akulah shinta. perempuan-perawan di hutan perawan. lapar dalam sepi. yang dijaga guratan keris, kalacakra.

sebab cintaku tak ingin kuasa. setia menuntut setia.

kakiku menganyam duri mawar. setapak berdarah, setapak tersembuhkan, dengan ciuman.

dalam bahaya, cintaku tanpa sangkar. bahkan angin cemburu pada kebebasanku.

suara orang tua meminta di balik jiwa raja denawa, membuatku terangkat dari lingkaran kesetiaan.

rahwana mengenalkanku pada pertarungan dan angkasa.

akulah shinta. perempuan yang membuat lelaki bersumpah-suci. dan musuh bersimpuh, tak menyentuh.

akulah sinta. yang menukar hadirku dengan cincin dan alengka yang terbakar.

akulah shinta. yang direbut dengan jembatan di atas lautan.

akulah shinta. yang membuat semar turun-tangan menyembuhkan mereka yang buta karena amarah perempuan.

dan api pengorbanan telah dinyalakan usai perang. api berbinar melihatku. cahaya bulan melindungi urai rambutku.

“siapa yang kuasa berbicara di depan kecantikan? akulah rumahmu. yang melucuti seluruh peperanganmu. dengan kesetiaan.”

sudah selayaknya, cinta berdarah.

aku hidup dengan tumbal rahwana. yang melayani dan membesarkanku.

aku terlahir-kembali dari api. menyarungkan keris dan tombak. jalan suci seorang perawan.

[dm, 250820]