Day Milovich,, Manifest Within [Kumpulan Puisi #5 Day Milovich], (c) 2010

001

kau datang [se]bagai pemandangan laut. ratusan tahun yang lalu, puluhan kapal: bertarung dengan besi, demi jelajah, kuasa langit, dan rempah-rempah. kedatanganmu mengulangnya, dengan matahari di wajahmu, lafal asing dari bibir, dan butir permata di kakimu. lihatlah daratan itu, ribuan tahun bagai gadis berbaring: beringsut menyambut, senyummu. laut bermula dari air langit, dan langit terbentang dari puisi. laut memberiku puisi, berupa kedatanganmu.

0x002

selepas pulang, kata berkejar, mencapai fajar. sebelum tidur, tiga lagu menghibur. duka lelah terkubur. nanti[kan] mimpi mempertemukan ramalan ke sekian, tentang cinta semerah marah, rindu meredam dendam dan gairah, bercerita tentang tatapan menggurita, peluk dan ringkuk lelah, membuka segala resah. tidurlah, selagi masih bertaut janji, lelah masihlah betah: memisah nyata, dari imaji. pasti akan [ber]tahan menghadapi. desis liar suara luar, anggaplah kedap sudah. selepas tidur sebelum pergi, jangan biarkan aku cemburu pada diriku sendiri. sebab setiap bertemu denganmu, kau selalu tawarkan seribu perempuan dalam diri-utuhmu.

0x003

aku bukan mimpi, yang tak selalu setia mengiring tidur. aku bukan bayangan, sekalipun ia menuruti tubuh ke mana saja. aku mau diriku sekarang, di mana lipatan-lipatan luka menjadi ruang bagi cahaya matahari, dan membuatmu terus bertanya, “mengapa kau mencintaiku? mengapa kau terus mengecewakanku?”. jika perasaan ini selalu kembali padamu, aku[i]lah bukti-Hidup-Nya.

0x004

di depanmu aku bosan-kata. tanya tersusun, kata tak kuasa. aku mau belah sepi, memecah tawa di perjamuan, sebab aku bosan segala kata[nya]. biar[pun] semakin malam, bulan menebar selimut. sengketa terbakar di dinding kamar berputar. setiap ratap, hanya dengan menatapmu. sisakan mata bertaut, desah saling-sahut, dan peluk berebut. dalam tidur-jagaku, satu demi satu, aku terus akan mencintaimu.

0x005

langit sedang terbuka, sepasang doa menyambutnya. kota masih hitam, jalanan tergenang sebagian. dalam pejam sesaat aku mengenang usap di [se]tengah gelap. waktu itu, jantung kita berdekatan, rasa cemas berdekapan. tentang jumpa dan rencana berdua. biarlah aku seka bening alir, di sepasang mata hening itu. aku menunggu wangi tu[m]buh di laut, dengan debur biru, lanskap merah coklat, dan sepasang coca-cola. aku menanti dingin, menanti potret disimpan, sebagian diedarkan. pintu-pintu tertutup, langit masih gerimis. ponsel menyala, mengedarkan hangat. jika batu langit telah sampai menghitung waktu, katakan kapan aku bisa mendatangimu. lantas, dengan alasan apalagi aku tak merindukanmu?

0x006

setiap sakit dan jerit, aku memahat menyusun tangga batu: menaiki langit. bersamamu. terimalah genggam ini. jika dendam merindu membuatmu jatuh, cinta pasti memelukmu.

0x007

ragaku masih melaga, ditimbun derit mesin berjelaga, berkejaran dengan sang kala[h], di sela-sela rimba kota, menelisik segala berisik: sebagian basi, sebagian tak berisi. tubuhku ditusir bayang-bayang gedung-gedung yang menjerit mencakari langit. “masihkah wajahmu kau biarkan basah, hingga pikir dan rasaku selalu kembali ingat rumah?” ingin kubawakan daratan untukmu, yang masih tersisa dari petak-petak tanah-masalah, yang tidak ada di peta. di rumah akan kutanam dendam rinduku kepadamu, hingga hancur segala riwayat di pekuburan-kerja dengan suaramu. hingga remuk segala kutuk-kota, yang sudah berubah jadi tanah: tumpah darah. dengan peluk. dan tanyamu kepadaku, “mari teruskan lagi, apa yang tertunda siang tadi”. sebab malam pasti datang. dan betapa bahagia mereka yang menderita insomnia!

0x008

bersama hitam air dalam gelas, musik meredam alir rindu, menggiring kenangan masing-masing. belum tuntas hujan yang terlalu lekas, membilas jejak parasmu di cermin itu. atap lelangit kamar, senyap memingit kabar. hatiku selalu terpaku, melihat senyum, dalam ikon percakapan. menjalankan lakon ribuan tawa rabun di telepon seharian semalaman. berbelas balas masih berasa tak tuntas. bukankah setiap bertemu, telah terurai segala sandi di relief tubuh. bukankah setiap menyisir daratan mimpi, berkali seribu, diammu mengatakan, “biarkan aku lenyap dalam luap, lupa dari segala, di dekap-mu. terhisap pertemuan. menyesap candu. berupa rindu.”

0x009

rumah-wujud sudah sarang lebah, aku mau beredar di luar jangkau radar. aku dan kota, mesti satu tubuh sudah. terjal dan deru [mem]bagiku menjadi pembuluh darah. aku mau menempuh sungguh, bertemu manusia sungguh, sebab duka hanya jejadian pikir, bersekawan dengan setan. jejaring sosial sedang lumpuh, pesan tak berbalas, hambar pahit begitu bernas. tak ada senyum[mu]. semua ingin merangkul, merangkum segala hukum, saling-pukul. kata mati dalam ranum. ditabur di beratus-ratus status: terputus tak terkubur. segala [per]cuma perayaan peraturan, berkeliling di hanya bertemu dinding. aku mau pergi, demi suara keras[nya] kota, menumpas dada cemas yang tak terkuras, menghindari dari ganas para pemburu impas. aku tak mau mendengar lagi, dinding-dinding meratap, identitas palsu saling-balas. sebab tak kurasakan harum nafasmu. aku mau senyum saja, sepanjang jalan akan aku tuliskan cerita, tentang pepohonan yang diabadikan di koran-koran, anggrek yang terbelah di halaman majalah, tentang patung-patung kota, yang tak lelah tersenyum, diam menghitam. menyaksikan matahari dan aspal saling-tatap. dan setiap malam, para makhluk dari dunia gelap pasti menjemputku: saling-sergap, bertarung, dan meratap. nanti[kan] segala lukaku terusap, sendiri. nanti segala aum akan menjelma senyum. jika daun-daun pepohonan di jalan-jalan kasemaran sudah saling sentuh aku pasti keluar dari kalangan, kembali ke perkampungan, dengan suara yang tak lelah kau hafal, “aku hanya bisa sampai[kan] lagi kepadamu: sayang,, aku pulang!”.

0x010

suara telah pertemukan mata dengan mata. berdua, berkehendak. sepasang sayapmu merentang membuka diri, setelah jauh terbang. huruf-huruf telah pertemukan pikiran,, berlainan. berkehendak, “menjadi”. satu tubuh. begitulah,, jika kamu udara maka aku adalah udara!

0x011

waktu telah menjadi siklus. berdua melumat kalimat tanpa garis-edar percakapan, merekam-ulang kejadian, mengawal[i] hari sejak matahari tenggelam. menyaksikan langit halus, bumi tergerus. setiap jumpa, ruang telah menjadi hampa dari raung orang lain. kita bermain, melintasi hening keping demi keping, telepon berdering, merantasi jejaring. terkurung hujan, menguraikan kejadian: meremuk masalah, memusnahkan batas benar-salah. hitam dan putih, mesti fana dalam warna, lebur dalam daur: saling-telan lisan. rupanya kemesraan telah dipetakan dengan pertikaian. dan setiap pertikaian telah menjadi ritual kekal: aku malaikat pendekat kau iblis cantik betapa religius setiap pertikaian ini.

0x012

jalan bergerak dalam derak angin dan jas hujan di atas kendaraan. langit ciptakan helloween. hujan membentuk hutan. di atas jalan, angan berjejalan. di jalan-angan, berjejalan: kau, kamu, dirimu, bayangmu, dan ratusan orang lain. jika kamu pulang nanti, aku menanti. angin dan hujan ingin bersahutan, dingin dan kasmaran ingin bersamaan. jika kamu pulang nanti,, aku menanti.

0x013

langit turunkan duta, bukan hujan atau malaikat. langit turunkan kau: purwarupa dari segala cinta!

0x014

aku lapar. dalam kapar aku mau menyelam liar, memendam sedalam akar. [kelak berbunga, pasti]. aku hanya mau tubuhmu. aku haus. hanya harus memerahmu sampai coklat tanah berubah merah. aku hanya mau tubuhmu. setiap ruang beralih, setiap suara disulih segala kejadian, dan waktu membuatku pulih,, aku telah memilih: sembah tubuh. aku hanya mau tubuhmu. aku tak-utuh tanpa tubuh, tanpa tubuhmu. *)
*) ps: i love you,,

0x015

matahari masih bertaut laut, meski nestapa meluas, duka pasti lunas, semua sedih-pedih akan tersapih. lirih atau keras suara guntur, bias atau lenyap pelangi, tiris atau deras hujan, tetap saja kita menata pertikaian,, menjadi diam: pelukan demi pelukan. ciuman demi ciuman. semoga setelah setiap percintaan,, tak lagi siuman.

0x016

kamera belum sempat memotretmu, satu sudutpun. sudah banyak lingkaran percakapan terlupakan. lagu-lagu belum terputar berdua. halaman-halaman belum tersunting. diri[mu] masih dalam relung terselubung. betapa bersalah aku pada diri, betapa kalah aku pada rasa [ter]sendiri. kau bersandar lantas pergi, berpulang. aku kembali, bertualang. berkalang jalan, berkejaran melawan gagak sebelum mencecar remah roti yang kau tinggalkan: tubuhku. jika kau sampai, kabarkan apa yang terjadi pada tubuhmu.

0x017

gelap lenyap. dekap senyap. asap terhisap. tubuh merayap. kata sudah lesap. melawan-diri, lelah kalap. rindu kian merah dadu. tubuh bergulir namun segala lelap punah. aku bertahan, air mata keruh. kalam sedalam telan, pedih seluruh. tentang lentang, tentang seseorang, tentang tentang. pada waktu, kau membatu. menunggu telah menetak gambarmu. menjadi petak-petak retak. aku merindumu, dengan gairah-marah, kelenjar memerah. seribu sebut sudah saling rebut, ingin menamai dirimu. kadang kau bulan separuh, kadang kau taman seluruh. kadang kau boneka, kadang kau segala terka. serbu kalut telah beriring siap merenggut. seperti maut. angin tak mau kabarkan dirimu. sabtu tak mau kobarkan apimu. jika kau pergi, putarilah dunia, agar kau kembali kepadaku.

0x018

senja manja, tubuh manja. selalu mengurung mata belia, meminta jantung berdenta. kau getar, aku liar. tangan bekerja, dari belai menjadi serang dan ronta. lenyapkan sengkarut maut seharian di malam larut. dan siang dalam rangsang. matahari tak pernah basah namun langit selalu sembunyikan roman, berupa hujan, beserta hunjam. mengadu rasa. moksa di tubuh masing-masing. kita gasing berpusingan, yin-yang terasakan. seharian sepanjang bulan, almanak terabaikan nanti, setiap saat akan kita dapatkan: tubuh memiliki tubuh, manusia menjadi manusia. selalu berusaha: menjadi sepasang, bersenyawa.

0x019

lihatlah, bayang kita bersentuhan, tak terbayangkan. aku memasukimu,, kau tak menelanku. aku mengeluarkan diriku,, kau tak melepasku. diperam waktu, niscaya hancur segala batu. telah luruh seluruh jauh, melebur, menjadi: satu. akan aku larung segala murung. mintalah burung, akulah burung. tak peduli lagu apa, tak peduli bagaimana melagu. lihatlah bayang kita bersentuhan, tak terbayangkan. marah, rindu, dan gairah, sudah kehilangan sangkan-paran. rentang tangan menjelang, pelukan berhamparan. sawah demi sawah, terbelah: [menjadi] sebab kita melangkah, kupu-kupu menyerbuk bunga-bunga, angin hantarkan desah alam bagi telinga. kau merah aku biru, matahari dan langit yang tak terlihat di pejam, hanya terekam sebagai warna. kau menari di [setiap] sentuhku, kau melagu di jauhku. jauh tepat di dadaku. saat membuka mata, di depanku pula, terjadilah tawa pecah, senyum memerah, dan lengan meraih, sudah demi sudah. lihatlah, bahkan bayang kita selalu bersentuhan. mimpi tak seperti mimpi. nyata tak senyata nyata. tiada bedanya. kau dan aku. tersimpan di dada masing-masing, begitu sering beradu setiap asing. namun ke manapun pergi, kau dan aku beriring, menjelajah, menjadi bayangan bagi yang lain. aku ingin menjadi bayang bagi tubuhmu, biar hilang karena segala telah satu. merindukanmu dengan segala indera, mengepung di semua penjuru.

0x020

kekasih menabur kata, sendiri. waktu bergiliran, detik selaksa, wajahmu saja. hanya dua jengkal dari tak-nyata. kadang garang siksa, kadang serang rangsang. tentang seseorang, wajahmu saja. di dinding di halaman kau tak datang. penuh runding bersalaman, pagi menjelang. sepanjang malam, rindu terbuka bagai luka meradang. jika kau bertanya mana jawabku, aku datang. rasa rindumu padaku adalah jawabku, sayang.

0x021

kakimu menapak, jalan merindu tepian sepi. malam hitam, cinta hitam. sisa langit, basah terurai di rambutmu, membentuk rambu, membalik segalanya menjadi rindu. tentang rumah ramah. jangan biarkan malammu terjadi, tanpa malamku. di balik seribu pergimu, tersimpan datangmu pula. tangis langit dan cokelat tanah di matamu, akan tumbuhkan bunga-bunga di dadaku.

0x022

langit bermain bayang, hujan membuat petang datang kepagian, mesin-mesin terdampar di daratan karatan, penuh peraturan. dunia sudah tak ubahnya lampu merah. hatiku sudah bukan barang pasar, lelah disasar seribu dunia. kubiarkan lelah menjadi lelah. aku mau terus terjaga, menunggumu pulang. mendengarmu bicara: setenang tidurmu. sedang apa kau di rumah?

0x023

hidup sudah lelah, tetap melawan, sampai -kalah- mau berserah. kepala[ng] disabung, malam demi siang, jarum jam di jerami berkubang, sengketa kata dan kartu penuh nama menata kejadian, menyatu jenuh begitu lama. lisanku entah kata, sudah antah-berantah berita berantai bercerita. mataku berkaca, kacau, sedih bersahutan menghutan kesepian. sayapku rantas di pangkal, aku jatuh jauh. aku peluk sayapku, rindu kaku oleh sentuh. langit sebasah hujan, pikir sekilat petir, telah membawa sepasang peluk pada kutuk, dan selarik mantera telah sampai pada takdir. ranjang itu telanjang, tilam itu datangkan malam, jerit akan terkatup derit. pada bintang kau terkenang. pada langit kau memandang. bersama itu pula, semua terjadi bersama kita. seluruh jauh hanya tempuh, mengeja karam tubuh sedalam siang malam. aku merindumu, hingga[p] di pejammu. nanti. nantikan aku.

0x024

pelabuhanku telah sepi, angin kalut di bawah bintang, sudah kabut semua haru. rindu sebiru laut. waktu masih setia, layaknya maut menantiku. selebihnya, tiada terlambat, bagimu menambatkan perahu lelah di pantaiku. beri aku ruang, laut lepas tanpa seberang. tiada lagi daratan peraturan, tempat lelah, berserah tumpas seluas petang. bawa aku pergi ke batas pandang, akan aku lepas semua pelindungku selama menunggu. pelabuhanku telah sepi. jantungku masih saja bergetar, mengulang bunyi lelah-sepi di dadamu.

0x025

sebentar lagi kantuk datang, bersama, lelah menyerang. tak ada lagi yang bisa diandalkan, selain membiarkan. segalanya berputar: dalam tubuh, sedalam rasa, rubuh tanpa paksa. waktu telah menjadi batu, tak goyah bersimbah serapah, sukar mirip belukar, yang tumbuh bawa segala janji saling-serta dan [me]rasa telah setia, dalam hitam bertepi bernama mimpi. mungkin di situ aku tersenyum dan menerima sapa dari siapa saja. pilin kata, bayang benda, tidak sedang terjadi karena matahari. selalu saja aku dengar tanya itu: “ke mana engkau saat aku membutuhkanmu?”

0x026

rambutmu terurai di pantai, menjadi senja dan perahu. senda yang meruang-waktu, tak pernah aku tahu. senja yang indah dengan bayang batu, tangan kita saling mendekatkan bahu. segala tarung telah aku larung. di pantai. segala tikai dan hempas, telah lepas tak terpakai. tak ada lagi murung meski banyak kidung yang mengiringmu berkabung. pagi itu matamu menjadi sepasang matahari dalam mimpi. keduanya menampakkan wujudmu yang tak terselami, kadang pejam pendatang malam, kadang siang berwujud gerai tawa[r] nyanyi riang. apa yang terjadi pada kedua matamu sekarang? apa yang terjadi pada rambut bonekamu sekarang? apa yang terjadi pada musim di kotamu sekarang? apa yang terjadi pada cerita-cerita sebelum tidur? sedang kau masih menjadi pulau, dikelilingi laut tenang, memunggungi diriku. maka biarkan aku memotretmu, menjadi segala yang tertangkap oleh sepasang mataku.

0x027

langit dijilat lidah api, basah membuat tetumbuhan menari. kupu-kupu telah pergi, bunga-bunga diserbu[k] angin. hujan kali ini tak membuat kemarau kehabisan api, membiarkan gelap menentukan permulaannya sendiri. bayang-bayang tak lagi menyerta, semu[a] waktu di jejak almanak dan kalimat penyeranta. masih ada hujan, sayang. masih ada dingin dan sakit yang setia mewakili bayang, mengenang garang hidup dan serang degup jantung sendiri. mengapa kurasakan langit memingit bumi, mengapa kuresahkan lidah terlilit pahit makna yang kian terbasmi, mengapa hujan bertutur juga tentang basah dan desah yang tak [ter]alami lagi? langit masih basah, kerja dan rindu masih rumah. kau masih berupa denah, suara bernomor, dan senyum yang menepikanku di dinding orang-orang [ter]asing. berteduh pada gaduh, memetakan cerita indah yang aku reka[m] hanya untukmu, karenamu. di basah ini, aku menginginkanmu seribu kali lagi.

0x028

dan tubuh itu masih memerah, jadilah jantungku setengah belah. rambut terjuntai, setiap helai telah terbelai. dalam hutan, tubuhku menjadi perempuan. diperam hangat air mataku. sendiri. pedih telah lelah, tepi demi tepi. ijinkan aku menemukan jejak itu,, di apapun yang kutemui [me]nanti. setiap kejadian, hanyalah maqam indah yang akan membuatmu hidup lagi.

0x029

tangan yang terbentuk sebelum kaki, telah berdoa dalam gelapmu. aku tak letih menerima hidup perih. jika dada menuai badai,, akan kupinta awan datangkan gerimis, menyeka basah dengan basah di dadaku. walau kata sering berarti api, duka dan marah tetap berkaca-kaca indah, saat tawamu memecah peluk dalam kantuk. jika kau berkeluh tentang jauh, singkirkanlah gelisah, dengan kisah tentang hunian indah kita bertaman di depan rumah. seharusnya tak kucabut mawar untuk mengatakan rasa, semestinya aku biarkan merah itu tertanam di antara kedua kakimu yang berkejaran. seterusnya kita saling mengatasi, beradu gulir pikir seharian, ranggas berganti tunas, bernyanyian di bawah bulan. burung terbang di atas sawah, melarung rasa di awang-awang siang lantas dalam desah kau mainkan lagu hujan dengan puisimu. lupakan bunga dan kata, sebab keadaan sedang sempurna: menjadi sebentuk manusia.

0x030

kabut menembusku, keluar dari tiap hembus. kenangan tentangmu tak hangus beku. jejak tanda langit, sungguh tanpa putus. tidak ada pelangi. aku terkurung di delapan candi. angin menebar kembang mekar wangi. mengiring detak jantung, pemecah segala sandi. sekian bulan kau bukan lagi bayang. menyiangi malam. rembulan masih hilang dari mata telanjang. suaramu tinggal seruang dengan genggam. mengapa kau menjadi pagi, namun harus kulewati malam sendirian? mengapa kau perlihatkan pelangi saat [aku] pergi, namun tak mengajakku menikmati hujan?

0x031

musim ranggas. betapa tanah puas. dedaunan luruh itu, sangat mencintai tanah. demi dingin yang datang, demi wangi semua kembang yang [me]nanti basah. tiada korban bagi siapapun, yang menyadari perubahan: dari langit ke tanah. atas rasa yang tak berubah.

0x032

di langit rendah aku mengingatmu tanpa rumah. di debur ombak aku berontak, mengasahmu sebagai belati yang mengerat dan menyebarkan tubuhku ke antah-berantah. di pasir pikir, ombak di mataku selalu benamkan wajah. tanpa kerumunan massa, tanpa penggal masa-lalu,, kau menemaniku selalu. aku tinggalkan jejak, tanpa sajak, sejak di hadapmu. biarkan aku sekali lagi menghadap matahari, meninggalkan segala bayang di belakang. hancurkan se-karang rinduku dengan datangmu. jika angin berseru, aku hadir tepat di hatimu. aku merindukanmu, dengan segenap marah dan serahku. tak pernah berputar selain melingkarimu.

0x033

kau bintang, di atas garis lintang. pada terang, aku terbang. menjangkau rumah, berupa sawah dan setaman anggrek indah. segala lelah, telah berair, bersama harap semuanya mengalir. terbang, berenang, menari. jangan biarkan gelapmu tanpaku, jangan terbangkan terangmu tanpaku. aku masih bayangan, di tengah langkah orang-orang, yang bergentayangan diremuk jadwal sibuk. aku selalu ingin pulang: untuk menjangkaumu. memelukmu. tepat di atas halaman buku.

0x034

matahari ditelan langit,, untuk langit berikutnya. aku berayun pada harap yang terikat waktu. hari mesti berganti, sebentar lagi. kalau hendak pulang, katakan, “sebentar lagi”. tubuh gemetar, tangan mencari. peluk berpusar, sepasang menari. berputar sebatas pusar. bibir terkatup pada bibir. berbisik, menyibak berisik, mengatasi orang-orang berlintasan di taman. ikan-ikan menyerah di kail dan sampan, alun ombak melantun. sampan menepi kelelahan. tujuh bidadari turun, pelangi terbias di atas gunung. senja telah terjadi, cinta sedang menjadi. nafas terbiasa bertarung. kadang saling buru, kadang berpaling sigap berebut dekap. angin selalu menunggu helai rambut, yang sedang bergelut dengan jemari. matahari mengajakmu menari di bawah pelangi. senja sebentar saja, sayangku. lantas kau harus pergi, meninggalkan hausku akanmu. melebur dalam rupa suara, bermain di gelombang lain, berdiri menari di senja berikutnya, setiap hari. aku merindukanmu setelah itu. ada atau tak ada matahari.

0x035

dia datang, menunduk[kan] bayang karang, burung berpasang menjauhi sarang. gelombang menjilat kaki sepasang, matahari menyilam. aku larut, melarung duka di laut. gelombang tak pasang, aku mau berpasang. datang dan penuhi rentangku dengan pelukmu, atau lakukan pertarungan sungguhan, biar rindu berbulan-bulan bermula lagi di bawah rembulan.

0x036

sepasang bibir terkatup sepi. hati mengerang. kata dan suara masih lirih menyapih perih masing-masing, berkeliling sepanjang nada-dering, menempa sapa tanpa jumpa. maka sepasang doa tetap menyambut rindu, menyadap langit menjadi hujan. dan hujan berkata, “aku turun dari awan berbenturan, sebagian dari uap laut tempatmu berkejaran, di mana matahari melepas cahaya. menebar jejaring diiring senyuman ribuan ikan.” aku merindukanmu di lima waktuku, mengantarmu di sepertiga terakhir setiap malamku. :))

0x037

malam sedang sunyi dari segala bunyi, namun ada yang selalu bernyanyi, melagukan derita dengan senyum dan setiap lelap menidurkanku, merambah mimpi indah yang selalu menyerta: kelak ada sepasang manusia ramah, berdiam dalam satu rumah. akan banyak kafilah singgah, membasuh lelah. sepasang hati itu terhubung pada semua orang, dengan kedua tangan selalu berpegang. minum dari gelas yang sama, menari di depan cermin yang sama.

0x038

mengenangmu seperti tiada habis, kau penghabisan, menghias paras bumi, yang kikis terkais jejak semua manusia. di antara rerimbun rerumputan yang merunduk, di bawah langit yang kian rendah, dan ombak pantai indah,, kenangan tentangmu sedang berbalik-arah. tepat dari timur, tempat matahari menakar umur. bergamit lengan dengan dengan sapa bercahaya. tangan yang tengadahkan doa, sedang menerima wajahmu sendiri. itu juga jawaban doaku. dan bunga-bunga dari mimpimu semalam, yang ditebar dari tanah antah-berantah, kini sedang menutup musim kemarau di kedua matamu yang terbuka. mendatangkan hujan dan isak pelan. belah semua cahaya yang mengurungmu, berlarilah ke arahku, tak perlu kau mengitariku dengan seribu perahu.

0x039

kau di mana, aku sudah di sini. mataku beku diseka[p] gelap. bibir gelisah dikatup ucap. ada pasar terbakar dalam dekap, ada gerah darah di luka senyap. ada kacau dalam [bentuk] daging, tempat seru yang mampat dalam sekap. bahwa semua terjadi karena: aku sangat merindukanmu, jauh, sebelum hari lahirku.

0x040

air mata telah rahasiakan sakitmu, menghapus jejak masa laluku menuju arahmu. langit menerjemahkannya menjadi sepasang tubuh, menari di bawa[h] gerimis dan larik puisi saling-bisik, sampai gelombang pasang di dada, atau merupa sepasang kembang. matahari, biaskan biru laut duka jadi tujuh warna pelangi! senyum tetaplah senyum. mengiring tikai, rindu, dan doa. dari langit kembali ke langit.

0x041

betapa kerap langit menjadi kanvas, bertinta gerimis dan matahari membias. tujuh warna pelangi merupa lengkung kelopak bunga. peluk [serupa] angin begitu lembut. tidurlah, luka. sebab hidup belum seberapa nestapa. luaplah suka, jadi [se]pasang hati. di mana kami saling bunuh, dengan waktu. di datang-pergi kami hanya tinggalkan dua pasang tapak, “aku, bersaksi.”

0x042

gerah telah kikis di tiris gerimis. tanah rindu sentuh, dedaunan luruh. rumah indah menunjuk selaksa arah menandai peta jauh. biarkan segalanya tenang sebelum pergi lagi. sebab shubuh sedang kabarkan sakit di tubuh. pejamlah sayangku, diam istirah, [se]dalam peluk dan kayuhku.

0x043

setia[p] pagi akan membuatmu belia merona, maka jadilah matahari bagi semua, agar siapapun menjadikanmu: waktu. orang-orang akan buang semua jarum jam. mereka takkan melihat bintang lain. atau setidaknya meniruku yang telah lama menjadikanmu: matahariku.

0x044

luka berbicara pada diam, luka mengadu pada peluk. malam tanpa bentuk,, aku tak pernah menyerah melawan pekat dan kutuk. pada siang, sayap berhamburan. semburat cahaya selimutkan hangat sepanjang urat. lihatlah, matahari leluasa memasuki tubuh, karib mengiring sepasang kaki bersijingkat. yang sedang mengerang, menapak jalan menuju peluk erat. pada duka pekat, waktu melambat. rindu semakin berat. kau sayap sepasangku, kau gelombang pasangku. mengapa dengan tubuh dan keadaan ini perjumpaan ini terjadi? jika hidup gagal kali ini, sudah pasti aku akan dihidupkan lagi. untuk mencintaimu lagi.

0x045

bayangmu sedang tidak aku ingat. hanya ada utuhmu di sekujur tubuhku. suara yang lembut hangat, selalu membuat hujan, setengah beku. lantas kisah lelah berubah indah. bersamaan langit mengeluh pada bumi. kupu-kupu yang menyerbu[k] bunga di taman. semua duka akan terhapus oleh doa penyambut hujan. yang menumbuhkan, menghisap, dan menguraikan segala beban. lantas kita tenggelam, pekat dan lekat, menjelma bayang sepasang, menjemput lelap dengan dekap.

0x046

pesta dan duka masih sama-sama rencana. tanggal tidak pernah mati, jejak tertinggal, mengunyah hati. kalau aku pergi ke timur, matahari tetaplah terbit pada pagi. malam dan penanda waktu, masih [ber]sama: hitam, tak terbaca. dua orang yang tidak sedang bersama. satunya menyulut api, tersenyum sendiri. satunya pejam di bawah langit, mengusir suara yang terus berkata, “aku perahu yang menepi sendirian. namaku sepi, aku hanya berpasang dengan ciuman.”

0x047

telur yang tak menetas, dahan rantas, dan tubuh yang terperas, tak putus disekam senyum. musim sedang lupakan waktu. aku harus bertahan. selesaikan kemudi[an] bersamamu. seribu tikungan tak lebih dari dua arah bagi kedua tangan, segala arah badai tak lebih dari satu kali berhadapan. selagi kau di depanku, semua alamat tak ada yang terlewat. menikmati segala sesuatu, tanpa batu. berputar dan menarilah demi wujudmu, semesta sedang berputar mengitariku. lebur dan menarilah bersamaku.

0x048

dalam pejam sepasang jurang: memandangku, kau aku dihadang petang. tidak ada label merah. dinding bersih. marah sudah tidak merah, rindu masih pedih. tentangmu.

0x049

semoga masih ada ruang dan waktu. tak hanya mengulang yang terkenang, dalam airmata menggenang, atau segala senang. kenanglah rencana yang telah hancur dikubur nyata, walau berupa bencana. semoga hati masih saling rambah, kalimat menyusut, dengan terjalin mesra walau dengan sengsara. menggerus segala pertikaian dari zaman entah. aku ingin hidup bersamamu. sebelum aku serumah dengan tanah.

0x050

kembang merebak, merayapi dinding. hanya putih yang aku kenakan. segala ketuk pintu telah tertolak, menggapai sepi penuh runding. hanya letih yang pergi bergantian. jendela menghela angin, menyambut hangat nafasku: menunggumu. aku lepas kemudi jika kau pegang, aku hilang kendali jika kau mengerang. datanglah kembali[kan] rumah yang aku rindu. bawa ratapku pergi meninggalkan [se]luruh sayapku. dan senyapmu pula, biar[kan] melebur bersamaku.

Day Milovich,,