in

Nalar Dagang di Balik Pembajakan Software

Tanpa nalar dagang, seseorang bisa menjadi terlibat dalam mata rantai pembajakan operating system, musik, film, dan menjadi pembeli hardware dari negara lain.

Pada saat tren pemakaian komputer bergeser ke pemakaian media sosial, harapan untuk terbebas dari ketergantungan membajak dan membeli, ternyata cukup menjanjikan. Apa efek sosial ekonomi dari pembajakan software?

Orang mudah membajak software dengan dalih “berbagi”. Mereka berprinsip: “informasi itu bebas”, tidak perlu dibatasi dan dikuasai sebagian orang. Cara pandang seperti ini, membuat Indonesia berada di kondisi ekonomi mengkhawatirkan: negara merugi sampai US$ 1,46 miliar atau Rp 12,8 triliun pada April 2012.

Pembajakan software biasanya terjadi ketika sebuah perusahaan software, seperti Microsoft dan Adobe, meluncurkan piranti lunak terbaru. Orang ingin memasangnya di komputer secara gratis, bahkan pemakai sering tidak mengerti bahwa software tersebut berbayar. Siapapun dengan mudah membajak, mulai dari perorangan, lembaga pendidikan, dll. Jasa instal-ulang menjadi nama lain dari jasa pemakaian software bajakan.

Indonesia menjadi contoh yang baik untuk kebiasaan buruk bernama software piracy (pembajakan software). Mengubah software coba-pakai (trial) menjadi versi pakai-penuh (full version), dengan mudah bisa diakses kodenya melalui internet.

Ada apa di balik kemudahan mengakses kode bajakan ini? Sepintas menguntungkan: tanpa beli, seseorang bisa menikmati akses layaknya pembeli software.

Ada akibat negatif dari pembajakan ini. Setiap ada versi baru dari sebuah software, misalnya untuk editing foto atau video, itu berarti pemakai harus menaikkan spesifikasi piranti keras (hardware), dengan kata lain: versi lebih baru berarti hardware harus lebih bagus. Indonesia belum dikenal sebagai produsen hardware, tidak seperti China, Taiwan, Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika. Negara-negara inilah tempat software dan hardware diproduksi. Kemudahan mendapatkan akses kode bajakan menjadi full-version, sebenarnya adalah pintu gerbang menuju ketergantungan pasokan hardware dan software. Rasanya, tidak perlu berbangga diri menjadi pembajak dan pemakai produk bajakan jika ternyata “harus” selalu import produk dari luar negeri: hardware dan software.

Negara Indonesia selama ini mendapatkan tekanan keras, yang berasal dari kebiasaan mengkonsumsi produk bajakan. Melakukan migrasi operating system, membawa operational shift cost (biaya perpindahan operasional), seperti: sosialisasi dari Linux ke Windows (meskipun tidak semua Linux itu gratis). Tampaknya, pemerintah lebih memilih menerapkan regulasi (peraturan) “dilarang membajak dan memakai produk bajakan” daripada mulai menjadi produsen software dan hardware bagi bangsanya sendiri. Padahal, biaya sosial yang harus dibayarkan untuk membayar ketergantungan-massal atas barang bajakan ini, lebih tinggi daripada biaya memproduksi software dan hardware sendiri.

Sekarang ini, trend pemakaian software sudah bergeser ke pemakaian online. Komputer gadget yang offline, tidak terhubung komputer, terasa seperti mesin terkucil, tak ubahnya kotak yang hanya berfungsi sebagai mesin ketik dan pemutar musik.

Indonesia lebih suka bermedia sosial, menyimpan file, menyelesaikan dokumen kantor, dan tugas bersama. Gadget Android, Blackberry, dan tablet, menyediakan application store di mana orang bisa akses software gratis untuk menyelesaikan pekerjaan. Tren smartphone dan gadget juga menggeser ketergantungan terhadap pembajakan software menjadi hanya tergantung pada pembelian hardware.

Namun, membeli tetaplah membeli. m/

Written by Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis tinggal di Rembang dan Kota Lama Semarang.

21 Daftar-Periksa untuk [Menonton dan] Menulis Resensi Film

Media Sosial sebagai Mesin Propaganda