapus tanda, menyingkirkan pertemanan yang meronda, menempuh intai mencari bantai. aku mau tawa[r] saja dari segala baris, menurunkan gadisku dari langit percakapan,, merucat kami dari hunian. menghindari jejaring kian bising. mendengar suara sungguh dan sentuh jauh. sebelum jumpa membuat kami melepas sayap. senyap saling lesap, setidaknya di benam malam.
#086
mendung tanpa raung, malam dan pagi berebut ruang kabut, kopi masih larutkan kalut. perempuan itu sedang kontes sebelum berendam, sesenyap asap bersandar bantal. dinding penuh tanda kembang dan coretan. ada belai di telinga, kekasihnya melagu dalam getar, rayu yang alpa di suntuk kantuk. tak seperti orang kebayakan, jauh terjawab kayuh, rindu menetak jarak sedekat dekap. pada percaya, segalanya terjadi. menjelma tawa, lelapkan tubuh, menanti kerja siang nanti.
#087
sejarah kau-aku begitu merah, namun kabut bisa bepergian dan disingkirkan, bahaya hanya maya. masih ada bahagia dan sempat yang tak bertempat, memekarkan senyum dan dia[m] menunggu. sebab kalimat tak ubahnya cermin,, sedetik menitik bayang kenyataan, tak menangkap apa-apa selain alpa. kau tak layu dalam rayu, tak masai dalam buai. bahagia selalu seketika, di ujung tikai dan awal kenal, atau di masa tawa, bahagia terjadi begitu saja. sekarang, erang telah berpulang ke asalnya, malam menurunkan genggam sebesar peluk. erat mengerat duka, hancur terkubur semua, kau-aku dilebur tafakur, berbaur.
#088
aku berangkat dulu, sayang. dua hari pasti hampa tanpa jumpa. lilin belum kutiup, tidur[mu] dalam musik sayup-sayup. jangan lupa menghapus jejak jelajahmu di lautan maya. sudah kuseduh kopi dan kubuatkan tiga lapis roti. aku akan balas kekalahanku nanti.
#089
layar hitam, mesin memindai kerja, menjadi titik dan angka. raga bumi merasuki mimpi. tengah malam lewat. daun pintu terangkat, tubuhmu membuka kelopak anggrek, memecahkan semua jingga, menjadi tak berhingga. mengacaukan bayang-bayang berlintasan menusuki segala tepi. aku gelap. ruang silap. waktu membantu dalam rambat. bumi masih berdenyut, memutar nyanyi hingga malam begitu sebentar, kau-aku tersasar dalam getar.
#090
berapa banyak kisah telah hilang ditelan lelah? berapa belas tanya terlindas waktu yang begitu lekas dalam kerja? mungkin segala tulisan yang merekam kalam, masih tersimpan, dipendam kata sandi, menunggu cucu membuka paksa di masa tua. saat kau-aku hanya berikan dekap mengurai tanya. namun suatu kali, kita lewati saja kisah di tikungan riwayat, tanpa tikai dan setangkai bunga maaf. dalam janji, kusapukan kuas bertinta kanji, kau-aku takkan kuburkan rasa di peti hati, takkan mencerabut bunga demi sebuah kalimat saja. rasa telah cukup bagi kata, kata telah mencakup semua getar terbata. seperti orang asing yang bernyanyi di teleponmu, “ini pasti cinta.”
#091
rahasiakan saja semuanya. lantas lihatlah seberapa lama kau kuat berdiri di depan cermin, berapa kali kau lewati tempat yang pernah kau lewati, dan seberapa bisa kau menjelaskan perkara rumit di depan anak kecil. bertutur sambil mengatur mengatur-diri, berpenampilan agar tak kelihatan sedang menipu diri-sendiri. secara tidak sadar.
#092
hidup mengingat lupa, mati hanya tidur sementara. aku tak berpikir tentang sungai madu dan bara. aku belajar menyelami makna, tak mengejar nalar, agar sampai di pusat kiblat, awal dari segala. di perhentian indah, tepat di bawah tanah, aku berkata padamu, “aku ingin tinggal di sini dan mencintaimu, namun aku harus pergi. ini hari h-ku. ini hanya perhentianku”. jika demikian, maukah kau pergi bersamaku?
#093
semoga hanya hitam malam, bukan bayang. semoga hanya malam, bukan airmata men[g]genang. jika malam kau tak temukan aku, matikan mesinmu. aku berbisik dari dalammu, menjadi racun penyembuhmu, musuh yang menemanimu. tanpa mesin dan orang-orang itu.
#094
bukan rumah tempat kau-aku berkisah, bukan jalan tempat kau-aku berkenalan. di seribu orang kau-aku saling bentuk, di seribu ruang segala kisah dilayangkan melalui jejaring. tak ada yang mengendap dalam cerita lama, sebab kau-aku tak pernah larut pada waktu. tubuh dan sukma yang kemarin, berubah sudah menjadi segala. tanpa alkimia, cinta tak berwujud, tenggelam di laut makna saja.
#095
hujan siang, menyiangi pelangi, bersaing dengan wajahmu. pikirku masih gasing pada kota asing berwajah seribu. orang-orang menghindar makna dari tubuh, aku mencarimu, tubuhku mencair di titik nadir persilangan segala sesuatu. orang-orang lari dari pertanyaanku, tentang wajah yang disembah, aku mencarimu. tubuhku mencerna di rintih pikir persaingan segala diam batu. makna hanya nyawa mengelana, tanpa tubuh[ku]. aku merasakan jarak dan masamu, dengan segenap tubuhku, yang tumbuh jadi sepasang matahari di tidurmu.
#096
daratan kian datar saja, namun di kotak itu selalu ada bincang berseling dendang, menceritakan lanskap kerja dan segundah marah. sentuh wajah hanya aksara, menyapu pandang di seberang ruang, kau-aku tersipu menahan-diri. ini hayat masih hikmat bersayat, menyiasati hari padat berkarat. cinta sedang bermalam memainkan langgam. berwujud malam, di lelangit bintang berenang. mega-mega terjaga, menaungi raung yang urung dijemput kantukmu. mari tidur, mengubur peristiwa, mendaur umur yang semayam di satu waktu.
#097
siapa yang menyulut dupa untuk menaikkan duka di hitam langit, hingga ada yang berbisik di telinga? apa yang membuat mata tiba-tiba berkaca di kulum senyum? aku masih berkisar pada kejar waktu, sampai kapanpun aku tak mau mengganggu dengan tunggu. kau-aku sering melanggar “seseorang” dan “mereka”. sebab hidup selalu bertujuan, tak sebab lagi dari mana berasal. untuk tanah, laut, yang tak terlihat, dan semua orang. jika tanpa rahasia, buat apa rasa. jika laut tanpa tepi dan dasar, betapa akan sepi dan tersasar. beri aku genggam, kau-aku saling kenakan. menyelam dari awal salam, menjadikan setiap saat malam. menghapus garis pantai waktu, menyatukan kedua ujung waktu. kau-aku baru akan meruang, melayang, tanpa semua orang.
#098
menjumpaimu di ruang waktu, dengan tubuh ini, membuat kau-aku mengalami. kata adalah kata, suara adalah suara, marah adalah marah, teman adalah teman, arah adalah arah, lagu adalah lagu, jumpa adalah jumpa, jejaring adalah jejaring, tidur adalah tidur, “mereka” adalah “mereka”, “seseorang” adalah “seseorang”, rindu adalah rindu, menunggu adalah menunggu, sepasang adalah sepasang, esa adalah esa. seperti itulah wajahmu.
#099
hujan lesap, basah tak lenyap. bunga-bunga bersemburat pelangi, merayap di dinding, basah tercium harum senyap. nganga kelopaknya melumat tiris hujan pula. bunga-bunga pasti tumbuh. walau nanti. kau-aku menyiangi, mencabuti benalu, sepanjang musim berlalu. hujan mengganti lagu yang terputar, dengan henti sesaat. alam sedang melantunkan kidung hening: kau-aku telah menikmati.
#100
aku ingin menjadi langit-bumi bagimu, semesta yang masih terjangkau. aku ingin menjadi renik dan jagat bagimu, kasat ataupun gaibku untukmu.aku ingin menjadi manusia bagimu, memanusiakanmu tanpa penyerta dan sekutu. aku ingin mengajakmu di segala pusat kejadian, menyerta hujan dan panas berdua. aku ingin menghadap langit denganmu, memasuki rahim ibu bumi denganmu. dan setelahnya, kau-aku dihidupkan, masih dalam cinta. aku ingin hidup denganmu, membentuk anak-cucu.
Day Milovich,,