Ketika mencari data dan melakukan wawancara, ada 1 prinsip “teknis” yang sangat saya percaya: “Narasumber belum tentu bisa mengartikulasikan pemikiran mereka dengan baik.”. Saya bahkan ajarkan itu ke para peneliti, sejarahwan, ghostwriter, dan penulis opini. Jangan pernah langsung-percaya pada apa kata narasumber.

Ini artinya, lakukan verifikasi, tanyakan istilahnya, dst.

Tidak mudah menuliskan “pernyataan” seseorang. Media sering terperangkap dalam masalah teknis seperti ini. Mereka mem-forward apa kata narasumber, terlalu percaya kepada pernyataan, atau melakukan editing habis-habisan, demi suatu pendapat yang “datar”, agar kelihatan “berisi”. Bukan rahasia, banyak pejabat dan orang-orang bergelar, yang gagasannya datar. Tidak melakukan pembaruan yang menarik.

Ketika seorang pekerja media menulis tentang banjir, dia harus mengerti peristilahan yang berkaitan dengan banjir, dia perlu menyaring data dan pendapat narasumber tentang banjir. Ada ribuan keyword, semuanya dikerjakan dengan cara mendasar seperti ini. Singkatnya, sehebat apapun narasumber, sedekat apapun orang dengan suatu peristiwa, belum tentu pemikiran dan peran mereka “sampai” kepada pembaca, tanpa peran editor. Itu sebabnya, orang perlu media, perlu editor, dan lebih memilih apa yang disajikan media, daripada bertanya langsung kepada sumber atau pelaku peristiwa.

Mungkin orang-orang akan terkejut, jika melihat “bahan mentah” dari berita dan teks buku, yang dikerjakan oleh redaksi media dan penerbit buku-buku non-fiksi. Perbedaan yang terlalu jauh. Editor menjadi “penulis” yang tidak terlihat di balik buku-buku non-fiksi. Mereka bahkan mewawancarai ulang penulisnya, melacak dari sumber lain, hanya agar pemikiran penulis ini bisa “sampai” ke para pembaca.

Pertanyaan “Berapa biaya menerbitkan buku?” perlu diterjemahkan menjadi “Berapa biaya memperbaiki tulisan amatir dan setengah-jadi, agar layak dibaca orang di seluruh dunia?”.

Jadilah pro, jangan jadi amatir. Seorang profesional bisa menangani pekerjaan ini. Menjadi ghostwriter, yang mengubah ide mentah menjadi ide yang layak dibaca orang — di seluruh dunia, sepanjang masa.

Beberapa orang, yang sebenarnya sudah ngetop di dunia karir mereka, memiliki kerendahan hati untuk menyatakan, bahwa mereka ingin ditulis, karena mereka mengaku tidak bisa menulis. Mereka terbuka. Mengerti wilayah keahlian. Menyadari bahwa intan perlu diasah, emas perlu dibersihkan dari debu-debu yang menempel. Para penulis senang menghadapi tipologi orang seperti mereka.

Jangan terlalu ambisius menulis buku non-fiksi, jika kamu belum siap. Kamu tidak harus melakukan semuanya sendirian. Buku yang sudah kamu terbitkan, tidak bisa kamu tarik-kembali. Mungkin kamu perlu penulis yang berada di balik pemikiran dan riwayat karir kamu, yang bisa membuatmu “terlihat” di depan para pembaca, secara apa adanya. Bahwa inilah sebenarnya kamu.

Kebanyakan tulisan bagus, berbicara mengenai pengalaman. Terutama, pengalaman pahit. Terbuka adalah jembatan komunikasi. Kamu tidak harus menceritakan kegagalan. Kamu bisa menceritakan kesalahan membuat keputusan, salah mempercayai orang, salah membangun tim. Dan berlanjut dengan bagaimana kamu mengatasi masalah itu.

Pertimbangkan keahlian dan waktu. [dm]