Day Milovich,, Persalinan Dada [Kumpulan Puisi #1 Day Milovich], (c) 2002

::: 001 :::

aku sudah kepalang bosan dengan gerombolan pemangsa penghargaan, pemburu bacaan, peradatan sekolahan, dan segala perundingan yang merayakan lampiranlampiran cangkeman. aku telah lama menantikanmu pingsan di halamanrumah, menyisir senyuman tanpa sangkan paran. memerintah mesin, mencipta lanskap, dipeluk huruf-huruf menarikan pesan. jauh sebelum kauhafal lafal gagal. manakah katakata yang kautata dengan tertib senjata? dada.

::: 002 :::

embun membilas rimbun berbelasbelas mawar liar terbungkus merah darah. mentahfidzkan kecantikanmu. rindu telah melenyapkan diri, menjadi berupa-rupa cinta. untuk apa kukirimkan lagi bunga, kalau engkau segala bunga?

::: 003 :::

berita adalah teror yang akan melarikanmu pada mangsa duka. batang-batang tumbang ditimbang uang. sampai gundul mengepul. da[e]rah merah menyalak, demonstran menjaga republik, cemas-gemas. channel lain mengabarkan pembalut, air murni yang selalu dinamai, dan bintang-bintang yang dikuliti dengan kamera. pasar penuh metamorfosis gairah. ribuan rencong dikabarkan, esoknya, menjelma ganja kering yang dibakar tanpa kapar. semua mulut digandakan pamflet dan koran, menata marka peradaban kota. cacahan tubuh direproduksi, kelaparan setinggi satelit, segala media menjadi museum aktual, rentetan peristiwa alibi sebab. kepalaku bungkam dalam buntalan bendabenda mati: keluarga sereal, festival, kuis, nasionalisme, liga italia, dan agama! aku menonton aku sedang menonton diri sendiri. ketika tubuh lelah bercinta, akan kususun perancah dari bebukuan beku, sebagai jalan bunuh-diri setiap orang. [tj291299]

::: 004 :::

jamjamku hanya kenal perempatan, paruh, dan penuh. tak butuh bayangan matahari lagi. semua yang kita satroni penuh barang jejadian yang mengepung manusia setengah jadi dengan perintah: “awas, pecah: ganti!” bulan kehilangan permainan kanakkanak. legenda habis di kota ini, setelah saban perkantoran membuka jendela siang malam, memangsa kertaskertas, tinta penandaan, peta petaka, disatroni teman kencan. angan menjelma morpheus datang saban kapan, sisiphus sepanjang siang. engkau mengutip rapat tubuhku yang mengumpat: saat memang laknat!

::: 005 :::

malam, aku ingin meringkus mesin itu sebelum mengeringkan tubuhmu dengan balsam. pagi, mengeluarkanmu dari kamar mandi pesing. siang, bertualang seperti tahuntahun lalu. sore. semua kertas dan tontonan yang kita buru sedang melafalkan doa sebelum makan. kita telah mati sebelum senang menyerahkan diri pada batu. [akankah] bertemu lagi di tempat mayatmayat dikeringkan, telanjang dada, meramal interogasi malaikat mencocokkannya dengan situs yang pernah kita lewati: apa kabar?

::: 006 :::

mahasiswa takut pulang kampung! balas dendam pada keadaan takkan terbalas[, kan?] dengan buku, berwindu rindu takkan tuntas dengan catatan kaki. nasi terlanjur manjur menyantet orang jadi pengungsi pribumi yang ingin membunuh masa lalu. dengan buku. semoga setiap kabarku mengusung “maaf”, sekalipun tanpa presensi tujuhpuluhlima persen.

::: 007 :::

kubungkam rindu dengan larung kidung, jadi derita. sepanjang kota dan garang kata cinta, lanskap tubuhmu menyergap dengan dekap seribu ibu. kucampakkan segala yang menggeret tubuhku menuju belukar informasi gegar. saat ini. kubawakan apel merah pasar untukmu, agar kaurasakan jarak. dan gravitasi.

::: 008 :::

musik selalu menghafal kehadiranmu serupa gerimis meniadakan diri demi matahari, menjadi pelangi yang pasti pergi, seperti semua pertikaian. kelakpun rindu hanya selesai disampaikan. cinta hanya selesai diderita. gelakpun takkan mendustakan penderitaan. cibir getir jadi kelir hidup.

::: 009 :::

“philosophy is fuck!”

::: 010 :::

aku diundang dalam percakapan penuh jabatan, bualan, dan tanda tangan. faust mengajakku melego jiwa demi minuman [iblis] pengetahuan. lantas kulihat kalian bermain monolog, sebagai teman, selama itu pula, soul asylum berputar di telingaku, “siapa yang percaya lidah kalau bukan telinga?” orangorang funky mengepung makanan, menceritakan jadwal dan uang, satusatu keluar, dari “rumah nirvana”, jamrud keluar dari mulut mereka. ruang-ruang kelembagaan terkunci, jadi tanggal yang satusatu tanggal, dibawa ke kepulauan percakapan. “kampus [memang] sudah habis!”. skripsi dengan deskripsi reproduksi, melunasi merah marah pembimbing, biru tubuh jilidan, hijau tubuh kekasih, dan penulisan belepotan. di samping tubuh yang kaupenggalpenggal penuh parodi pop, catatan kakimu tak pernah membaca sendiri keadaan. malam ini engkau tidak mau nonton televisi karena engkau harus menyunting skripsi, dengan mental pengantin kawin-paksa. sambil terus melingkari kalender wisuda. esoknya, ketika kuketuk kamarmu, sudah kautuliskan pesan: ” aku tidak mau kencan ini melibatkan filsafat. atau cerita tentang orang lain. aku tidak punya hobi.” [kudengar kabar, engkau sedang presentasi].

::: 011 :::

hari ini kudengar orangorang membacakan puisi, menghunus gemilang bayangbayang dunia jadi gerayang otak jalang, dan memperkosa biografi wanita jadi apa saja. sore ini kulihat orangorang berdiskusi, mengutuk keadaan brengsek, menginterogasi politikus yang ngangkang tanpa permisi, menjejal akal bebal, ngayal saban jengkal tanpa ayal! tetapi engkau tidak bersamaku, memecah soraksorak itu. rindu telah nisbi sepanjang arteri, sebab aku telah menangkarmu dalam jantung. tidurku hanya jadi sayatsayat, mayat, menyayat. seperti tebusan nasib yang tidak lelah merayu, kutinggalkan Ctrl+Zku, artikel, kode virus, dan segala macam kiri.

::: 012 :::

kantuk menumpuk jadi kapuk! radio menyanyikan iklan bersama. tetapi orangorang dalam kendaraan sama, memilih bungkam mengasingkan sesama. pemandangan sudah terlanjur basah, mengukur waktu, menjemput arah matahari. takdir adalah peta kota yang berubah jadi konstanta perjalanan, bukannya rute satu arah yang terkutuk macet! pemandangan sudah basah, jalanan ditembaki derai hujan, setiap perambah jalan menjadi amfibi. anakanak berenang di hitam polder banjir depan stasiun itu. mobil masih berkeliling tanpa berita dan fiksi yang dikerjakan dengan telepon. aku sudah punya handuk kering, sepulangku nanti, mari mandi berdua. mischief. mayhem. soap. aku ingin bertemu denganmu: menanak nasi, mencuci baju, minum es, menonton televisi, bertiga.

::: 013 :::

telingaku “tak menancap”, mengundang nirvana berteriak, “gadisku, kamu tidur di mana, semalam?”. selesai mandi kukenakan bau tubuh yang sembuh dari peluh. dengan gairah hawa kita gigit apel merah tanpa isian kata dan konvensi bahasa. setelah percumbuan itu, kau berjanji akan bertamu lagi, sebab “belajar yang tercepat adalah mempertemukan lidah dengan lidah”. aku hanya ditemani hantu eropa yang kujaring sepanjang siang. esoknya, orangorang memaksaku bersepatu dan mengenakan baju untuk berbicara di bawah spanduk. kulihat engkau di antara kerumunan itu, tak pernah bertanya dengan tangan, cuma menerangkan dengan mata.

::: 014 :::

“ciptakanlah monster yang sama buruknya, sebagai pasanganku. kami akan lari dari hunian manusia. berdua.” [monster kepada victor dalam novel “frankenstein”]. aku adalah iblis korban cintanya sendiri, atau manusia korban kesadarannya sendiri, atau binatang korban instingnya sendiri. marahmu menghentikan mabukku. mulai sekarang, berjanjilah untuk tidak akan berjanji lagi. sebab persoalan bukanlah game yang diprogram dari masa lalu, yang harus diselesaikan level demi level. percintaan kita tidak perlu kode curang sama sekali.

::: 015 :::

berita tak pernah meminta ampun kepada siapapun. korankoran menebang pohon, majalahmajalah menjajarkan duka, kertas bergulingguling, lantas bergegas nyasar di pasar bersama gambargambar yang tak pernah sabar menggelar kelakar dan hingar bingar makar politikus brutus, atau bintang terbang. berita tak pernah memproduksi nikotin dan kafein kepada para pembacanya. berita tak pernah mengumpat pada dirinya sendiri. berita tak pernah bercerita tentang siapa saja, kapan saja, apa saja. berita hanya bergulunggulung, meraung, menghabisi pasangannya sendiri, menyebut, dan mengejar nama.

::: 016 :::

penghabisanku manis, aku tak akan mengenang pertamaku lagi. kenangan cuma kendara penyesal bebal, ganjal kekal segala gagal. jangan lantik hidupmu jadi game yang menghajar pikiranku: menggiring dengan denting, menghitung bom yang tersisa, dan sepanjang waktu menghindar dari batu; makan tidak pernah selesai, mati berkalikali, kalah memapasi rasa bersalah. malamnya, insomnia menertawakanku, mencintai laut camus. “penyakit terbesar manusia adalah kesadaran” sartre mengurungku, sampai “tak ada jalan keluar”. ideologi senyap, eksistensi lenyap. penghabisanku adalah pisau dan tar yang kauminta-siang tadi. saat kulihat wujudmu, ingin kumangsa hatimu.

::: 017 :::

“tubuhku adalah cyberspace. kabel modem tidak bisa menyalurkan ciuman, atau membuatkan kopi untukmu. dia hanya bisa bercanda dan mengirimkan lampiran.” panca indera menjadijadi, menjelma api. aku duduk memeluk, melambai warna malam rambutmu, memapasi mata berkacakaca ratna, menjadi api. membunuh tubuh lelah. hidup serupa kelewang mencari leher jenjang, melepaskan pertemanan, menyunting perempuan, mengajaknya jalanjalan, dari subtil matahari sampai penerangan jalan membunuh bulan. pikiranku tanpa ramalan cuaca. bibirmu mengulum kalam, menjarakkan dendam, ribuan bit terkirim dengan tangan yang menerangkan rasarasa dan rahasia, tanpa panjang runding. “aku kehausan, berikan air pada tubuhmu,” katamu. yang menuang mabuk sekalian, memutar rasa kota, melempar, menjalar sepanjang kamar, membenci segala kain, marka peradatan, busa tertib bahasa, tergelingsir, rapat, menjadi tilam jamjam, berikutnya. engkau pendebar yang gigih, berbahasa tiada henti, mabuk ciuman tanpa pening dan siuman, mengerat tubuhku jadi beribu tubuh, mengeja dengan tangan, merambah lidah yang terus mentah, menahan saban cawan, meminta segala beban terhapuskan. khalwat ini, kekasihku, membuatku hanya melihat aku. wujud lain telah batal, sejak engkau menciumku. seperti menuntut laut haqqi, tanpa pernah kafi. engkau benarbenar mengerti malam. “jangan kautakut,” katamu. cinta menghapus jarak sekian laut dan hidup absurd. cinta telah menyampaikan akhirat, membuat badan berdua tetap erat.

::: 018 :::

“aku tidak tahu, mengapa lelaki selalu menjadi bagian paling brengsek dalam hidup wanita,” katamu

::: 019 :::

di depan komputer ini kuterima “suratcinta” yang merenggut default pada pola “normal” yang selalu dikerjakan untuk menyalin dan memerintah. aku pembaca besar. “aku benci bukubuku atom!” sebab pesan akan kehilangan tarian, bahkan cetakan selalu kejam membabat hutan, menjajarkan kematian pohonpohon penghujan, dan merapatkan angkutan sepanjang kota kata yang lenyap ditiduri koran dan perkantoran. apalagi derrida yang kupesan tak pernah kaubawakan. bukubukumu hanya menuliskan huruf dan angka dengan kemesraan lamban. alfabet habis. gerimis tiris. bersama tanahtanah kikis. aku belajar pada bencana dan kilat yang tidak memiliki rencana dengan kecepatannya. aku menyukai cahaya dan mata yang tidak memiliki rencana. aku menyukai cahaya dan mata yang tidak pedulikan rencananya. layarlayar jadi secair lautan, dansi spasi dansa warna, animasi paranoia, silangsilang membuat jendela melayanglayang, menangkap citra, menciptakan lanskap suara. aku hanya membaca mata sendiri sepanjang hari. waktu gusar memusar mutar jadi gasing pasir. menjaring di ranah mimpi semiotik. tanah lenyap, tangan lenyap, mata tak lagi percaya karena angka hanya ada nol dan satu.

::: 020 :::

waktu nolnol sejam telah lewat. air bah menebah perutmu dari deras hujan pedang dan kelebat malaikat. datang bak berita kawat sepanjang gerilya. pagi masih rembulan berdandan. bunga masih berupa tabur. shubuh masih bersuara sêrak sérak koma. perut masih urut. dhuhur erang guntur menyesak. tetapi bunga masih berupa tabur. perut masih urut. kapas kian bosan menyalin warna tubuhmu-dengan rahim menjadijadi. api turut mengabarkan shinta, yang akan membakar diri dan rencana bencana yang tak pernah kuasa menentukan ajalnya sendiri. jendela payah. pintu lelah. tubuh rebah. langkah nafas ngebut. semua nyebut. pasang lautku menyebal hutanhutanmu. doadoa ditangguhkan. mantra terus berhitungan. jarum. jam. harapan. menggiring bilangan pelukan. engkau berteriak, “ya, dunia! sebatas inikah cintamu padaku? ya, tuhan,… berbuatlah semaumu!” maghrib tidak pernah puas dengan pujian kanakkanak. air mataku mengalir di kelopakmu. bisikku terulang oleh mulutmu. dadaku terserap isakmu. memangkatkan segala dengan nolnol. singgahlah semua lelah pada kata. singa nietzsche menjelma bayi. tangis tuntas. lunas. tinggal girah basah darah, dua jahitan, dua perempuan, dan suasana menyelesaikan persalinan. pupus dipapras. sisa isi perut tertanam di balik pintu. adzan dan iqamat membuka gendang telinga perempuan itu. dan orangorang yang berbahagia menamai bagian tubuhmu. “‘ma, aku mencintai seorang perempuan lagi.”

::: 021 :::

aku pernah menulis di tembok itu, “rindu untuk disampaikan, cinta untuk diderita.” sekalipun pengalaman tidak dapat diulang, aku akan menuliskannya lagi sebelum nyenyak tidur menginjakinjak rencana. tidurlah dalam rangkulanku, mari terbangun mabuk-melautkan cinta. venus pagi menyisihkan bulan yang belum hilang benar-dari atas batu kali ini. kota telah melemparkanku pada abad akal. bukankah kita pernah melompatlompat di atas pencemaran itu? kita lupa desah, berciuman dalam terang-kitapun berjanji untuk saling memangsa sihir dalam tubuh, dari ribuan ciuman. bersama-bulan mencium bintangbintang. cahaya gerakan rendahmu menyinari setiap penciptaan, tanpa nafas penyangkalan. kita terus percaya: cinta takkan menuakan kita. tabuh orangorang mengangkat cucian masih mengatupkan mulutku dengan bibirmu, tanpa kata pesta dan gelisah, sebab gairah yang sangsi hanya membuat kita mati menua. kita melompat lagi, melampaui abad dan adat. di atas batubatu itu, mengacaukan burungburung, merenangi persawahan kita sendiri. setinggi dada

::: 022 :::

suratmu meringkas “bagaimana kabarmu” dengan “nanti”, mengenangkan kelak tanpa menyalak. kutunggu rinduku menahun, tanpa rencana bertemu, sebab rindu tak pernah kusengaja. sebelum tidur nanti, akan kubacakan “tembok” untukmu: orangorang digilas tank, untuk menghemat peluru. (“tetapi itu tidak menghemat bensin”) lantas gerimis meringkas tubuhmu jadi nyenyak. nyamuk melantai, berdansa: pesta darah. akan kucium engkau sepanjang terjaga, sebab, cinta bukan penyakit mematikan! nanti kita akan pulang, bersama. tanpa botol infus.

::: 023 :::

kota masih amnesia. sejak pantai dan sungai selalu melimpahkan beban, menenggelamkan sejarahnya-menjadi keratan daratan dan gedunggedung meranggas dipapras usia. seperti kiloan besi bekas di barito atau batu bata yang dipajang bebas di simpang lima. kota mengejankan bencana yang terlewat dari buku harianmu dan ingatanmu tentang rindu: tentang tanahtanah amblas menahan beban urban, asap menghisap oksigen, tubuhtubuh menelan timbal, kota atas-kota bawah-hidup sendirisendiri penuh ngeri. jika kau tetap rindu padaku-kembalilah ke kotaku, mari: membunuh bencana. bukankah “raut kita sama, laut kita sama, maut kita sama.”

::: 024 :::

kuirisiris jejariku, sekarat menamatkan kelebat bayangan-mu: merapat mengepung inderaku. berbaitbait iba menjerit menjulangkan kebencianku pada bangku yang sudah menjelma kutu buku. tangan bersalaman luka, tubuh bersetubuh lunta, mata pesta pinta, telinga nganga menunggu bertemu, lidah mengecap senyap. matahari tenggelam di maghrib, menebar teluh dingin-sampai belukar dan dedaunan beralih jadi perapian: kelakar percakapan. orang-orang berkalang dalam keramahan remeh, terbenam dalam lutut persahabatan. camus mendatangiku sebagai pemberontak: ~tidak ada kemungkinan keselamatan bagi orang yang merasakan cinta sejati…. kita sampai kepada setiap orang atau tidak sampai kepada siapa-siapa.~ selanjutnya, kita menyebal dari lingkaran, diskusi hanyalah kursi malas para pendengar yang hingar kabar bingar, yang rajin menebak dan menyiksa diri dengan lecutan. kulumlah lidahku selagi kalamku menyangkal kekalnya halhal yang tak masukakal. kuceritakan ~katakata~ sartre, lantas kita tidur di balik kalimatkalimat laknat ~metamorfosis~ kafka, ini kenyataan ataukah khayalan….

::: 025 :::

aku pulang. sepanjang lelah melanglang. terbayang tubuhku sendiri penuh airmata bercampur pusar angin puting. gigit dan sulit yang terus dikempit di balik derit pintu itu. semalam[an]. lengan kita senantiasa pamit demi menghimpit dada. masing-masing berpusing menyengaja kelit berkali-kali menjajal rengek dan sakit. kita adalah bayi-bayi yang terus menetek brengsek dada kehidupan. cuma menyisakan rengek pulang. aku pulang. akan kumuntahkan perasaan yang rentan kekesalan: cuma pangkuanmu yang akan jadi peraduan pengaduan, papan pendaratan seribu pengakuan–tentang centang perenang persoalan yang kuselesaikan. cuma kusampaikan. percuma. kusesalkan. tak usah kautawari aku makan permasalahan membosankan. makanlah tubuhku kalau kau lapar-selalu kutawarkan tanpa sungkan. aku sudah enggan amuk pengetahuan. atau tukarkan beringas kelakuan hewanhewan jejadian ini kalau engkau mendambakan kesehatan. aku cuma mau pelukan yang mengantarku memindahkan segala jawaban dengan ciuman. mu. aku pulang. pintu yang masih tertutup itu, tolong kaubukakan. anakmu yang masih bermain, panggilkan. aku pulang. bukankah kita masih bisa bermesraan dengan bahasa perempuan?

::: 026 :::

senjakala beranjak, orang-orang merumpun segala watak berantak. gadisgadis dengan celak dari tangan bau dedak mendatangi alifbaktak sejak belum punya lagak. siang berpulang dari malak yang tanak, sekalipun kelelahan masih saja kelak. mereka terus menapak jejak waktu bak watak kanakkanak, penuh sorak, terus mengajimengaji. gagak menyalak. teriak dari hutan yang terus dibalak. berteriak: pohonpohon rebah diremah jadi cagak rumahrumah. truktruk persis keranda mengeduk sampai kerak botak. hantuhantu yang disusun dari guyur anggur dan nganggur bersekongkol menjadi perompak tanpa kapak. di kampung sendiri. membajak mimpi, menalak nasib dengan membabat. orang-orang menegakkan perancah kata: “sekarang banjir, sekarang air cemar ngalir, sekarang distorsi pasar kayu bulat domestik mencekik penuh pekik!, sekarang harus ada pemulihan, sekarang paru-paru kota kita tersedak, sekarang sampah kertas membludak.” sekarang jangan menangis, ataupun menunggu musim menolak masanya, ataupun menunggu anakanak hanya menyerapah galak. mumpung mereka mengaji selagi orangorang menggergaji tiang pancang untuk: bunuhdiri.

::: 027 :::

lentanglah di atas dadaku. lagi. lekaslah akas bersama tetas telur dan ruah susu sepanjang bibirmu. yang biasa melengking menggiring letus kenangan percintaan dari ribuan keadaan. biarpun dingin sampai jangat akan kupeluk hingga kabut larut dilecut selimut. kalau lemutlemut mengerubut, besok kita alirkan selokan, jangan membunuhnya dengan bau rokok agar dadamu tidak rontok dijolok pengap asap. bungabunga akan kita tanam. gadisku, membesarlah sebagai perempuan. jangan jadi lakilaki yang “mengada untuk mati” bersama nganga peristiwa.

::: 028 :::

“tidak ada penyaliban tanpa salib, brutus!” (julius caesar). assalâmu ‘alaika yâ akhî. dengan sejuta ruang kejar gelagat, kauburu angguk dan ringkuk. demi sangsi tradisi yang kautancapkan dengan barisan nisan kaumampatkan percakapan jadi tiang gantungan. demi gengsi diksi “kontradiksi”, demi selalu menjurus dengus “tidak becus!” kau mengais waktuku dengan nasehat tentang “bejat!”. demi percakapan setan yang mengakar, kau selalu menggelegar kasar. sajak caesar telah membedah nyinyir takdir: sejak genggam anggun geram menghimpun salam. “kita belum merasa karib dengan nasib, tanpa pertikaian”. aku benci peradatan, yang dibangun dari batu dan kepalan lancung. assalâmu ‘alaika yâ akhî.

::: 029 :::

dering telepon itu gasing bising yang menggiring dirimu. radiasi televisi itu menguras sangsi, mengisinya dengan spasispasi pasi. gurat suratsurat terlipat itu menyirat semburat laknat raut yang terus memagutku. di pesisir tanpa cemar dan kabar camar aku menelisik makna matahari yang amblas dibilas maghrib. sejak kautingalkan gisik ini, aku terus menulisi pasir yang dikikis alun. matahari lari. bintang menghilang. raksasa negeri dongeng memakan rembulan. kujumput wajahmu yang diremuk kejadian, dari apa saja yang kutemui.

::: 030 :::

mimpi bukan jampijampi, menulislah. buntu bukan hantu, bukalah lukamu. petaka itu marka, jangan bawa sabda para dewa. derita bukan denta, memintalah dengan membaca. bertahanlah. selagi nasib masih kauanggap lemah antahberantah. hatiku rumah, semua boleh singgah.

::: 031 :::

pencemaran tidak terpetakan dalam setiap pertikaian, gegar menggelegar. “substansi dari dunia adalah dihukum mati dan reruntuhan.” [lukretius] maka kutunggu engkau mengeksekusi hitungan keinginan. kutunggu. lihatlah, persilangan jalan yang menjemput musim penghujan: tjipto, mataram malam, dini kartini, sampai kampungkali. jembatan tertukar jamban kambuhan. lenguh gegas perempuan melawan lamban kelelakian, dikerjai kekal sistem patriarkal. grafiti merah dan biru seluas dinding. genting. kerumunan perjudian mempertaruhkan akalsehat sepanjang jalan, sampai lewat tengah malam. hewan-hewan dibeli_h, terpanggang di piringpiring: “perut telah menjadi kuburan binatangbinatang”. kobra, perkutut, kurakura dikurung pasar burung mendugang undangundang. becak menapak tikungan, sesekali kencing di kolong kelam kelamin kota. anakanak berebut mainan menirukan adegan perkelahian. musik dangdut merenggut sungut kalut. perahuperahu yang pernah melintas di atas sungai ini telah jadi hantuhantu buku. anyir bau membirukan hidungmu. tetapi kita pernah bersepeda kumbang di sampai ke sana, kekasihku, menuliskan “aku pernah di sini”. bukankah kau mengenangnya? “jangan bicara tentang pernah ataupun sejarah,” katamu. maka kaulawan semua dengan pelarian, menyisir tempattempat yang belum mampat umpat, papan yang tidak mempan pencemaran, menghindari “orang lain”. ketika sekarat menjemput umpat, orangorang tidak lagi merasa terhormat. para malaikat bergegas memberi hormat sebelum nasibmu dimakamkan, belum sempat memberontak. “selamat mati” bagi mereka yang membiarkan lingkungan diamdiam bunuh diri. tidak mengenang apaapa kecuali siksa! ah, menantilah semaumu. kita diam setelah gerimis menampar mukamu, setelah kauseru, “mari memanggil lukretius, kita bersenangsenang!”. lantas lidahku mengutipmu, menuliskan di dada, “aku pernah di sini”.

::: 032 :::

“tidak lelahkah engkau mencumbuiku, setan?” dingin mengunyah persendian. bulu kuduk kehabisan rebah. hampir habis waktu kita melontarkan jamah dan lelah. perasaan menanah. rembulan kuning mentah. “suara sakti” pelan menyesah pendengar rendahrendah. terlanjur sering_kah kita anggap kekal_ahan itu tabah? jangan tawartawar akal tawar ini. selagi senyap gelap mengedipkan matamu, pilinlah lagi pendengaran demi mengingat: sejarah selalu menjarah [dari] masa depan, dan “kenanglah percintaan. itu. sepanjang buntu waktu. kau akan kuat!” sekalipun besok kemarau gawat. selama daundaun berguguran adalah rutinitas musim yang melantunkan darah. perasaan jangan enyah. atau telapak menelusupkan gugup bersama degup meletupletup. dada. cinta.

::: 033 :::

saat ini aku makan, engkau tidak bersamaku. aku tengadah ziarah saat orangorang berpulang menanggalkan zirah berdarah. “tujuh ekor sapi kurus memangsa tujuh ekor sapi gemuk”. aku membaca. uang melelahkan temantemanku, memalukan mereka. menerkanerka nasib, meramu jemu jadi lesu bertalutalu–mencengkeram karib di meja perjamuan. girau, himbau, kacau–sudah kicau. makanan terbeli, kenyang tidak terbeli. mastodon menunggu drakula meronda, hendak meneguk darahnya.

::: 034 :::

“kalau kau bertemu kekasihmu, menghadaplah padanya seperti bercermin” [rumi]. aku bermimpi engkau sedang bermimpi: menghabiskan kata-kata yang pernah tertulis dalam setiap kamus. menyepi di kepulauan rumus, lantas semua orang meninggalkan pesan: “kami takkan kembali ke sini”. laut tidak membebaskanmu! berputar keluh bersimpuh peluh. engkau berteriak, “ternyata. aku di tengah pulau!”. matamu senantiasa meminta, membaca bintang-bintang pengarah jelajah. “aku tidak menemukan aku”. hanya ular sawah yang memangsa kepalanya sendiri dan kebanyakan tengkorak pendosa yang mati tersesat karena putus asa, dicecar burung nazar. kemarau tidur panjang, daratan berbaju salju, dia ingin menyalakan api. untuk memberangus terdamparnya. nasib. jemu. bertemu atau tidak bertemu, bukan persoalan. yang terpenting adalah mencari. lantas kukirimkan teror: “bisakah kamu: membuat api dari es?” waktu aku terbangun, aku bercermin, menjadi engkau.

::: 035 :::

di sini ideologi telah menjamur, dimakan cara “menerangkan dunia”. sejarah bagai toples yang ditutup rapat-rapat, dibuka cuma dengan mulut ribut. bertemu tulisan, bertamu pada dada. telinga dibalas dengan telinga, mata dibalas mata. lidah tak percaya lidah. diam marahmarah, kalam menampar [dengan] kabar, cemburu penuh tuduh, uang bersimbah masalah, dengus meringkus penyelesaian. lidah selesai dengan lidah, bersama alun musik indah. beberapa malam itu.

::: 036 :::

rinduku penebangan pohon randu: kapasnya bakal jadi peraduan semasa gerimis menghunjam malam-malam, batangnya jadi papan catur tempat dua kerajaan memusatkan pikiran. bulanpun lapang. mengangakan sapaan saban malam. membuat semua kanakkanak berhamburan usai mengaji.

::: 037 :::

adzan menyahut sisa marah wajah pada paras waktu yang disamber laknat. lantas meraup cucian, lupa muka sendiri. deterjen meratakan kotoran, beralih ke jemuran deret depan. semut-semut disemprot minyak tanah. kompor mendidihkan air. barang pecah belah dimandikan dengan abu gosok dan kulit jeruk. mulut tersimpan dalam tangan, isi kepala dibuntal sintal pagi yang gesit memintal jadwal. hari telah menyala. begitu keluar, aku ditangkap dengan pembicaraan yang menghamburkan kalimat-kalimat dari buku-buku panduan.

::: 038 :::

dongeng menyulih rindu yang sudah. lama gagu lagu. sunyi nyanyi. fabel kamar kuceritakan kepadamu. tentang siput dengan takdir di punggungnya: “di mana rumahku? kau lihat rumahku?” sampai ujung sungai, kerbau menginjaknya. mati. atau tentang kelelawar mengejar pagi suaranya bisa menjadi tangan dan mata. tidur menggantung. sampai seorang pemburu mengincar jantung, demi menghabiskan peluru pulang. mati. atau badak perendam yang kebal dari segala senjata tajam. suatu ketika ambruk karena influenza. atau semut beriring merenggut gula, merampok. dunia bukan negeri dongeng yang meledek manusia cengeng, sekalipun [melakukan] “kebenaran tidaklah sama dengan mengenakan jaket antipeluru”. sudah lama sekali kita memindai persoalan dengan ciuman. rindu penuh cerita tentang binatang yang mesti kita dongengkan pada semua orang. yang tak tahu. kita saling rindu, demi menjadi diri sendiri. dongengkan saja binatang alas[an]–di kepalamu. sebut itu rindu. rebut rindu itu.

::: 039 :::

buritan dan topan mengeram di gelas ini. bibir berair, mata berair, nasib berair. cinta gugur, kekasih kabur, nasib habis dibakar kelakar. kapar dan lapar menyambar lamunmu: kenapa kautolak minumanku? di depan perkemahan, angan api menari dengan ingin angin. kita bersaksi tentang gelombang setua lautnya, bayangan menuruti pencerminnya, dan kalut yang terus ngebut karena wanita. usah susah melaknat gelinjang bayang atau pesat gelagat atau biarkan diri dikerat kalimatkalimat berat. mari khusyuk mabuk. bersama[bu]ku.

::: 040 :::

aku derita cintamu. dengan saban hari menjamu sisa isak, melalap lapar, melarung murung di antara [i]buku. menyapih letih. setelah kurendam dendam dalam kelam malam: kecantikanmu mengeram dalam kerajaan tubuh, menabuh jantung. menyisakan suara tebah rumah lebah. aku tidur dihamparan tipografi dan animasi. setelah semua orang berebut ribut menyambutmu, segala peristiwa menjura, bagai jawara yang melempar pedangnya, meninggalkan kampung halamannya. aku ingin menjadi perawat bungamu, takkan kuminta tubuhmu, jika kaubalas dengan lenyapnya rinduku padamu. dada.

::: 041 :::

aku mabuk di kedai yang sudah tutup. semua kursi dinaikkan. tinggal perempuan merapatkan pintu: menunggu. cinta sudah tanpa darah. rebah serupa sejarah. mabuk sebatas bibir gelas. biarpun ginjal diganjal gumpal darah. wanita terlanjur kekal menganggap. perpisahan mengendap di ruang dan waktu yang senyap kedap. marah sudah patah arah. menjamah diri. pada tubuh perempuan itu, terlihat limpahan cahaya rawan dan bentara antara: kebenaran atau kekalahan. anggur masih diperas dari nafas lembut, titisan lelah. semesta tak bermata, semua cuma tanda. bersyukur duka sudah tersungkur. dan tubuh tetap mendengkur disangkur selaksa peperangan. sebab wujud hanya hijab. kelelakianku menempuh baja menjadi simpuh. yang kutunggu masih jauh, selama mulut selalu bercerita tentang bintang jatuh. di cawan masih kaurangsang aroma, sampai pandang sungsang. dengan gurauan lelah berguguran, tetapi percintaan kian penuh makian. kekasih, aku luka. kekasih, aku dosa. menggosokkan cahaya di tubuhmu di sekujur tubuhku, agar jadi mantera. kau rona, aroma, dan warna. sukma bermuara pada tempat segala mutiara. tubuh disepuh pada tempat segala sentuh utuh. dunia ini segala ganda, akal itu segala semu. tetapi, “setiap” telah kujajal, gagal kian kekal. sampai pagi dikremasi matahari. semua sudah tumpah jadi bedebah. lantas pergi. kedai sudah tutup. besok pasti para jawara akan berkelahi. kapak ibrahim tertinggal di lelangit, tempat matahari dibelah, tinggal sebelah. sementara itu satu berhala disiksa, sebab disisakan, untuk dikitari manusia, lima kali sehari. apakah kau cemas saat gaibku lunas? dada.

::: 042 :::

nova. ada terang yang mati karena cahaya. bukan di lelangit kamar. {lampu merkuri mampus, diberangus matahari yang dicuil promotheus.} “kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang, hilir mudik mencari kekasihmu yang hilang”.

::: 043 :::

{maaf tuhan, kami sedang berfilsafat}

::: 044 :::

seharian awan menawan air langit. hari hujan. segala yang basah melimpah juga dari matamu. rupanya para malaikat sedang melakukannya dengan siklus air seribu abad yang lalu. maka sudahilah, nasib selalu mengalah disetir pikir getir. biarlah kucerap gelap indah gundahmu. paras dari langsat lantas pucat. mengurai rambutmu jadi sebahu. di sana mawar tumbuh dari kambuh. memainkan musik mistis, menggiring perjumpaan langit pada bumi. kenapa mesti menyaksikan diri melambung, melimbung, mengurung rapat semua pintu penyelesaian? lihatlah bagaimana kenangan basah, gelisah, tanpa istilah, sementara cinta tak bisa merujuknya. seperti musik di tubuhmu itu. hujan itu. lantas kau harus mengajak berpisah, menatap setiap perpisahan sebagai jejak, tanpa alasan harus pamit, menggamit lengan dan langkahmu, kembali menjadi milikmu sendiri. sendiri. bawalah serta rambut sebahu yang masih susah dipisah dari rumpunnya: tempat mawar liar tumbuh dari lumpuh, tempat duka bersetubuh dengan riuh, tempat cahaya melimpah di sekitar bayanganmu. kau hilang. kau masih basah, indah, menyisakan bau dan suara di baju yang kukenakan. (kugali lagu lagi, sebab ruh selalu dititah allah masuk tubuh dengan suara indah). “telepon aku besok pagi. mungkin aku masih mencintaimu,” katamu dengan melambai. dada. (11:12 15/04/03)

::: 045 :::

televisi kehabisan siaran tentang kematian para pahlawan. sementara. penonton ambruk, tersuruk. mendengkur di kasur. nyamuk ngamuk, senyap menghisap darah, sampai fajar merah. adrenalin sudah banyak tumpah. memburu entah. bau busuk keluar dari kamar mandi, nyasar ke kamar-kamar. mengusung bayangan para perempuan. setiap hari ada lelaki yang memperkosa kamar mandi. otak membludak, masuk ember bedah. buku-buku dibedah setengah telanjang, kalimatnya banyak yang dibelah, mati. dikubur di catatan kaki. membidik realitas yang tidak lekas tuntas. menjadi sesuatu, sesuatu, sesuatu. orang-orang masih tidur, merestorasi mimpi, mereparasi tubuh. mengeja takdir menjadi raja. setidaknya bagi diri sendiri. sekalipun tak mungkin sembuh, tubuh melepuh semoga masih ampuh. menempuh jalan jauh. hidup. sementara. menjadi. sesuatu, sesuatu, sesuatu. percayalah, aku mencintaimu.

::: 046 :::

aku lihat batu sisiphus di matamu. tanda waktu yang dikepak kelopak, di mana semua duka didepak. aku mau lenyap dalam dekap, dibelah langkah, dirangkum senyum, didera suara. semua yang berasal dari dirimu. aku mau lenyap dalam dekap. musnahkan tanda waktu, menyatu. katakan padaku, sekali lagi: kenapa bisa kaumusnahkan kata cinta dengan makna? kalau aku mati, aku mau kautanam di dataran rendah, biar punah dari sejarah penuh darah. mungkin, kamu bisa menemuiku di halaman rumah, tempat [di mana] sampah tak pernah tumpah. lupakan petilasan yang kubangun dari pertikaian, aku tak mau hatimu menjadi kuburan kebencian. (kujumpai gadis kecilku, di sana cintaku moksa. setiap bertemu, matanya selalu berkata, “namaku lavita nova. cium dan cintailah aku!”.)

::: 047 :::

[ini malam pertama jika kauhitung mundur tujuh hari] sebelum kaubuka seratus kado dari kelopak mata bungamu, aku harus meringkus pembungkus wujudmu. menyibak hijab yang datang mengajak, menjebak cahayamu. malam seperti merangkak sebab gerimis sepelan ciuman: sebibir demi sebibir. gelak pekak berevolusi menjadi sunyi. hening bening. limpah darah memompa tubuh: sedetak demi sedetak. lantas kita menjelajah: setubuh demi setubuh. “kekasih, hancurkan aku. tanpa sabda.” akan kubuatkan rumah, tempat kita rebah. berdarah. tetaplah cinta. tataplah, dosa yang lebur, dikubur lubanghitam cinta. tak ada tanda waktu di sana. wajahmu dirayap tubuhku. wajahku di tubuhmu. tanpa sabda. [saat itu aku selalu mendoakanmu karena–nya aku mencintaimu]

::: 048 :::

langit diselimut biru laut. sewarna kostum yang kaukenakan. suara dan cahaya, sesekali kelon dalam rupa petir. hujan mengumpulkan motor di depan pintu masuk. sampailah masa kauperdengarkan kalam di pembuka malam: tentang kebenaran yang lepas dari pengetahuan, dalam bentuk upacara saling bunuh. bungamu jatuh, mataku luruh. tubuhku menjadi tiga, ketiganya jatuh cinta. “zalikha, jangan pinta teman-teman perempuanmu memandangiku, manakala mereka sedang mengupas apel merah”. ada kamus yang dirancang dari tiang gantungan. mengurai tubuh menjadi kata utuh. seminggu penuh, peluh berjampur jenuh, mengelupas tubuh. seperti apel merah. nik, aku pulang. habisi saja kritikus yang berangus kerja. besok, kutemui kau di kantin kampus. “aku tak bisa menulis puisi. aku sedang menulis skripsi”. aku pulang, menyeduh sereal. menyeka airmata. besok harus kubuatkan peti mati. isinya naskah drama atau rinduku padamu. semoga masih bisa reinkarnasi.

::: 049 :::

lewat tengah malam, kedua tanganmu menyelinap di pingangku. embun turun. beberapa butir tergulir, melesap di pipimu. rupanya kaudapati diri sedang lenyap dalam senyap ciuman. {sudah jarang ada orang menatap langit} menggelar kelakar di atas tikar. bulan semerah fanta, suka. di pantai ini, seratus pasangan sehari diutus memadu cinta, kebanyakan putus–konon karena sebuah legenda. {kalau cinta penuh rencana, sudah putuslah kita} seperti berita koran, pagi ini ada hujan meteor di langit selatan. ada yang mandi cahaya di sana. mungkin raksasa atau malaikat. cinta masih mungkin. lantas kauhujani aku dengan pertanyaan: “apa bahan adonan jagat raya ini? apa yang hilang dalam peralihan waktu dan kejadian? di manakah letak tuhan? bagaimanakah wajah tuhan itu?” aku kutip tubuhku di lipatan buku, untukmu, karena aku sangat mencintaimu. malam sudah lama habis. pantai sudah habis. kaukenakan kaus kaki merah, mengajak pergi. orang-orang menata simulator kota, mengerjakan tubuh dengan kendaraan, reklame, telepon, dan mesin fotokopi. sepanjang jalan kaulafalkan pertanyaan, “menurutmu, apakah tuhan sedang melihat kita?”. jangan kenakan leher merah itu, nanti kau diadili teman sendiri. aku lantas mengenakan gemerincing anting pusarmu di jantungku. kalau kita masih bertemu, di sana ada restoran, tepat di kelokan pertokoan, di mana kaulumat sisa donat nikmat dari jari tengahku. dada.

::: 050 :::

malam keseratus. persetubuhan telah menjadi ritus. kausalib diri, lentang riang untukku. lantas menjadi bayanganku, dalam bentuk tubuh. kaktus tandus disiram dengan “air yang memancar”. membangkitkan humus. menitiskan penerus. kitalah tubuh, tempat firman tuhan mampat: lantas terurai dengan seluruh setubuh. “maukah kau tinggal semalam lagi?”. paginya, anakmu bermain dengan ikan hias dalam toples, kaumasak sayur, aku menelepon seratus teman, “gagalkan semua pertemuan denganku. aku sedang fotokopi tubuh untuk kalian bunuh. nanti. sampai jumpa. dada”. perjalananku dengan nova, akan mendinginkan neraka. yeni, kita beli tar. lilinnya kita tiup juga. bertiga. malamnya, nova menyanyi. lelap di pelukmu. ada dewa ruci mengalun di radio, mendapati bima patuh. sementara sampai pagi kita menjelma jadi tubuh. satu.

::: 051 :::

dengar tangis setangkai mawar setelah dipisah dari dahannya. sang pemetik ingin katakan cinta dengan merah tubuhnya. kini, setiap kali mawar itu mengerang, rindukan jalan pulang, hati sang kekasih berkobar, “kuminta cinta melumat diriku, dengan setaman duka dan merah hati (ber)bunga ini”. dengar tangis setangkai mawar setelah dipisah dari dahannya. “kembalikan tubuhku yang dulu, atau terimalah cintaku”. dengarlah! dengarlah! (25 april 2oo3)

::: 052 :::

kau kayuh sampai jauh, demi mencari ketenangan berlabuh. ternyata hanya menempuh berpuluh kali selingkuh. diburu cemburu dan haru. kauangkat batu, kaubelah kayu, mendirikan rumah, berpindah-pindah, lelah menjelajah. berharap mungkin kekasih singgah. kerajaan kekasih kauserupakan dengan muka barang pasar yang diumbar dengan tawar-menawar. kaubisik isak doa, takutkan sanksi, diguncang sangsi. “datanglah! aku mau menangis. mengais cinta. melihatmu”. tutup inderamu, lupakan doa. {dengan kerja}. kekasih tidak beranjak. tidak peduli kau berontak. bagaimana bisa kauperangkap cahaya? rawatlah, bersamalah. lantas tinggalkan dia. di hatimu. (25 april 2oo3)

::: 053 :::

tipis benar hijab kekasih. menidurkan mabukku. kadang dalam tingkah gila. atau paras sang malam.

::: 054 :::

sepasang kupu-kupu sedang mengawinkan bunga yang kuselipkan di kupingmu. matahari surut, melimpahkan serimba cahaya. gunung menjulang, senja sedang mendulang kabut tipis. mawar liar menyeruak dari semak-semak, sepanjang jalan setapak. penuh jejak, menggalang percintaan sejenak. gerimis menyambut musim, menyingkap kelim bajumu. kita rebah serendah tanah. mengudap perbekalan. biarkan harmoni percakapan berkecamuk, meremuk segala persoalan. hidup sedang tidak butuh kutipan dan nama orang. maka kakimu ditelan buku bacaan yang berserakan. kau mesti memakainya di telapak kakimu, jadikan tangga. aku sedang memamah-biak kecantikanmu. mentah-mentah. bukalah pintu hatimu, ijinkan kupulangkan rinduku padamu. tanpa kesempatan spontan, biarpun alam sedang kawin dengan dirinya sendiri. hatiku ribut dikukut malam, dilecut kelam-inapkan cinta. selagi matahari terjepit di antara dua gunung. membiarkan kita menuntun reproduksi keindahan menjadi puluhan cumbuan dan pandangan. sepasang kupu-kupu masih mengawinkan bunga yang kuselipkan di kupingmu. masih segar. bungaku. sampai pagi itu kau merasa dilahirkan kembali. oleh kekasihmu. (25 april 2oo3)

::: 055 :::

aku mengajakmu bermain rubik. televisi sedang melahirkan orang dengan rahim pandora: membuat penonton dengan telepon dan berita perang kecantikan. penuh senjata. menghabiskan bosan pada rasa enggan. aku ingin mengajakmu bermain rubik. menyusun warna sisi kubus dengan rumus. kartu berserakan sejak ratu hati dan tujuh skop hilang dalam benaman kertas kerja. meja tidak pernah lagi bersahaja sejak kau belajar menulis dan menggambar. scrabble kehabisan kamus, semua kata sudah mampus. bahkan seratus game komputer nyerah. kalah. kaupecah kode di bawah sadar. papan catur nganggur, seratus partai turnamen kaumainkan dari guntingan koran. mengajakmu kendalikan kuda hitam, membelah sentrum, menyerang silang. aku mengajakmu bermain rubik. melupakan monopoli. dan televisi. lantas kauceritakan ibumu hari ini. dia sedang menjahit baju, membordir kaos dengan gambar mawar dan kupu-kupu. sejak dulu, tubuhnya untukmu. agar jadi gadis normal, bisa bermain menjelang tidur, menjemput peraduan: mempersiapkan sepertiga malam terakhir. mendudah duka di depan kekasihnya. (25 april 2oo3)

::: 056 :::

ada perempuan dalam diri setiap lelaki. karena cinta pula, setiap petualang: pulang! mata kehabisan jejak tidur. langkah sudah kehabisan kabur. hidup memaksa terus bertempur. kadang menghadang dalam rupa orang. aku tak mau lagi berlutut ataupun menuntut, karena kekasihku tak mau ada yang tersia dan iba. kerja, kerja, kerja. berbentuk itulah cinta. sejak dulu, takkan ke mana. “cinta, begitu dunia dicipta. dan aku sering mengkhianatinya”. cinta, begitulah dunia dicipta. dan aku sering mengkhianati-nya. sampai akupun percaya: tuhan (juga) bersama orang-orang yang salah. tuhan (jaga) bersama orang-orang yang kalah. kalau aku pergi lagi, nanti, buatlah tanda merah dengan gigi dan lidah. sebelum sembuh, pasti akan aku kirimkan merpati: aku menanti. kecuali: tuhan sudah buatkan sebuah rumah dari gundukan tanah merah. karena cinta pula, setiap petualang: pergi lagi. membentuk peta dengan jejak kakinya.(25 april 2oo3)

::: 057 :::

telegram sudah berbentuk setumpuk bunga di atas pusara. bunga telah sampai dalam bahasa bunga: tanpa darah, di atas tanah. ia akan tumbuh “dari tanah kembali ke tanah”. tangisan langit menjadi hujan pengunjung. memeluk keluargamu dengan mata membiru. yasin, yasin, yasin. ibumu tumpahkan darahnya di dadaku, mendekap potret menua sebuah keluarga. jam antik selalu melatih detak jantungnya. menggiring duka, mengucapkan apa yang pernah kauucapkan. orang sekampung kehabisan mata, hari, dan perasaan. seperti kata langit, selama tujuh hari setelahnya. yang sampai kepada bumi. kematianmu mematikan waktuku. terpaku tanpa buku. jadwal mesti gagal, menemuimu dalam wujud orang-orang dan kejadian yang pernah kautinggalkan. ada pesan darimu di selipan halaman buku, “maut mau kujemput dengan senyum. rinduku hanya maut atas hidup. cintaku tak sempurna, karena terus menanggung rindu. aku ingin kuliah seribu tahun lagi”. {sampai suatu ketika, ada kabar, bahwa menit itu kau mati}. “maaf, tuhan. aku sering sempoyongan, mabuk kebu-tuhan”. (14.05.03)

::: 058 :::

tujuh ratus virus mengeram dalam hardisk. kunamai dengan kebiasaan para gadis. ada kuda troya, surat cacing, pembuka kata sandi, dan pencopot halaman depan situs. teknologi harus selalu purbakala bagi dirinya sendiri. lantas kupercepat dengan kemajuan. kamu menamainya kejahatan. ini tentang kekuasaan/perempuan. sepuluh buku terlarang mampat dalam cakram padat. ada filsafat dan bencana wacana, keluar dari percakapanku. untung kita tidak berciuman (dengan) waktu itu. aku bosan dengan gaduh orang mengaduh. betapa bosannya waktu: catatan kakimu tanpa jejak halaman baru. ini tentang maut dan perempuan. yang selalu dipaksa pintar. komputer kumatikan. dunia barus saja kumatikan. mimpi menjemputku, setelah resep dokter kautebus. mustahil aku lupa padamu, pada saat kukatakan “aku lupa padamu”. tetapi memang tiga bulan aku tidak meneleponmu. fuck you! you too. pesan sudah terkirim, lolos dari pemindai terbaru. ada kata cintaku padamu. ini virus, ini gadis, ini ciuman perancis, ini sekarang. aku cinta kamu, sekarang. kata sebagian orang, sekarang itu abadi.

::: 059 :::

sepasang coca-cola dan empat tangkup roti (diletakkan) dekat pemantik: hari mesti dinyalakan. begitulah hutan dibakar, pabrik digiling para buruh. doa malaikat penurun hujan dan beberapa tetes keringat buruh, melekat juga di pakaian yang aku kenakan. serakan kertas bekas-berorganisasi terikat di pojokan ruang. raung telepon terlalu pagi, menandai buku catatan. masa depan telah dikemas bersama cinta seorang perempuan. seekor cicak tergenang di separuh kopi. setiap malam selalu menemani: mengalahkan insomnia. buku-buku ditinggalkan mandi pagi. tubuhnya telanjang penuh coretan. sisa autan, kafein, nikotin, dan percakapan semalaman dengan mesin, melekat juga di tubuh. selamat pagi. televisi sudah memesan banyak perempuan untuk belanja ke pasar, aku mengerjakan fotografi dari jendela. ada teater di jalan. teater politik. seorang tetangga datang menuntun anaknya. wajahnya serupa malaikat bersayap yang baru dilantik tuhan. “nama anakku: naga dara. kelahiran dua ribu, tahun naga.”. serakan kertas-bekas masih berorganisasi. seperti teater di jalan. orang-orang mengerumuni tukang obat mendemonstrasikan harga. ada juga taruhan catur: tiga langkahmati. “ini politik. pasang taruhanmu, kalau berani!” katanya. seperti koran dan televisi.

::: 060 :::

aku cinta padamu. ada pertanyaan? {kalau tidak ada, kita melompat ke level berikutnya} ^_^

Day Milovich,,