Saya sering bertanya kepada kawan-kawan penulis dan wartawan, narasumber seperti apa yang paling sulit diwawancarai.
Ada orang yang #takut menceritakan sesuatu.
Berilah pengertian tentang apa yang akan Anda tuliskan. Berilah batasan pertanyaan. Jika ketakutannya tentang identitas, rahasiakan. Lindungi narasumber, buat dia percaya.
George Orwell berkata, “Man is least himself when he talks in his own person. Give him a mask, and he will tell you the truth.” Orang membatasi-diri ketika dia berbicara sebagai dirinya sendiri. Beri dia topeng, dan dia akan mengatakan kebenaran.
Kalau ketakutannya terkait sikap, mungkin karena tuntutan pekerjaan, berikan pengertian betapa pentingnya informasi dari dia. Beritahukan konsekuensi dan kemungkinan baiknya.
Ada juga orang yang tidak punya waktu dan sulit ditemui. Buatlah janji temu. Jika tidak bisa bertemu langsung, buatah janji. Jika tidak bisa, lakukan wawancara dari jauh, via telepon atau email.
Ada juga orang yang suka mengelak dan menyalahkan kutipan, atau narasumber lain yang tidak-hadir. Dengarkan, tugas Anda hanya menyampaikan fakta. Bukan meluruskan sikapnya. Jangan lupa selalu mencatat dan merekam, simpan dengan baik.
Ada narasumber yang yang tidak suka percakapan. Sulit bicara. Butuh kesabaran menghadapi ini. Lihatlah sekeliling, pakailah insting, agar terjadi perbincangan.
Sebenarnya, setiap orang suka percakapan. Tepatnya, percakapan yang yang menyenangkan.
Katakan selalu, kepada diri-sendiri, “Saya hanya butuh satu pernyataan utama, dari narasumber ini.” Kalau sudah mendapatkan satu kalimat, buat prioritas: apa 3 pertanyaan yang harus terjawab lagi agar tulisan saya utuh.
Yang sulit lagi, menghadapi narasumber yang suka update. Ini tipikal narasumber yang disukai namun paling sulit ditembus.
Dia hanya bisa “diikuti” kalau Anda memicu dengan pertanyaan tepat. Jangan sampai mengajukan pertanyaan salah.
Orang yang suka update, lebih suka menyajikan data dan hal-hal baru. Mereka tidak suka pembicaraan common-sense, apalagi kalau penuh basa-basi, anekdot dari buku, dan pernyataan tentang nilai-nilai lama. Orang seperti ini, tidak suka kalau merasa diwawancarai.
Tidak jarang, mereka membalik pertanyaan dengan pertanyaan. Mereka “menolak” setiap ditanya tentang hal-hal yang sudah pernah dijelaskan, pernah dituliskan.
Kalau pewawancara bertanya, “Jelaskan kepada saya,” maka dia akan bertanya balik, “Sudahkah kamu membacanya? Berapa kali? Coba jelaskan kepada saya.”
Kalau pewawancara bertanya, “Jelaskan lagi kepada saya,” maka dia akan bertanya balik, “Apa yang terjadi sehingga saya harus menjelaskan-kembali sesuatu yang sudah kamu baca?”.
Harap diingat, beberapa narasumber mengetahui cara kamu menyusun pertanyaan itu.
Cara menembusnya begini.
1. Jangan Sok Pintar
Pewawancara yang pintar justru bisa menahan-diri. Jangan sampaikan apa yang kamu bisa, tetapi tunjukkan kamu tahu sedang bertanya apa.
Pewawancara yang pintar, akan mencari tahu dan menyiapkan segala sesuatu, sebelum bertanya.
Pastikan pertanyaanmu tidak salah ketika mengutip data atau dalam pemakaian istilah. Kalau dia penulis, pastikan sudah kamu baca tulisannya. Atau berita tentangnya. Pakailah fakta saat bertanya, jangan mengutip opini atau perspektif orang lain.
2. Open Ended, Perlakukan Narasumber Secara Manusiawi
Pertanyaan Negatif, Memancing Perbincangan
Hindari pertanyaan yang menuntut jawab “ya/tidak”. Anda akan kebingungan kalau orang dia menjawab “ya”, atau menjawab “tidak”.
Buat pertanyaan open-ended, berpeluang mendapatkan jawaban terbuka (panjang). Pertanyaan ini diawali dengan: bagaimana, apa, di mana, kapan, dan mengapa. How what where when why.
Closed-ended lebih mendesak, untuk diiyakan.
Pertanyaan yang jawabannya cepat selesai, hanya bertanya: benarkah? apakah? bukankah?
Pendalaman bisa dimulai dengan “mengapa..”
Jika Anda mendapatkan jawaban, tanyakan lagi “mengapa” bisa begitu. Sampai 3 (tiga) “mengapa” mengikuti pertanyaan ini. Dalam keadaan darurat, pertanyaan “mengapa” juga menolong mencairkan perbincangan.
Berikan Jeda
Bahkan dalam interogasi atau persidangan, ada jeda.
Perlakukan narasumber sebagai manusia. Jangan mendesak jika dia sedang mengingat sesuatu.
Berikan jeda. Mungkin dia sedang memutuskan untuk menyatakan sesuatu. Jangan langsung mengadunya dengan Pembaca, dengan mengatakan, “.. menolak memberikan pernyataan saat dihubungi..”.
3. Tanyakan Hal Spesifik, Bukan Hal Umum
Kalau mau memaksa seseorang menceritakan pengalaman hidupnya, tanyakan:
- “Bagaimana #reaksi Anda ketika..” *) Mencari sentuhan emosi dan empati (bukan simpati)
- “Apa yang terjadi kalau nanti ternyata..” *) Prediksi, futuristik, kemungkinan.
- “Tindakan apa yang akan Anda lakukan jika..” *) Sikap, pendirian.
Pengalaman paling pas dituturkan dalam cerita.
Tugas Anda meng-ekstrak pengalaman dia dalam wawancara.
“Mungkin bisa diceritakan sedikit tentang pengalaman paling buruk selama menjadi menteri?”
4. Giring untuk Membuat Pernyataan Resmi
Berita, artikel, butuh pernyataan resmi. Walaupun satu kalimat. Anda bisa menguraikan kalimat ini dengan banyak pelengkap yang bisa dicari dan ditambahkan nanti dalam tulisan.
5. Perkembangan Terbaru, untuk Running News
“Terbaru” adalah kata sakti yang membuat berita lebih hidup (terutama running-news) atau laporan utama. Biografi seseorang juga demikian. Orang yang sudah dikenal publik, misalnya selebritas atau pejabat, akan dibaca orang jika dia memberikan hal-hal baru yang #belum diketahui publik.
6. Paling Menakutkan: “Ajarkan Saya Sesuatu.”
Ini pertanyaan emas. Kalau Anda mencari kerja dan menyatakan ahli di bidang tertentu (misalnya dalam bermain musik atau berbisnis), dan diminta mengajarkan sesuatu, apa yang akan Anda ajarkan kepada orang lain? Kalau besok ketemu lagi, lalu datang pertanyaan sama, apakah keahlian Anda bertambah, diukur dari pertanyaan ini: ajarkan saya sesuatu. Dalam waktu singkat, dalam bahasa paling mudah dipahami.
Jangan merusak pertanyaan ini dengan bentuk yang sudah umum: “Adakah pesan untuk pembaca?”.
Tidak harus berupa demonstrasi (peragaan, tes kesaktian). Bisa juga berupa #nasehat berdasarkan #pengalaman. Yang terbaik itu mentransfer pengalaman, bukan mengajarkan nilai.
“Selama bergelut di dunia fotografi, adakah tips jitu yang bisa dipakai para fotografer di era digital ini?”
Berikan tantangan selama bertanya.
7. Bertanyalah Seperti Anak Kecil
“Bagaimana pekerjaan ini bisa dijelaskan kepada orang yang belum tahu tentang dunia tulis-menulis?”
Pertanyaan darurat. Pertanyaan yang sering diajukan orang lain. Lakukan pertanyaan ini hanya jika tidak punya pertanyaan.
Narasumber yang baik, tidak selalu menghadapi pewawancara dengan ramah. Kadang dia menjerumuskan, kadang justru menguji kapabilitas pewawancara. Pertanyaan yang cerdas dan bisa membuka misteri, menjadi inspirasi bagi ratusan acara televisi dan rubrik di media.
Sebelum Wawancara Selesai
Lihat, ingat, dan periksa lagi. Apa yang sudah didapatkan, apa yang belum didapatkan. Setelah ketemu nanti, apakah bisa bertemu dengan cara yang lebih mudah dan lebih akrab? Mintalah kontaknya, ketahuilah kebiasaan khususnya. Nama dan status narasumber. Ini bisa dicari di luar wawancara.
- Dapatkan pernyataan [resmi] tentang peristiwa ini. Dapatkan 1 kutipan langsung. Ada rekaman dan tulisan. Terutama jika kasusnya sensitif. Wawancara ini untuk berita, liputan, atau topik? Buku catatan dan alat tulis. Smartphone, aplikasi perekam. Mintalah izin sebelum merekam. Jika kasus sensitif, tidak perlu meminta izin.
- Informasi faktual dan baru.
- Perspektif dan konteks peristiwa. Ini berita atau mengangkat topik seperti artikel dan laporan utama?
- Seharusnya, riset sebelum wawancara. Narasumber yang pintar, sering menguji pewawancara. Dia membalik pertanyaan kapan saja.
Pastikan segera backup data wawancara asli. Save foto asli ke Flickr dan rekaman wawancara ke cloud. Data asli jangan hilang. Setelah selesai, proses menjadi tulisan. [md]