Day Milovich,, Rimba Rindu [Kumpulan Puisi #4 Day Milovich], (c) 2010
[#001]
langit mengirim gerimis, lantas segala batu kebekuan telah pecah jadi tawa kecilmu, musnah sudah lelah dan gelisah. semoga kikis segala panas dan sisa hujan-perjalanan di tubuhmu: kembali[kan] segalanya seperti dulu. di mana kenangan dan penantian, selalu berkejaran di halaman-rumah. berjejalan di percakapan, menyelam tepat di dasar malam-malam itu. sekian kali, segalanya terpikirkan, termaafkan: selalu merindukanmu.
[#002]
siang dan malam lenyap di putar-waktu, terserap kejadian. kau jadi penyerta, dalam[nya] karam hati, dan desir-pikir. ijinkan pesan ini terkirim, tanpa warna bunga dan rintih angin bercabang di reranting. tak ada satu kalimat akan mengganggu perjumpaan, yang akan menitiskan parau kemarau jadi giris gerimis. setelah pergiku [menyeberangi] sekian kali, ijinkan diriku utuh. menjadi: pesan untukmu.
[#003]
setiap sepertiga malam terakhir, ada episode berlanjut, tabu saling-serbu, marah terampas di nafas tubuh rebah, bersemak desah, dan komentar di status yang sering terputus. suaramu memasukkan semua bayang, tentang “tentang”. matahari sedang mencari ruang lain untuk dimasuki, setiap dia pergi selalu menitikkan air mata, berupa laut dan senja. aku akan selalu meneleponmu, demi malam yang berwarna rambutmu, demi matahari di warna kulitmu. aku mencintaimu bukan karena membutuhkanmu, hanya karena aku tak bisa hidup tanpamu. good night.
[#004]
kalau kau minta arah, akan kulupakan pelajaranmu tentang membaca bintang dan lumut di pepohonan. aku hanya ingin kau ada untuk arah yang belum kutemukan. seketika, kau minta hentikan perbincangan ini. kau masih jauh, walau aku takkan menjauh. perlu kayuh empatpuluh nafas duabelas bulan sabit, yang bisa membabat imajimu tentangku. sampai saatnya kita akan sampai kita di tengah [l]engah dan lelah berbelah denah kotamu. bibirku sudah semakin sakit peragakan kalimatmu. itu sebabnya selalu kutunggui senja, kupandangi hujan. dan kau telah berhasil menciptakan hujan di ruangan ini. ditutup kain menjuntai, hampir lepas kendali. mari teruskan dengan berenang. di pantai. yang sudah berbentuk lantai.
[#005]
mungkin tak perlu aku mewakilkan-diri menjadi kata dan suara, agar kau mengerti. merasakan matahari [se]dalam dua sisi. tidur siang di perjalanan, bulan di atas sepi jalan, menepi di lelangit, ber[je]jalan tanpa bisikmu, pergiku pasti kembali padamu. pada wajahmu, yang telah menjadi rumahku. jangan musnahkan peta rumah dan denah kotamu, aku pasti datang pada saatnya [me]nanti. di rumahmu aku akan menjemputmu. aku hanya akan terus memacu waktu, berperang di semua ruang, agar membawaku kembali kepadamu. hanya dalam satu arah: menujumu.
[#006]
senja datang dengan gerimis. stupa dan jejak tanah-ramah berumput, jumpakan masa lalu dengan tubuh. matahari seperti masa lalu, tenggelam di langit berair. dan matamu, tak juga terkatup. dalam malam remang kita akan bertualang, menjelajah dan membelah. menyambut candi dengan sunyi. hanya suara detak jantungku. biarkan aku jatuh, dalam cintamu. “sayang aku merindukanmu. aku akan selalu merindukan dan mendoakanmu.
[#007]
kursi ini akan terus memangku tubuhku. pada hitam waktu, pada siang, aku lenyap di senyap layar, terhantar di dinding. rindu merinding. pada gambar, pada pesan, tanda telah menjelma seribu teman. dindingku masih berlubang sapa: kadang tawa, kadang air pasang dari [sepasang] mata. hati. setiap berangkatmu, aku bekerja, menanti ~nanti. menutup muka dengan dua tangan: mengawali doa tentangmu. hati-hati di jalan, jika kau temui aku di jalan: bunuhlah! sudah lama aku jadi seribu. sudah lama kau [akan] menjadi ibu.
[#008]
aku sudah pulang, setelah pintu kau buka. semua lelah bertualang, akan tertulis pada batu namun bukan jalan buntu. seribu marka yang aku buat, hanya menjelma menjadi serbuan bayangmu. malam ini biarkan saja tubuhmu melepaskan-diri dari pakaian yang menjeratnya. tunggulah aku selesai [me]rapat, membersihkan diri dari tujuh laut maut. kita akan beristirahat di ranjang ini, kalaupun mati, percayalah: itulah hidup abadi. kalau saling menyayangi nanti pasti terulang kembali. kembali juga aku, pada marah dan manjamu. yang tak abadi. itu sebabnya, aku selalu kembali dari melenyapkan siang, kepadamu. apa kabar, sayangku? aku sudah pulang dari bertualang.
[#009]
aku percaya padamu seperti rasa percayaku kepada matahari. aku jarang melihat matahari, namun saat dia hadir aku dapat melihat yang lain, walau tak kulihat matahari itu secara langsung.
[#010]
sudah kubenam kau di-kubur waktu, bayangmu selalu reinkarnasi, menjadi, ruangku. aku hanya genggam telepon, mendengarmu bernafas, melagukan segala kata yang belum dilahirkan, lepas yang menjelma peluk. aku sudah berjanji tak akan mabuk, pada riwayat perseteruan episode kau-dan-aku. semalam itu, bukan adrenalin atau vodka. semoga itu masih cinta, tanpa pandangan pertama.
[#011]
duka dan pisah teramat dangkal. kematian boleh berencana, namun bisa apa dia mengejar kereta kencana? ini kali, biarlah gerimis hanya tangismu, biarlah putaran taufan hanya sesekali dalam dekapan. lebih berkali-kali. belum waktunya aku menuai kedua buahmu, belum saatnya ku teguk racun yang paling mengobati, dari kedua bibirmu. nanti. nantikan aku. sebelum aku pergi lagi.
[#012]
masa lalu bertutur dari ciumanmu, tanpa kata, sebab faedah lidah dalam pertemuan ini tak terbatas-katakan. rindumu, mengapung memenuhi inderaku, membawaku lari pada tujuh tempat di rumahmu. aku ajarkan padamu mantera terindah, tentang sabda langit yang masih berbentuk tubuh. namun ia membuatku rubuh, atas cinta yang tak mau separuh. sampai melewati shubuh. betapa sakitnya cinta, hingga harus kautuntaskan dengan seruan pada embun, yang tertimbun di kulitmu.
[#013]
puisiku hanya pelukan tak tertulis. pelukan berwujud suara, di bawah gerimis bernaung bulan. bahkan matahari tertelan di tidurku. kemarilah, cintaku. ini kali, akan kau pegang tanganku tanpa janji. namun pasti, kita akan saling memiliki, tanpa kehilangan diri. ini kali, bulan sudah sekotak ranjang tanpa peta[k], mirip serpih kain putih di tubuhmu. puisiku belum selesai kau baca, seperti tubuhmu, yang telah keluar, berkali-kali dari tubuhku. seperti kapan saja, aku akan selalu merindukanmu.
[#014]
dalam tidur aku tak berdiam, membaca ribuan sudut kabut, walau terbata-bata berkata, di sekat pekat dan laknat saat. sebab dalam bersama pun, aku selalu merindukanmu. dalam jaga, aku lari ke pintumu yang sedang terpejam. sudah aku putuskan sejak mengenal suaramu, bahwa ini kali, akan kubunuh diriku yang lain, menyingkirkan penglihatan orang-orang mati di kepalaku. pada basah malam, pada panas api di tanganku, aku hanya bisa berkata: aku tak punya mantera di ujung rambut boneka, dan tentu saja bau tubuhmu. ini pasti cinta. apapun resikonya, di level berikutnya.
[#015]
jamur tumbuh di jamuan terakhir. makanan tak tersentuh. luka utuh warna keruh. semua mulut di layar ini menjadi nazar pencecar tubuhku. agar aku sembuh, hanya racun yang kuminum. mengulum asap, senyap, dihembus, lenyap. aku rindu hening, tanpa jejaring. aku rindu bening, walau itu airmata. aku rindu manusia, hanya melewatkan mati ke sekian, hidup ke sekian. berdua. di sini juga, bahkan di sini. firman tuhan yang kudengar menjadikan semua berpasang-pasangan, semesra matahari dan bulan bergiliran. sekarib tubuh dan bentuknya. seperti maut yang selalu mau mesra berpisah, berpamitan kepada dunia. nyawa, bersenyawa, menjadi mata nan jauh tak tertempuh sauh. tak terkatup. tubuhku tak mau memakan hewan, hanya telungkup meratapi bebunyian dari antah berantah di seluruh tubuh. aku menunggumu. sepertinya, malam [sedang] jahanam.
[#016]
seperti telegram duka, suaraku dihantar ke kubur batu, terlantun santun, “apa jadinya berteriak, jika seluruh luarmu telah kedap suara? apa jadinya diam, jika dalam kepalamu [ber]pusingan bising?” biarlah kulumat duka di setiap marka, pada remuk tubuhku. menempuh, utuh. meski bukan malam ini. menunggu saatnya [me]nanti. sebab aku sedang dinyatakan mati. untuk hidup lagi. sekian kali.
[#017]
ini kali rindu telah kehabisan kata, kalimat lumat. sengketa dan seteru, meratap, menetap, tak mau melepas-diri, bawalah cakrawala yang tak lurus, mendung sarang guntur, dan telur mentah di langit itu, semua berat penat, pergilah ke barat, tempat matahari tenggelam di pejam-mata. berontak, meremuk batas di antara kendali dan nyali. kaki telanjang menapak petak[a] batu dan tanah. seperti siklus penghabisan. biar tawa-keras lunas di pertemuan ini. biarkan mimpimu memasuki laut, tepat di atas kenangan, tempat ombak dan karang bersatu. melupakan daratan. mari kita bajak hidup ini, membuat peta baru, temui segala petaka dengan suka dan tawa. biarkan.
[#018]
aku sedang mengusirmu, dengan mantera penjinak burung. aku sedang mengundangmu, dengan mantera pelunak baja. walau langit sedang murung, dia membisik kabar tepat di dada, berwujud kau yang sedang memelukku! dukapun larung. sekarang demi sekarang. di laut. semua muara lebur menyatu, semua suara memecah batu waktu.
[#019]
rimba rindu sedang dibangun, mereda buas kuasa saling-mangsa, dan hembus rumpun tetumbuhan mengobati. tempat aku memilihmu tinggal, agar tak tersesat tanpamu walau sesaat. sembuhlah, sayangku, dan lepas tawamu di sini. bersamaku.
[#020]
rembulan mentusir jalan. malam kuning kecoklatan. bayang-bayang merangkak, berputar dikitari arus lampu kendaraan: menari. sebagian riang, lainnya berang. orang-orang menyusur jalan kepagian. suara-suara bermuara gelombang radio, dan bayang terus mengikuti tubuhku. laut menyambut rambut. larut dijemput pantai. seratus ritus akan kulakukan untuk menyambutmu. seratus pesan terabaikan, “aku sedang beredar”, tak bisa kau temui selain di komentar jejaring sosial. aku akan katakan cinta bukan dengan surat terlipat. dan semua yang [dianggap] tiada: berbicara. kadang di antara gelombang suara, atau bayang benda: mengatakan cintaku padamu. saat chat error dan telepon tidak berbunyi: saat itulah aku sedang bersamamu!
[#021]
datanglah, seluruh indera dalam tubuhku telah menyebutmu. datanglah, pantai dan matahari sejak lama bersajak menyambutmu.
[#022]
aku akan melihatmu dengan pejam, menyelam, dibenam utuhmu. menembus labirin hitam, mengucap salam di setiap sepertiga-malam. aku akan melihatmu walau kau terbungkus seratus tubuh dan seribu kejadian. tak terucap. aku akan melihatmu tersenyum sambil bermimpi, saling-kejar di antara sinar bulan, dan segitiga di tengah lautan. aku akan terus menjagamu, hingga kehidupan berikutnya. kalau kau jatuh pada cinta, tentu aku tidak akan lelah menangkapmu.
[#023]
biarkan aku kutip doa yang mengiring tidurmu. membaca kedip mata, kulum senyum pemecah doa dan tidurku. lantas mengerjap, bersijingkat, menghindari kerumunan: digiring bayangmu. mengeja bintang di lelangit kamar, merangkum jejak harum yang menjeratkan namamu. saat matahari tenggelam dalam lautan tenang, pagi pasti datang lagi. mengobarkan janji dalam rahim. dengan puisi, dalam rupa puisi, cintaku tak terkatakan lagi.
[#024]
jejakmu masih menjadi tuan [di] rumahku. burung terbang sebatas sangkar, selimut [ber]kabut mengingatkanku saat saling-rebut, menyelam arus kali dan petik bunga di lekukan jalan. setelah kau menuju matahari terbit membawa marahmerahmu, burung itu masih sebatas sangkar. kain selongsong berganti tujuh kali, mengingat rindu berwarna merah. marah adalah merah, merah adalah darah, darah adalah arus, arus adalah hidup, hidup adalah mati, mati adalah awal hidup sesungguhnya. kunanti matahari terbit setiap pagi: datanglah, kembalikan rinduku di sini.
[#025]
setelah kuhapus tidur dari kedua matamu, masihkah kau teruskan kisah ini dalam ser[i]bu mimpi lagi? waktu sedang menjadi surga yang [meng]hilang, sedang jarak selalu penuh rintang melintang. pada malam, semua jadi bayang. gemuruh dada perindu dan mimpi setiap tidur, masih saling-simpang. aku rebah terlentang memandang lelangit: menanti bintang itu datang.
[#026]
bekerja di tengah malam, usai menyambutmu pulang. rinduku tak bisa diam, walau waktu terus menghitam, mengetam dan merajam tubuh hingga matahari membuka salam. begitulah hari ini selalu berawal. tepat lewat tengah malam. dan di jantungku pula, kau selalu pulang: bersemayam.
[#027]
ini kali, seribu alir akan dibelah bebatuan berlumut. hangat api akan menyerbu bergilir, tepat di hilir rindu akan menyambut. menyengat ingatan tentang kata tanpa sekat, dan bayangan senyum manja perempuan. berhentilah, tepat di pantai itu. saat lelahmu tersudut dalam jilat gelombang rinduku.
[#028]
jalan masih rumput, lengan menggelayut, bahuku perahu merapat mengangkut beban berat di suaraku. nada-nada bungkam tenggelam dalam wirid malam, seperti kapan saja. sungguh sadarku padamu telah membuaiku, tentang batas tipis antara tangis dan manis. melepasmu hanyalah melepas sadarku pada segala perbuatan.
[#029]
aku akan bernyanyi. tidurlah. akan aku rengkuh kau penuh, bermimpilah. lelah telah sunyi, seluruh gemuruh dan marah-lelah, setiap hari akan punah terlumat waktu, rebah di tengah rumah. aku tak pernah lelah mendampingimu, di sana.
[#030]
sepasang burung terserap dalam rimbun dahan, menyelam malam. rembulan tertelan langit merah. gerimis menitis jadi mekar bunga. seperti itu pula, semua air mata menghidupkan doa, meneruskan nada bicara dalam rupa abu dan suka. telan semua masa, lalu limpahkan semua tawamu di perjalananku. aku akan menangkan semua untukmu. aku berangkatkan langkahku dengan senyummu.
[#031]
pandangku tertawan, melekat pada enam lingkar logam, tumbuh di tubuhmu. emas ataupun besi, hanya logam bagi tubuhmu. bagaimana bisa kau bersembunyi dari cahayamu?
[#032]
dia bersijingkat, menapak jejak yang belum terjadi. di tangga kenaikan-diri dia menetak sesaknya saat, bergerak menyerak reranting daun. basah, keringat terjilat angin, menautkan cahaya matahari di tubuhnya. “alam menyerah padamu, aku tak lelah mengejarmu.”
[#033]
senja mendulang kabut merah, pandang searah hanya biru dan matahari tertelan, dalam gambar langit, mereka bertarung. aku melarung duka di jejaring mesin, besok akan kuselesaikan angka dalam duka, menghitung suara. aku sedang tak bisa memaafkan diriku yang melepas luka di tengah candamu bersama matahari. sampai malam, mengantarkan nadaku pada mimpimu. yang tertunda lagi.
[#034]
beginilah rasanya, perasaan dan kerja sudah hilang jeda. hanya senyummu saja yang akan membuat beda. aku ingin tidur dan bermimpi, mengharapmu tertawa di sana. kalaupun tak kutemui, setidaknya ada warna bajumu di sana.
[#035]
matahari terkubur di langit. hujan melarutkan tubuhku sepanjang jalan. aku menjadi hujan, menjadi geram besi. menderu ke timur. hidup sedang terganjal, menjalani tak-kekal. peredaran darah sedang entah, semua pembicaraan sudah mentah. arah tak soal, ini datang atau pergi. bagiku semua adalah jalanan berjejal, milik lebah pekerja. aku terjungkal, tercakar jalan, di sebuah tikungan: tanpa nama. lagi-lagi, tumpah semua basah, berdiri, menghormati petaka tanpa pernah menerka[m] kembali. beberapa perempuan mengunci kedainya, orang-orang masih saja berenang di langit, tenggelam di jejaring sosial. pesan gagal terkirim, “aku pulang. maafkanlah hujan. maafkanlah pesan yang tak tersampaikan. jejakmu terus bersarang. aku merindukanmu. beku tak terkatakan.
[#036]
“kenapa kau pergi ke sana?” tanyamu. /* karena aku pernah meneleponmu dari sana. */
[#037]
air dingin dalam gelas, masih penuh. tak tersentuh. kusediakan selama pergimu. semoga dalam sibukmu, kau tak kehausan.
[#038]
aku suka bau hutanmu, terjal dan lekuk gunungmu, kelopak bungamu, derai senyummu, hangat mataharimu, gelombang suaramu, muara sungaimu. sungguh telah kau hadirkan untukku semua itu dalam diri kekasihku. betapa bahagia aku dikeluarkan dari surga, agar menemukan ribuan lapis semesta, setelah berjumpa dengannya lagi. di jatuhku ke bumi, kembali juga aku: jatuh cinta padamu.
[#039]
rinduku padamu, adalah amuk, yang remuk, lantas lunas, lenyap diserap peluk. rinduku padamu, seperti senyum yang terjadi ketika kau bermimpi: tak kau minta senyum itu saat kau kembali dengan sadarmu padaku. rinduku padamu seperti telapak puluhan kuda perang, saling-desak dalam haus, diintai mata belati tak terhunus. rinduku padamu adalah ranggas tetumbuhan, menyuapi tanah agar tetap subur di musim nanti, menjelma pelangi, dan wangi bunga dan buah rekah. rinduku padamu adalah kau sendiri, dengan nafas dan lelah bermimpi di sisa waktu: keduanya menyatu!
[#040]
apel merah, nyaris beku. haruskah kubiarkan dia membusuk dalam matangnya, tak terlukai. ataukah pisau ini membelah dan mengirisnya, untuk semua orang? sebab tak semua ulat mengalami metamorfosis menjadi kupu-kupu, sementara irisanku bukan lagi tentang rasa dan keadilan untukmu. hanya angin, tanpa ingin. hanya derak pintu, serak dan buntu. mengetuk kantuk, terus mengaduk waktu. menunggu!
[#041]
puisi sedang terkunci di artinya sendiri, pembaca tak berisik, tak berkutik. pertemanan berguguran, semua pertanyaan berantakan, tanpa satu jawaban di percakapan. dan beberapa mengutip pepatah kalah tepat di shubuh, “dalamnya hati siapa yang mau, dalamnya inbox siapa yang tahu?”.
[#042]
tiada telaga untukmu dalam mimpiku, tiada pintu untukmu dalam mimpiku. aku tak mau masuki mimpi. bahkan aku tak menguasai tubuhku. aku hanya mau kenyataan, tiada lagi yang tersembunyi. selamat tinggal, tanya. segala maya sudah nyata, saat kita berjumpa.
[#043]
rupanya penat sedang memadat, berdandan menjadi adat. pertikaian menumbuhkan jamur dalam setiap kalimat-tunda, gaib, senyap tanpa jawab. pesan diam. telepon bungkam. sibuk mengeruk keadaan. terkutip tuhan yang bersumpah, “demi kuda perang…”. semenit yang hilang, telah berkembang menjadi jam. jam terbang. menjadi mendung: mengurung! kau menggigil, nihil dari semua hadirku. aku merasakan memarmu dari sini, tak mengalami satupun peristiwa. yang kau rangkum jadi cerita, dengan senyum. kepada teman. keadaan sedang ber-dua-wajah: sesekali tentang pengertian, lainnya tentang semua orang, saling tukar: mirip uang logam. aku bernyanyi dalam kesunyian masing-masing, “aku tak punya semenit. dan aku sangat menikmatinya,” katamu. aku selalu pergi tanpa uang logam itu, kesasar di pasar para makelar: memunguti sisa apa saja. tanpa tidur. tanpa koma.
[#044]
kau sudah merah, terbelah penuh tuah. tipu daya sedang kembali menjadi percaya. punah pula semua marah. tawa pecah. sekawan lawan-bebuyutan tertawan, mengeram di pejam. langit hanya lanskap cahaya hitam, kitalah pelanginya. dari bermilyar kabar, hanya ada satu utuh. dan aku menjadi sentuh seluruh. dalam rupa tubuh. di hutanmu itu, aku menyadapmu.
[#045]
pikiranku penuh tanda tanya. hatiku sedang koma. lelahku sudah titik-dua. aku tak di balik pagar perbincangan, aku hanya di seberang. bersimpuh, tak melihat. lelah menolong diriku sendiri. kunci pintu mana lagi yang harus kuberikan?
[#046]
rasa ini semakin tumbuh, mengakar. seperti orang-orang mati yang dibangkitkan. hidup lagi, walau untuk diadili terlebih dahulu. “maka ke manapun kamu berpaling, di situlah wajah allah!
[#047]
bunga yang kau kenakan, masih segar pula. sepasang kupu-kupu sedang bercanda di atasnya. tepat di sepasang matamu. lihatlah, bagaimana ulat itu kini telah menjadi kupu-kupu. hanya kau, hanya kaulah, yang bisa. aku sedang melihatnya untukmu, menangkapnya untukmu.
[#048]
kata, aku lebur. diam, lebur[kan] aku. malam, [ter]bakar aku. laut, uraikan dirimu. aku sungguh penuh. segala tempat dan keadaan sudah [pasti] kembali padamu.
[#049]
dingin sedang melawan ingin. menyerang saling pilin. hujan tercurah, langit-bumi bersekutu jadi alir, kau-aku di titik doa, menyelam malam, dalam satu waktu. sendiri bukan demi sendiri. lekaslah berubah segala rindu jadi temu. lantas fanta merah tertakar dua gelas sepuluh kali, kita pasti akan meminumnya suatu kali. semua takaran ini aku minum: untukmu. di sana! begitulah, semua terbiasa tumpah dalam doa, saat hujan turun. tetes demi tetes itu, [semoga] menutup airmatamu. sedang apa kau di sana?
[#050]
duhai rembulan, keluarlah dengan separuh tubuhmu. kecantikan sedang menguraikan rambutnya untukku. [ku]biarkan cahayamu menyesah, hanya setelah kami sudah lelah. berjagalah di situ, membentuk waktu dan bayang [bagi] seribu bunga. aku sedang menikmati pelukan setengah lingkaran, berputar dalam pejam, di alun reranting berderak. mengarak kenangan kami jadi serbuan seribu ketenangan: tanpamu. bulan habis, bulan lain menyambutnya. pagi demi pagi, pergi demi pergi, cinta selalu berupa kerja.
Day Milovich,,