Day Milovich,, Mount View Days [Kumpulan Puisi #8 Day Milovich], (c) 2011

::: 001 :::

langkah ini masih saja haus, menilas jejak bibir yang belum [kau] hapus. keruh yang belum kau bilas. kau-aku bertemu, sederas dua arus, menempuh takdir menuju laut tanpa pantai, menjalani waktu tanpa angka. seratus tikai, melepas seratus satu maaf, sepertinya rasa dan pikir selalu memilih awal akhir di bibir bertemu. membebaskan simpul dari senyum, merangkum segala ranum dengan rangkul saling-kulum. dan kabarkan tubuh harum itu hanya dengan tembang jantung. semerah marahmu padaku, kau-aku menghapus rindu, dengan bertemu. mengada, meluapkan rintik hangat dada, rintih tembang melagu ruang beralih. kau-aku alir, menyengat sangat, merapat serah dalam jerat. tak ada lagi sudah, meski duka hanya di masa lalu. setengah-diri akan penuh dalam temu. aku menjadi dirimu yang keluar di senja pantai itu. jika kau air, maka aku adalah air. menjadi alir, merasakan tanpa pikir, menjadi hujan pelukan di seribu desir.

::: 002 :::

kelopak anggrek terbuka menjelang petang, ada pesan sebaris dan dua alir di wajahmu. dalam diam, suaramu meluruhkan segala simpul. saling genggam, saling redam. bulan masih tiga perempat, bintang-bintang telanjang. berjatuhan di dadaku: menjadi hujan, menjadi perbincangan. tentang segaris benang merah: itu kau, masih kau.

::: 003 :::

aku ingin bersamamu, di bawah matahari, selekat cahaya dan rasa niscaya. aku ingin bersamamu, meneruskan garis darah. sepanjang waktu, selalu menyatu. aku ingin bersamamu, membuat denah, menempati rumah candu. mengakhiri selisih dengan satu kalimat “… namun aku mencintaimu,”. :::

::: 004 :::

sebelum aku pejam, biarkan aku mengenang senandung burung [ber]duka, yang teriaknya dianggap kidung pemulang jiwa. mereka tak mendengarku, mereka membacaku sambil menari. di lelangit kamar, kabar hitam masih sering terbakar, gelap memelukmu erat, lepasnya setenang malam di alih fajar, lenyapkan diri demi matahari. semua kenangan hanyalah api penyepuh besi, mengikis kerak dan retak. menetak segala hitam, meretas kalam, senyaring iring tawa, sebening kerling sepasang mata itu. sejak mula, kata tidak pernah [ber]sajak namun tubuh jauh-sentuh selalu melarung kabar tentang debar, sepanjang debur laut yang menyaksikan gumpalan awan, indah yang selalu berpindah: kesepian. menebar hujan. sebelum kau pejam, aku bersaksi atas semesta yang berputar, sekeliling yang semakin mengasingkan-diri, tentang betapa indah segala yang menghilang saat kau datang. buatlah mimpi itu terjadi, meski jauh, meski nanti. aku masih meredam pejam itu, dengan nyanyi burung merah jiwa, berlutut mengiringmu. waktu tak pernah beku, tak pernah ragu, kau bersamaku. :::

::: 005 :::

kalau kotamu hujan, apakah kau melihat jemari menari di atas halaman ini? di sini pula, sepasang kembang, mengayun dahan, menebar rintik hujan, setia menjelang pagi. musim ataupun tak musim, hutan bernyanyi tentang hujan, hujan bernyanyi menyambut hujan. desah ibu bumi menari, merangkulnya. dua pecinta berdua dalam satu doa, satu waktu, tak peduli musim dan ruang merentang. angin pertemuan masih merayakan hujan. musim taman disemai, tak terpisah dari belai. dahan berkait, menjalar, mengakar menjadi kenangan itu. menenggelamkanku dalam basah, indah menyesah tanah. dalam dada segalanya tumbuh, dalam tidur segalanya sembuh. aku malam yang menjelangmu, di shubuh itu. tempat hujan menjadi ruang, menjadikan rindu berupa seseorang. kalau kotamu hujan, apakah kau melihat jemari menari di atas pantai ini? di sini pula, sepasang mata ingin menjadi kedua matamu. :::

::: 006 :::

tubuhku getar. tidak lagi bergerak dan berkehendak atas nalar, aku menari, dalam diam, seiring gunung yang berputar, menurut matahari berputar, merunut lidah yang lemah. tanpa kata aku melesap di segala faedah, pecah di alir darah, memasuki segala indah, merasuki gelisah. bibir menyebut nama. mimpi kehilangan pejam. rinduku seribu zaman, sudah patah segala jarum jam, angka penuh reka tak tersebut di debar dada saling-rebut. kau berpijar di kabar, kau basah di mataku, kau kering di lidahku. jadilah rahasiaku, bawa diriku serta sebagai rahasia, dalam pinta atas ronta. dalam lamun bertahun, kau-aku bertahan melagukan tarian ini. sampai beratus abad, kau-aku akan bertemu lagi, tak putus dari ritus perjamuan segala keturunan, dilagukan tetumbuhan dan hujan. menjadi mantera di antara bara, lenyapkan tabir dua bibir, terlarang berhenti. tiada lagi sakit dan menyakiti. tarikan tubuh berikut kidung dan rindu para penunggu, kekal menjaga warna, atas segala yang tertulis di langit bumi. sebab langit hanya kolong, atas rasa seperti ini. :::

::: 007 :::

bau sepadang kembang, memuai di tubuhmu. dahan mengayun, sahut daun mengalun. memanggil derap seribu kuda di dadamu, senafas debu peperangan sedang memanggil. tanah telah basah, ada genang gerimis dan tawa pecah. burung bersahut di atas dahan berlumut. beberapa ikan terangkat di cakarnya. orang-orang membasuh-diri di balik bebatuan, rumpun mengalunkan basah, rumput menyambut langkah. alam melagukan yang terindah, membawamu dalam gaun merah. daun akan berubah sebentar lagi, terkunyah menyatu sepanjang urat. kau aku bertemu, seperti indah yang tak pernah sudah. di seribu candi, dikitari sunyi bunyi, saat tembang sedang tenang, saat merah sedang kembang. :::

::: 008 :::

di halaman itu kau-aku berjumpa, jemari menyibak, lisan diam, kalam berwujud pikiran menyelam. ditemani matahari terbit merah, tenggelam di gelombang siang, pecah sudah anggan di tepian kenangan. baris-baris kalimat menderai gerimis mencekat, malam mengikis ranjang, bersama kopi dan hisap asap, aku di halaman itu. untukmu. kuberikan buku yang aku tulis sendiri, mengenang kelahiranmu. semoga kau tak selalu membacaku. lagi pula wajahku masih berparas batu. tempat hutan tanya menadah hujan duka, menuliskan jejak dan tanda menghindar sesat sesaat, dan seribu ungkapan tanpa lisan, hanya kepadamu. ini buku untukmu, tanda cintaku kepadamu. :::

::: 009 :::

purnama hampir berakhir, hujan menghapusnya. begitu saja. waktu beradu dengan janji, batu perhitungan di meja rapat telah setinggi jeruji. kau melihatku di tabir basah kedua mata, di deras kepungan percakapan, dan uap pembentuk cermin lapuk. [sa]dari nafas yang tak lagi lepas tanpa hadirmu. sinar bulan sirna. tiada bayang pepohonan yang berlari di luar kendaraan melaju. malam mencekat, aku pekat. malam larut, aku sengkarut. seribu lorong batu berputar mengurungku, dalam kuasa kata, tak kenal perhentian. membawa seribu syarat yang kau tuliskan di kedua telingaku. aku tak sampai pada kata, aku hanya mereda gigil tubuh yang memanggilmu. memintamu, menginginkanmu. di langit, bulan masih berputar, tak terlihat. batu itu mengitari bumi, menyatakan rindunya dengan perbuatan. sementara bulan telah menjadi angka, berulang sekarang dan nanti. sementara itu pula, kau masih bertarung menyelesaikan rumus dan pertidaksamaan. atas rasa dan waktu. :::

::: 010 :::

malam itu stasiun masih tanpa kereta api, hanya bau besi kemacetan dan halaman koran tak lelah menggelar kelakar dan pertemuan. gesek biola di antara tabuh gamelan. bocah-bocah kembali berebut menari, menembangkan jaranan. kartini menari di antara kain merah dan dupa. mantera menjelma puisi. aku melepas kertas dari jilid, menyalin lagi dalam gelap. di bawah bulan aku membacamu, getar dalam rasa tanpa ungkap. lantas kota sepi terhisap buku lukisan dalam kamar. duka tanpa larung, pertemuan tak lagi kata dan sunyi. pada siang, ombak pasang pecah di tepian. pantai hilang, tanpa bakau dan karang. kaki putih, batu putih. sepanjang jalan pulang, tangan mencerabut akar kembang. aku mengenalmu lagi dengan kota yang dibentuk dari stasiun kereta api dan puisi di bawah bulan. tentang wajahmu yang kian merah di bawah matahari, menceritakan seribu lukisan [di] tubuh, dan jalan yang memulangkan perasaan kembali ke sangkan paran. segala tentangmu adalah rahasia terindah, tiada sia segala resah: menunggu kau di semua waktu. :::

::: 011 :::

ada burung berseliweran di atas dahan. aku ingat kau! setiap mengingatmu, telapak dan wajah selalu tengadah. memanggil hujan, agar langit melebur diri[ku] dalam butir-butir alir kedua mata. semoga sampai [menja]di kembang penanda perjalanan yang kau tanam, dari panas yang merindukan hujan. di balik matahari manapun waktumu, kau tetap matahari itu. :::

::: 012 :::

segala khayal tak kubawa lagi sebagai bekal. pagi masih mengeja manjamu di segala jamuan. hatiku telah menjadi sepasang bibir. tak bisa diam. indah menyatu lidah, pecah di bentang senang. sungguh tiada lingkaran sempurna, selain bisik dalam peluk. menelisik segala bentuk, kekal mengenalmu. sejak laut pasang itu, sajak melahirkan lagi seribu pelapis, atas retak jantung yang masih berdetak. menutupi segala kegilaan yang menjadi akalku. mata memandang, bibir tercekat, pada reda yang terbenam dari segala diam. :::

::: 013 :::

aku tidak ingin mengingatmu hanya saat melihat laut dan burung. aku ingin laut dan burung mengingatmu, saat aku mengingatmu. semesta telah menjadi atom di tubuhku, dan semesta merasakanku. malam selalu berkorban untuk percakapan, seperti hitam melesap menjadi seribu warna di bibirmu. dari harum dan senyum itu, jadilah rindu memerahkan kelenjar. mengakar, mengejar, berputar, dari fajar hingga pijar. :::

::: 014 :::

aku lebih memilih letih, memusnahkan lelahmu. terserap tanpa tabir. kau-aku telah dijanjikan, akan melangsungkan segala muasal kejadian. sebab di cahaya, tak berwaktu. ada panas tanpa api, hangat bukan matahari. sedang kata masih dalam dada, hanya tuntas mengucap tiga kata. tepat, mencekat, saat bibir masih dalam bibir. :::

::: 015 :::

kau ceritakan [kepada] pelangi, aku hanya sampai panas matahari, dan hujan masih tak sampai di kelopak bunga, me-lain-kan mata sendiri. kau terbang ke langit, aku di gerbang terkunci, membenci nafas sendiri, sambil pelan-pelan mencabuti duri. jejakku menghapus jejakku. jejakku terhapus di jejakmu. kau menelan bunga menebarkan wangi tubuh, aku hanya berbantal rerumputan, mendengar berita dari tanah merah, kekal menyangkal sesal, atas waktu yang tak dianggap. terjadi. menyambung benang merah pembicaraan yang rantas, tak tuntas. kau rasakan senja seratus kota, aku hanya menebus haus, menyuling embun. kau kerumunan tawa, aku hanya suara angin di pepucuk sengsara. mengapa di setiap seteru, hidup begitu seru. kau-aku dalam pelukan, kedua pasang telinga hanya inginkan [se]luruh nafas, uapkan segala panas dari lidah pengerat kalimat. segala selalu berlalu dari masa lalu. aku basah, kau marah. aku denah, kau rumah. berpasang, berkalang padamu. sampai merah, tak pernah sudah.

::: 016 :::

matahari pergi, tak membawa serta elegi. nocturno. alam wirid tanpa bait. mimpiku tanpa batas, simulakra. menumpas maya. pengetahuanku sudah hilang-tubuh. nafasku sepi. malamku tak merupa sapa. derasku tanpa dupa. langitku hampa. darah meronta, perih meyapih rindu. setiap seru, perangku selalu di atas tanahmu. sesak semakin merebak di ragaku. sedang kau tak menyimak gerimis yang turun pelan dalam mimpiku. sedang apa kau di sana?

::: 017 :::

angin yang telah lama kau anggap menghilang, hanya berputar di kembara waktu. dia telah kembali dari memecah ombak, menggiring awan, menyerbuk bunga. dan sesekali membuat orang-orang berjalan dengan kaki telanjang di pantai, dengan rambut tergerai. dia mencapai jalan jauh,, lantas kembali. saat tetumbuhan halus telah kembali menjadi hutan perawan. bunga tersibak, belukar terkuak. berpasang-pasang burung burung sedang bersentuhan di dahan. bulunya basah, di sore indah. keduanya masih mandi cahaya. cahaya yang hanya dicapai pada ketinggian, cahaya yang membiarkan remang hanya milik ranah tak-tersentuh. tanah cokelat yang masih utuh. angin itu turun membumi, menyentuh bunga di antara rerumputan. angin itu menyentuh semuanya. embun yang belum turun, dingin disentuhnya. kelopak yang separuh katup, seperti memeluk tubuhnya sendiri. angin itu membuat semua yang disentuh, menjadi tubuh. merindukan-diri, merebahkan diri. tubuh itu, rindu itu. satu, tak terkatakan lagi. satu dari berpasang-pasang burung itu berkata kepada pasangannya, “rebahlah di rerumputan itu, kekasihku. aku burung, kau burung. aku ingin menatapmu berlarian di tanah itu, di pasang pantai itu. aku selalu menatapmu, memandangmu.” jadikan bunga yang jatuh itu, alas wangi bagi sekujur bulu lembutmu. dia tak helai, kau helai sepenuhnya. bebaskan tubuhmu dari segala peradatan di depanku, kekasihmu. kedua pandangku adalah sepasang tangan yang membentang. tangan yang merampas, sekaligus memberikan. bibir itu yang meminta, bibir itu memberikan dirinya pula. bibir itu menyerah sekaligus merampas. membuatku sendiri, membuatmu sendiri. pejam dan menatap. tenggelam dan mencapai. kau-aku, tak sendiri di rindu ini. menganggap sekitar berhenti, waktu berhenti. hanya peluk ini yang membuat segalanya berganti. saat kau-aku bertemu, semesta melakukan pertemuan dengan waktu. :::

::: 018 :::

sekujur tubuhku telah kering ditumpu seribu lampu. aku tidak [ber]kuasa atas tubuh rubuh di pintu shubuh, atas inginku meretas dinginku padamu. rumah sudah berubah, halaman penuh bunga kesepian. tidak ada spontanitas, hanya rutinitas, menunggu, menghilang dari ganggu, melawan ragu. maukah kau pindah bersamaku di kehidupan sebelah? sepertinya hidup di sini terlalu sering diulang dengan peluang sama: salah dan kalah! :::

::: 019 :::

selepas hempas itu, ada deras bayang melanglang di sekian tekan. sadar tak lagi jantung berdetak. hanya getar dan isak menetak rasa. nafas merayap, bunga-bunga mengakar di tangan, menderu ucap ke tepian. kau angin pengusik gelombang, perahu yang memuat tujuh laut. kau-aku guncang berkait, datang menangkap genggam, pelan berlarian memburu di puncak tak terlacak. hanya kau aku, menetapkan laku, menghilang di lebur bayang. memutar semesta di gulir butir embun tubuh. erang tertutup degup setengah rubuh. seribu mantera yang tertulis di atas daun, mengalun berlagu gagu, merayakan pertemuan ini. kau telah membelah gelapku jadi desah. kau meraih setengah diriku yang terbenam sebelah. raung telah urung, beralih jadi senandung. ada lelap menyambut segelap [se]malam. besok aku harap, khayal tak lagi kekal. hanya kau dan aku yang me-rasa. sampai jauh kepagian, bayangmu [masih] membentuk jejak shubuh di tubuh. :::

::: 020 :::

aku tak bisa memecah tawa[mu] saat kudengar tawamu. pahit lidahku, tak rasakan senyummu. tanganku lelah mengetuk pintu, melepas seribu pakaian mencarimu. aku telah membelah-diri, menjadi seribu, mengepung pintumu, berputar, berkisar, di jagatku sendiri. aku terus melawan diriku, menyerah tak hanya sebelah. aku tersesat di tujuanku sendiri. kau tanam di tanah manapun di tubuhku, bunga-bunga itu tetap bercerita, tentang hangatnya genggaman tanganmu. di mana kini? di mana se-karang batu yang dihempas ombak pasang itu? tempatku melihatmu, berkejaran dengan waktumu. :::

::: 021 :::

bulan belum separuh. dedaunan mengiring debar. angin menghanyut, bunga-bunga berdenyut. mengepak segala pikir, di suara, saling sahut. di suaramu aku meluruh. dekatkan segala jauh, menahan tawamu. malam jauh dari [masa] silam. bulan berlari di awan pembicaraan. sepi terjadi begitu saja, mengeja[r] beban rindu yang mengakar. apakah api masih membakar tubuhmu? apakah rencana masih tanpa kabar? aku rindu kau. :::

::: 022 :::

ada yang harus berlanjut. penuh arus dan maut. menuju bahagia. ada pertemanan ataupun tanpa. hidup. itulah yang terjadi sekarang. pintu tertutup. bibir terkatup. sang waktu sedang sibuk melayani orang-orang. tidak ada jawaban. langit hitam. nasib api sedang terpendam dalam sekam. malam sedang terkulai, sang waktu mencabuti tindik di punggungnya. hanya sebelah sayap. membentuk senyap. biarlah angin membuka halamanmu, membacakan s[i]apamu. siang bernafas panas. ada rindu yang tak lepas, rana dan asa tanpa cahaya, mengumpulkan imajiku, menuliskan sepi. namun kata, mengubah sepi menjadi pasar. kau terbebas dari amsal dan ibarat. itu sebabnya kau tak tergantikan di nafas, puisi, dan nyanyiku. dari perjumpaan dan insomnia, lahirlah rasa ini. :::

::: 023 :::

aku merindukanmu, mendahului maut yang mengintai tubuh di jubah waktu, tanpa bunga dan kejutan yang memendam tanah meratap merah. bukankah waktu selalu berikan seribu pintu, cepat mengantarmu ke seribu dunia, menemukan “aku” yang bayang, nyaris habis dikikis cakar-cakar pengais. aku merindukanmu, melawan ingatan terlupakan, membalas giris tangis perempuan dengan garis lingkar dari mata tombak, sebelum kutinggalkan berburu. aku merindukanmu, mendahului ombak senafas lautan pasang yang melembabkan butir pasir waktu. tempat bintang begitu lapang dipandang, pada sepasang mata yang merindukan matahari tenggelam dan doa pengiring hujan, membebaskan semua mahluk dari-ku tuk sapa yang terendam malam. aku merindukanmu, bersama doa bagi mereka yang melupakan dan berputus asa di tengah jalan. aku merindukanmu, mendahului seribu raut pengganggu dari masa lalu dan rencana ke sekian. aku merindukanmu, tertidur dalam lelah, menunda pesan dan sapamu kepadaku, serta peta keseharian yang tak pernah aku genggam. sebab antara kau dalam rasaku, dan kau dalam nyatamu, selalu berjarak seribu musim. aku merindukanmu untuk melebur jarak antara keduanya.

::: 024 :::

aku bosan pada tuturan yang mengiring air mata bercucuran, sebab aku tak lelah membelah hutan: mencari kesembuhan. dari perasaan dan kesakitan. yang lebih berharga dari pengertian, dan pertemanan. tak lelah kutanam bunga di taman, yang mendatangkan hujan, namun hujan selalu meminta hujan. dari kedua mata. mengiring ronta dan pinta, pada sakit yang melangit. bersama, menghitam[kan] cakrawala. aku bosan pada tulisan semua orang. yang sering berhenti pada makian tentang perut dan makan, bayi-bayi yang gagal dilahirkan, kanak-kanak yang diajarkan melagukan dendam, tentang laut bergolak, tentang bencana berkepanjangan tak terselesaikan. sementara, sekitar penuh perbincangan menyala[k] dan api pengetahuan. aku bosan melawan segala lupa atas perjanjian sederhana. tentang tuah tanah, di mana kau-aku berdiri berpegangan, berjanji pada ibu bumi di depan lautan. aku bosan melagukan bosan, menertawakan kejadian di tepian berita. melihat pertarungan asap transparan di lapis dunia tak-terlihat, yang dikirimkan kepulan kabut, mengepung orang-orang dengan batu masa lalu. serta tulisan-tulisan langit tentang masa depan. aku bosan dengan peradatan daratan, aku sedang menjemput lautan, namun lautan telah menyapih laraku: kau akan datang. sedang apa kau, sayang? hutan ataukah lautan sekarang yang sedang membuatmu menghilang?

::: 025 :::

jika aku mendengarkan suaramu, rembulan menjadi tamu di atas rumahku. mendung melarung embun sebagai alun. mengiring da[u]n mengikis segala tangis. hati lelah, wajah lelah, bumi terbelah, kau-aku di hutan pengasingan. kau-aku menyisih, masih saling-dengar. jika aku mendengarkan suaramu, tak ada yang merasuk ke dalam ragaku selain seluruhmu. beratus wajah hanya rebah, beratus bayang hanya bayang, luruh menyentuh. jika aku mendengarkan suaramu, bersama tanya dan desir, perjalanan menuju diri kembali diawali, dari suara, dari mendengar. membelah segala yang sederhana, aku tak lagi sebelah-diri. jika aku mendengar suaramu, aku merasakan lagi. bahkan kedua telinga masing-masing, ingin berpasang, dari pagi sampai petang. :::

::: 026 :::

wajahmu telah seribu. merubah arah, menjadi penjuru. kau bawa hutan dan embun di lehermu. menceritakan kisah hujan, membawa pesan tentang tubuh yang setengah tertanam, bergerak dalam lipatan baju dan hangat pelukan cahaya matahari. kerudung mendung telah mengurung sedihmu pada waktu. kecewamu pada hawa sepi dalam riuh bahasa. susunlah lagi batu rahasia, penanda tempat bertemu segala kejujuran: bahwa tubuh layak menari, telapak merah berlari dikejar pasang, dan marah adalah jalan pembuka bagi kekasih. menyelam malam, meredam dendam. pagi ini, pelangi selalu ingin kau memandangnya, bersama awan yang ingin menaungi jalanmu. sayap telah menguraikan terbangmu. jauh ke arah mimpi. malam ini, kau seorang perempuan. :::

::: 027 :::

aku telah merubah wujudku, tak-tenang dalam sepi. menukar tidurku, hilang menjadi sayap sepasang. terbang[un]. meninggalkan mimpi dan seribu bunga. mencari taman bagi semua teman. agar sampai padamu. :::

::: 028 :::

lantas aku dibangunkan bisik [d]alam gelap. bayanganku di cermin, bergidik menatapku. aku sedang memasuki cermin itu, mengalahkan [sen]diriku, menyiapkan kedatanganmu. kau-aku akan memasuki seribu dunia, melaluinya. melampaui cerita tentang masa lampau dan kota cahaya. cermin itu ada di jantungku. apakah kau melihat wajah cantik itu tersenyum? itu pasti kau.

::: 029 :::

seratus rencana bulan, sedang berjalan melingkari hari. mengingkari tubuh haus, bersarang dalam musim penuh ritus. menjalankan waktu, menjadi satu macam: sekarang. bunga dan gambar penuh riwayat orang-orang. api masakan dalam rumah, kelakar yang kau kabarkan dengan tawa. melawat segala sedih yang bernyanyi dalam pejam. serta bencana yang tak tersusun di koran-koran, kian rapat, tak pernah sekian. namun pagi memiliki tidurnya sendiri, matahari [yang] selalu sendiri. air bergulir di tubuh pagimu. membawa matahari itu di wajahmu, mengedarkan jalan hidup. bunga-bunga kembali menemukan jejak, melacak lagi pelukan di ujung selisih. pada serap dan hisap, seluruh ruh telah luruh setiap nafas lepas. matahari bias, tertinggal di tubuhmu. mengiring debar yang kau kabarkan dengan sabar kepadaku. tentang malam selalu memendam senyummu sendiri. senyummu, yang tak sendiri. tentang siang yang membuat semua orang bersarang. tentang tidur yang hanya tertidur, di peluk-waktu. menyibak batu di batas-batas kota. ada mantera yang tak pernah jera menunggu, yang membuatmu tak pernah takluk, kembali sekian musim lagi. menjadi perempuan, menjadi tubuh yang tak pernah rubuh melewati tujuh shubuh.

::: 030 :::

sinar bulan menghapus bayangnya sendiri. mega tak berarak, bulan menyibak dahan, bersebelahan dengan rinduku. bunga-bunga terbuka dari kelopak, menghadirkan detak dada. melodi membelah udara beku. tanpamu, tiada ‘aku’. beratus letusan dan bayangan berkejaran, di antara kerja dan jejaring pengirim pesan. betapa rindu terjadi tanpa kiasan, membentuk lukisan perempuan. yang melekatkan sayang sedekat bayang. gelombang [d]ingin diayun remang. angin mengarak mega, mengeja[r] lingkar bulan. langit berdenyut. rindu tak tenang, saat suaramu sedekat badan dan bayang. terpejam merasakan malam yang berebutan menguraikan rambutmu. tujuh warna pecah menjelma lengkung pelangi. tangga tujuh bidadari yang cemburu pada mantera ini. :::

::: 031 :::

bayang-bayang tanpa bintang merasi di antara rambutmu. bulan dan setitik bintang dalam mimpi, mengundang bayang-bayang melayang, turun dialun gamelan kahyangan: melenyapkan rupa. melepas rana. harum udara masih berbau dupa, hanya cahaya, melepas segala dari raga. aku getar di ruang lapang. tanpa batas. aku wajah telanjang, kekasih arah, pewaktu rasa. rahim hanya membuatku bersaksi, memuji. tak meminta ingatanku sendiri. ratusan tahun kau-aku telah bertemu, mineral yang tertelan, terulang di pertemuan kau-aku. menjadi wujud yang berlapis suka dan duka. hingga setiap memandangmu, aku kembali lahir, menjadi pikir, menjadi rasa, menjadi aku. merindukan diri yang ingin selalu menemukanmu. :::

::: 032 :::

semua sudut ruang, berporos sepi. raung berasap menutup remang. rintih dada tersapih di hitam kopi. musik meratap, meraup arah-datang. di pusat sepi, hanya api pekerjaan menumpuk, melawan kantuk. jam berputar, kelam beredar. membentuk imaji perempuan yang ingin tertidur. semua bayang juga telah tertidur, sajak tak meruang, detak tak meraung. waktu tak mengantar sapa sebentar saja. bulan sabit menggurat langit. rindu bertarung sengit, melawan arah dan lelah. terurai sepanjang urat. sampai derit pintu menerimaku, melepas simpul senyum dan fajar cerah. gerimis yang kau dengar, itu debarku. langit tanpa kabar, menjagaku. sedang aku ceritakan lagi duaratus imaji yang menguraikan rindumu. malam ini, ada pesta tanpa kehadiran. ronta mimpi sedang terjadi di buka-mata. tanpa suara. setelahnya salam, diam, dan pejam. aku mencintaimu, tanpa buai mata, tanpa [se]pengetahuan orang-orang. :::

::: 033 :::

tersimpan derak dahan dan wangi kembang dalam bisikmu. para peri mengantar tangis langit dan tanah membuka bibirnya. hilanglah bara bening di mata, tinggal bau tanah dan mega mengusung remang. jalan masih ditimpa jejak tapak sepanjang haru semua pulang. mereka yang datang dengan kebaikan, ingin [ber]pulang dalam kebaikan. mencari teduh, menghindari gaduh. titian disapu gerimis tipis, pelangi di cakrawala dan tiga burung senja berkejaran di atas kepala. liku malam yang kau temui, hanya semak [mem]bagi dedaunan yang berkorban demi kupu-kupu dan wewangi pepohonan. menjelma cerita-cerita perjalanan, tentang dingin yang kehilangan musim. begitulah hujan dan matahari, membentuk taman medan pertemuan seribu cahaya dan alir bumi dalam wewangi bunga. setiap mengingatmu, taman itu terjadi. setiap kau pergi, ingatan itu terjadi. :::

Day Milovich,,