Day Milovich,, Aforisme Perempuan [Kumpulan Puisi #3 Day Milovich], (c) 2004

#001

sekawan awan nasab di atas laut. menyaring warna langit pecah. menadah cakrawala yang darah. matahari diserap persujudan barat. burung-burung rafa’ mengepak sayap. senyap, lenyap, dikurung lengkung langit. aku masbuqbertahajud di jantung tunas penyaksian. lantas hujan itu, serupa batu berjatuhan meremukan wujudku. sebab wujudku adalah deritaku. malam membungkamku, di semua yang melidah indah: menyebut namamu.

#002

angan melintang pandang, disebut mulut, meniti hati: tak hilang datang. beban diam menerkam. kau tak pernah lenyap dalam ketidakhadiranmu. aku hanya tahan[an] dalam perang ini. rantai dijebloskan di ungkapan tentangmu. bulan berenang saat angin membelah seluruh celah tubuh. keliar pandang nyisa kelakar digelar candikala. ke mana mata kalah tak menemukanmu, aku menyanggah: melangkah ke segala arah. mata. angin.

#003

bulan setandan kurma. mata membaca pertarungan tanda: bumi-langit menyaksikan kesadaran. kota serupa serpihan arca kaca, membentuk remuk tuah tanah. angin searah desirkan dingin [ber]darah: memanah jantung. suara tanpa muara peristiwa, dihisap sepi. semula, sembah pecah parah tanpa arah, sejarah berdarah-darah disimbah marah, diri dijarah gairah pada menang-kalah. sampai kujamah wajah yang bertempat di semua hijab. api, waktu. “karena bumi kauhembus api, promotheus. lantas akupun selalu [di]tafsirkan dunia dengan bahasa api,” katamu. rindu. sering. berakar ingkar-nalar, sekedar mau [se]luruh tubuh, berujung murung, menilik setiap titik sebagai milik. lantas kauajak aku membunuh rindu semacam itu. kau menghabiskannya setiap bertemu: mengunyah bulan, mengaca pada api. “jangan ungkapkan rindumu padaku!”.

#004

rumah garam berjatuhan dari matahari bahari. angin asin. bis diseret arah. orang-orang tumbuh di sepanjang pematang: pulang ke laut, menapak ombak, melaga waktu, meraga. ke timur aku mencari rusuk perempuan yang khusyu’ menusuk kenangan: pangkuan penuh dongeng, simpuh doa ampuh, dekil mainan masa ketjil, suara, yasin, dan harum nafas tetumbuhan pagi. “aku selalu kembali lagi, ibu,” kataku pada tanah biru itu.

#005

rinduku hendak menampakkan wujudmu lewat wujudku. dibentuk amuk nasib, diruwat shalawat, dan sepasang malaikat: kau mengejawantahkan doa dalam rupa kerja. matamu pusara sengsara, menyimpan lelah tingkah perempuan, lelaki, sementara dalam tidurmu sekalipun aku tak pernah menjadi orang asing bagimu. jejakmu sendiri. tinggal lelah tingkah berbongkah nanah, ada basuh tanpa keluhbagiku. kaulebur hatiku dibalas hangus kulitmu, memendam diri dikubur liang peluang-kabur. pada kesadaran di sarung pedang waktu, rangkulmu ilmu, semesta cinta. meski aku meronta lari, selalu kaukejar aku, “kembali. kembalilah anak lelakiku!”. ibu, kupulangkan dukaku padamu. meski aku pergi lagi demi menampakkan wujudmu lewat sujudku.

#006

kalau dekap lenyap, lupakan diriku. balik peristiwa menjadi gelas tawa pecah mencipta jingkat langkah terarah melawat ke tempat gawat. pastilah kilat hujan akan menerangimu, semusim demi semusim: melompati kemarau! kalau aku mendoakanmu, aku berwujud dirimu, sebab setiap sasaran dan cara pada akhirnya mesti hancur tanpa kubur. semoga kita tidak bertemu demi sampaikan rindu, melainkan demi membunuh perpisahan-mendatang. jika perempuan mengerti, tak ada perlunya pembicaraan dua lelaki yang mencegat pagi, tujuh kali melemparkan setiap batu yang diletakkan di akhir halaman buku! itu sebabnya aku selalu mendekapmu. semoga kau tak pernah tahu puisi ini karena aku tak bisa temui kau.

#007

rindu setia menjaga perasaan, menyerbu dengan takdir kuda troya: hancur di benteng musuhnyademi kedatangan pasukan berikutnya. karnivora larut pesta, bangkai tumpas dicerna, hidangan berpasangan tangan dengan sepi tanpa tepi. ratusan tawa perempuan berhamburan di halaman buku. tanpamu, merawat perasaan, membaca tubuhmu yang hancur menjadi pesan telepon. lepas kepompongmu, tunaikan harum tamanmu. atau ijinkan aku: mendatangimu!

#008

bebatuan gedung vertikalkan kota, mencakar langit yang ditinggalkan burung simurgh. perumahan horisontalitas belaka. apapun sudut, manapun sulut. ruang, api. waktu, sekutu. “apakah kerja baca masih punya makna meng-ada bagi ‘yang lain’?” tanyamu. lidah rumi, mata heidegger, dan badai di tanganmu turut memaknai selimut dengan tubuh. lantas lelah menafsirkan denah arah. darah. nemeluk-rebah susah, menyimak sejarah yang kalah. ruang mengerang, waktu membatu. tidurlah, tanpa sepertiga malam terakhirmu. ada mimpi ingin kaucipta, di mana teriak pekak bisa meledak menetak sepi. barat laut dan tenggara tetaplah terpisah dirimu, biarpun kaulintasi segala maksud. matahari dan bulan masih perlu kaupejamkan di kelopak matamu. tidurlah, kaulah malam: ada waktu yang ingin kau. mimpi. aku di dekatmu. aku di dekapmu.

#009

masa lalu mengiris hati tipistipis. lirih, perih. bulan sepucat kafan, membias di wajahmu, “hidup itu indah, bukan?”. menangislah lagi kalau kauukur “lepas” dari “bekas”, “melas” dari “balas”. betapa bahagia setiap lelaki yang disebut perempuan dengan tangisan–dan catatan harian. sementara, maksud baik “orang lain” sering ngantri karena dipagari “hubungan biasa”.

#010

aku mesti datang bersimpuh pejam: memingit duka sebab kota punya seribu peluk, memaksa anakmu takluk. jagad hujat memangsaku mengulum batu kalam, dirajam waktu, dikepung arak gagak. langit sebiru leksotan jerman, memantik kenangan api, menitikkan linangan air mata. sebab lelaki (kadang) digariskan sendirian, mengungsikan tubuhnya, mendaur-ulang perasaan terhadap perempuan. lantas dicecar nazar atau tiba-tiba kesasar di pasar kejadian. menyakitkan. sendirian. mau seperti tak bertuan. cantik cuma ilusi optik. dan kapan saja ruh atau tubuh meluruh, “dari tanah kembali ke tanah”, dilumat jagad renik. maka pulangku ke tanah kelahiranku adalah mati ke sekian kali. menjemput masa depan yang masih tersekap di dekap-mu. kau perempuan pelantun nyanyian hujan, berselendang timang. usai pulang (nanti) kau masih bisa lepaskan aku: melanglang membedah kejadian, mengurai sampah darah, membangun rumah ramah di setiap tempat, di mana denah masa kecil: mendudah apapun jadi indah. “pergilah, dengan bismillah. meski tanahku terbelah sudah”, pesanmu.

#011

aku mau mengajakmu bertemu. bawa pedangmu, kubawa bungaku berikut tanah merahnya. kau bisa melukaiku dengan pedang itu, tetapi bunga ini akan kutaburkan sendiri di atas pusaramu. kau pasti tahu dan rasakan, betapa beratnya membunuh, menguburkan, dan menziarahi kenangan!

#012

[lelaki itu menggamit setangkai kacamata, bercelana atas-tumit, pamit pada umi menuju matahari terbit.] sekelumit rencana tersimpan dalam silang-silang besi jembatan yang menyimpan diri, menunggu matahari menyelam di kiblat. melanglang barat membabat siang, pada laut. namun bukan maut. berkendara bentara rasa duka, masa lalu seperti diringkas jadi “tadi malam” saja saat pembicaraan cair di leher-leher telanjang botol minuman, sekelewang pandang melayang, melanggar sadar. sebab masih kauhafal juga karma dan norma menyakitkan. di hitam tinta alfiyah, menghafal aspal–sampai saban garis jadi horizon di mana matahari tenggelam, waktu kikis, baris-baris syair membariskan pertanyaan abah tentang sekolah, “nanti. baik.” dan perih sedih berteriak “labbaik. labbaik. labbaik!”. waktu dan garis darah bersekutu mencegah perempuan. maka kota adalah serimba-kata bisingmu, sengit penuh peluh dan marka luka-luka, gedung-gedung yang disambangi mencakar-cakar langit waluku, hendak membajak halaman-halaman buku yang masih belum terbedah. se’karang’ hidup, ujung-ujungnya setajam batu rajam–sementara semua orang mengokang pistol tepat di jantungmu, memaksa mengaca, membaca demi menjumput suka yang menjemput duka. kalau kau memang lelaki, tak perlu operasi tubuh jadi perempuan demi membuktikan bahwa perempuan idaman sebenarnya bisa ada, karena perempuan tidak untuk dilahirkan dan dipikirkan. dan masa depan bukanlah seutas benang merah berujung pembicaraan [orang] kerah berdarah. lelaki adalah jembatan penghubung daratan. mengerat arus lalu-lintas panas.

Day Milovich,,