Pada zaman dahulu kala,,
Seorang penebang kayu, memasuki hutan. Ada satu pohon paling besar. Batang pohon itu, seukuran sembilan orang yang bergandengan melingkar. Mungkin lebih. Batangnya berlumut sebagian, basah, dan menjulang sangat tinggi. Penebang Kayu itu berkata kepada Pohon Besar.
“Bagaimana kabarmu? Dulu sekali aku tanam kamu. Hujan datang menyirami kamu, sampai sekarang kamu sudah sebesar ini. Apakah kamu sangat nyaman di sini?” tanya Penebang Kayu.
Pohon itu melambai tertiup angin, beberapa daunnya terjatuh, seperti menyambut kedatangan Penebang Kayu.
Pohon Besar itu berbicara. “Aku tidak terlalu mengingatmu. Aku merasa, hidupku memang di sini, dalam hutan lindung, bersama pohon lain. Ada sarang burung, bunga-bunga yang menjalar dan tumbuh di batangku, dan hujan yang membuatku bertahan. Aku sangat tenang dan nyaman di sini. Apalagi pada malam hari, aku bisa melihat bulan dan bintang. Aku tidak ingin pergi dari sini.”
“Kedatanganku,” kata Penebang Kayu, “Untuk mengajakmu pergi. Agar kamu tahu, kamu tidak selamanya akan berada di sini.”.
“Maksudmu?” tanya Pohon Besar.
“Aku akan menunjukkan kemungkinan yang lebih baik, dunia yang lebih luas, dan tempat yang belum terlihat. Hidup ini, bukan hanya hutan ini. Aku akan memperlihatkan apa yang bisa kamu lakukan, jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan hutan ini.”.
“Tidak!” kata Pohon Besar. “Ini hidupku, ini mauku. Kamu tidak boleh mengusiknya. Biarkan aku seperti ini.”.
Penebang Kayu mendekat, mengelus-elus pohon itu. “Sejak tumbuh, kamu hanya tahu hutan ini. Sampai menganggap, tugasmu hanya tumbuh, tidak beranjak. Membesar, menjulang, begitu tinggi. Tetapi kedatanganku, demi takdirmu yang lain, yang belum kamu jalani.”.
“Apa itu?” tanya Pohon Besar.
“Aku akan menjadikanmu sebuah kapal besar. Kamu akan mengarungi tujuh samudera. Kamu akan melihat lebih banyak manusia. Seribu hal yang tidak pernah bisa kamu bayangkan sebelumnya.”
“Kapal besar? Tujuh samudera?” tanya Pohon itu.
Penebang Kayu tertawa dan menepuk-nepuk Pohon Besar. “Tentu saja kamu tidak mengerti apa itu kapal, apa itu tujuh samudera. Kamu bahkan tidak pernah membayangkan. Namun kamu perlu mengerti, bahwa tanah terpisah lautan. Air yang luas, dalam, dan memisahkan daratan. Setiap hari, kamu pasti sering melihat burung-burung makan, lalu biji buah itu mereka sebar, sampai tumbuh menjadi hutan ini. Kamu pasti sering melihat langit penuh bintang. Lautan, tidak beda dengan itu. Lautan bisa kamu arungi seperti langit, seperti burung yang terbang bebas di udara, namun ia berbentuk air. Untuk mencapai daratan lain, orang butuh kendaraan bernama kapal. Dan kamu, Pohon Besar, akan aku ubah menjadi kapal.”
Tubuh Pohon Besar terguncang. Seperti meronta. Atau marah.
“Aku tidak mau. Aku sudah enak di sini. Aku belum pernah menjadi kapal seperti yang kamu katakan itu. Seperti apa rasanya?”.
Penebang Kayu mendongak ke atas, melihat dahan Pohon Besar.
“Aku harus menebangmu. Kemudian memotong dan memasah tubuhmu, sampai menjadi papan. Lalu kepingan-kepingan itu aku satukan. Seperti tempurung terbaik. Kamu akan kumasukkan ke air. Angin dan putaran mesin akan membawamu ke tengah. Dan kamu akan sampai ke daratan lain.”
“Bagaimana nanti aku mengerti arah?”.
“Kamu akan ditemani bulan, bintang, matahari, angin. Mereka temanmu.”
“Aku tidak menjadi diriku yang sekarang?”
“Tidak lagi. Kamu akan dipasah, dihaluskan, diraut, diukir, dan diberi warna. Kamu akan menjadi wujud baru. Kamu tidak kehilangan dirimu yang sekarang.”
“Artinya, aku akan mati?” tanya Pohon Besar.
“Apa artinya kematian? Kematian hanyalah pintu menuju Keabadian, kelahiran-baru. Kamu akan bertemu pepohonan lain dari daratan lain, yang sama-sama berubah menjadi kapal. Kamu akan mencapai pengalaman tak-terbayangkan. Kamu akan mengingat hutan lindung ini. Kamu akan melihat musim yang berbeda dengan yang terjadi di hutan ini. Kamu bukanlah pohon besar yang ditakdirkan hanya terdiam, tumbuh, dan tumbang di hutan ini. Jadilah kapal besar. Arungi tujuh samudera. Temui dunia dan pengalaman baru.”
Pohon besar itu merenungi apa kata Penebang Kayu.
Dahan-dahan Pohon Besar mulai bergerak gemulai, seperti menyerahkan diri.
Penebang Kayu itu mengambil kapak, gergaji, dan tali.
“Aku akan menebangmu. Kematian tidaklah menyakitkan. Ini perjalananmu, melampaui dirimu yang sekarang. Kamu, kawanku. Kamu, kawan bintang-bintang. Seperti lautan yang akan kamu seberangi. Kamu sebentar lagi, akan menjadi kapal.”
Penebang Kayu itu mulai menebang. Pohon Besar itu tumbang, tak berbicara. Pohon Besar itu mulai dipotong, dipasah, diusung ke pantai. Orang-orang menyambutnya. Mereka memasang layar, sebagian mengukir, menanam pasak, dan mewarnai. Pohon Kayu itu mulai melihat dirinya keluar dari zona nyaman hutan lindung dan siap mengarungi tujuh lautan. [dm]
PS: Pohon besar tidak mengerti dirinya dapat menjadi kapal besar, sampai datang penebang kayu yang akan menunjukkan tujuh lautan yang bisa ia seberangi, hanya setelah pohon besar itu mau berubah menjadi sebuah kapal besar.
Sekarang ia mengerti. [dm]