Konvensi dalam Ruangan
- Setiap 30′, break 5′, untuk refresh dan perbaikan.
- Keluar atau masuk ruangan, untuk urusan mendadak, keterlambatan, dll. tidak perlu ijin.
- No violence. Jangan ada kekerasan fisik, suara, visual, dll.
- Perubahan ruang, sesuai kesepakatan session. Pembagian kelompok tidak bersifat permanen, bisa berubah sesuai jenis kasus yang akan diselesaikan.
- Dokumentasi dan rekaman proses selama session.
- Ruangan harap tersedia minuman, snack, tidak melebihi jarak 10m dari peserta.
- Tersedia kertas plano (A0) sekitar 20 lembar. Potongan kertas A4 atau F4 reuse (tidak perlu baru), per lembar menjadi 4 bagian, setiap peserta memperoleh minimal 20 kartu. Akan dipakai untuk quiz dan flash card. Projector. Koneksi internet untuk setiap peserta.
- Serius, saya sangat tidak suka dipotret.
*) Perubahan peraturan akan dilakukan dengan peserta, tergantung kesepakatan.
Notetaking System
Sistem pencatatan selama session berlangsung, peserta bisa memakai Metode Cornell, sedangkan untuk mindmap memakai cara Elon Musk.

- Margin (Tuliskan Setelah Membaca atau Mendengarkan). Isinya berupa gagasan utama, keyword, atau jawaban singkat.
- Note (Catatan, Bagian Kanan) berisi apa yang sedang kamu baca atau kamu dengarkan. Isinya bisa berupa poin-poin utama, prafrase, bulatan, outline, atau chart.
- Summary berisi ringkasan.
Jika saya menjelaskan informasi, gunakan bentuk penulisan Rapid Log, sebagaimana metode catatan harian sistem titik.
Menulis Catatan Harian Mulai Sekarang
https://jatengtoday.com/menulis-catatan-harian-26953
Jika berbentuk proses, skema, atau chart, sebaiknya buat sebagai gambar.
Lebih bagus lagi kalau memakai tambahan doodle atau warna pen berbeda.
Sangat tidak disarankan hanya memotret apa yang tertulis di plano. Itu berarti kamu tidak menuliskan pemahamanmu sendiri pada saat session berlangsung.
Referensi yang saya sebutkan dalam pelatihan ini, berpijak pada buku-buku manajemen dan media, berbahasa Inggris, terbaru dan terbaik, dan bisa kamu download gratis di channel Telegram.
Mindmap Versi Elon Musk
Elon Musk tidak menyukai model mindmap yang sentralistik, di mana ada “sesuatu” lalu ditarik sebagai titik-tengah lingkaran, menjadi bagian-bagian lain. Atau dipecah-pecah hanya agar mudah dipahami. Justru model mindmap yang sentralistik dan hirarkis seperti ini, membuat pikiran terlalu reseptif dan berhenti pada “memahami gagasan orang lain”. Ada 2 hal esensial yang terlupakan dari mindmap versi lama ini, yaitu: “Apa hasilnya bagi saya?” dan “Bagaimana gagasan ini terbentuk?”.
Pengetahuan, menurut Elon Musk, bisa diskema dalam bentuk mindmap yang mirip pohon.
- Bagilah area kertas catatan kamu, menjadi 3 bagian, seperti sistem mencatat Cornell. Area kanan-kiri, buatlah dengan lebar yang sama persis.
- Bagian kanan adalah dahan dan dedaunan, yang merupakan analogi dari informasi yang kamu terima.
- Bagian kiri, khusus berisi buah, yaitu hal-hal yang sudah applicable, dapat kamu terapkan. Bagian kiri ini, bisa berupa keyword, URL, tool, metode, atau jawaban yang sudah kamu filter dan siap-pakai. Itulah buah yang kamu rancang sendiri setelah mendapatkan pemahaman dari orang lain (saya). Temuanmu, bisa berbeda atau lebih baik dari temuan saya. Bisa juga, bagian hasil ini kamu isi dengan “bagaimana jika..”, “kemungkinan”, dan hal-hal yang belum selesai namun menjadi pintu ke petualangan pengetahuan berikutnya.
- Sedangkan pada bagian bawah, berisi akar yang terpendam, seperti: BTS (behind the scene), apa yang tak terlihat, landasan teori, “mengapa”, dll.
Sebelum session dimulai, pastikan baterai smartphone penuh, ada koneksi internet, dan kamu siap mencatat di atas kertas.
Yang terpenting lagi, atasi hal-hal terkait peralatan, agar tidak ada trouble di tengah jalan. Saya sudah tuliskan troubleshooting di sini.
Behind the Scene Rahasia Proses Menulis Kreatif
https://sakjose.com/bts-menulis-kreatif-6622
Kalau peralatan sudah ready dan siap dimulai, baru kita masuk ke Session 1.
Session 1 – [Pengantar] Ideologi dan Teknologi di Balik Media
Studi pendahuluan ini akan saya awali dengan beberapa cerita metaforis, untuk mengenal ideologi dan teknologi di balik media [online] sekarang.
Kalau dulu, ada materi “Ideologi Pers Mahasiswa”, yang berisi perlawanan terhadap Orde Baru dan visi-misi pers mahasiswa, dalam workshop manajemen ini, saya ringkas menjadi perbincangan ideologi dan teknologi di balik media. Saya melihat, media online terlalu menjadi status quo. Sekarang mau bikin bisnis, yang dilirik itu media online. Ceramah penuh peluang dan gema identitas zaman informasi. Mengapa bukan zaman pengetahuan? Mengapa tren serba-online seperti menjanjikan, padahal kenyataannya, banyak media online tumbang di tataran content atau di bisnis? Media online masih banyak yang mengandalkan semangat zaman analog.
Pied Piper
Cerita “Pied Piper”, Sang Peniup Seruling dari Hamelin.

Cerita ini bisa dibaca di Wikipedia. Pada 1284, kota Hamelin terkena serangan tikus. Datanglah peniup seruling dengan pakaian warna-warni, mengaku dapat menangkap semua tikus. Walikota percaya, mau memakai jasa Peniup Seruling ini, dengan menjanjikan bayaran 1000 gulden. Peniup Seruling memancing semua tikus ke Sungai Weser, sampai semua tikus tenggelam. Desa menjadi aman.
Apa yang terjadi ketika penagihan? Walikota menyalahkan peniup seruling, menganggap ini sebagai tindakan pemerasan, dan ia hanya mau membayar 50 gulden. Peniup Seruling marah, berjanji akan kembali membalaskan dendam.
Hari Minggu, ketika orang-orang dewasa sedang di Gereja, datanglah Peniup Seruling, kali ini berpakaian hijau, seperti pemburu. Seruling dimainkan. 130 anak-anak mengikutinya keluar gua, dan tidak kembali lagi. Anak-anak di desa itu hilang.
Ada 3 anak yang tertinggal: yang berjalan timpang, yang tuli karena tidak bisa mendengar tiupan seruling, dan yang buta karena tidak bisa mengikuti yang lain pergi. Ketiga anak inilah yang memberitahukan kepada orang-orang yang sedang di Gereja.
Versi lain mengatakan, anak-anak itu dibawa ke Gunung Koppenberg, ada lagi yang bilang dibawa ke Transylvania, ada juga yang menceritakan anak-anak itu dibawa ke Sungai Weser, selayaknya tikus-tikus sebelumnya. Mereka hilang, atau tenggelam, yang jelas sudah tidak kembali lagi. Versi minor mengatakan, anak-anak itu kembali setelah Sang Peniup Seruling dibayar dengan koin emas. Jalan Hamelin, sekarang bernama Bungelosenstrasse (“jalan tanpa drum”). Jalan yang yang terakhir dilihat anak-anak. Jalan di mana orang tidak boleh memainkan musik atau menari.
Istilah “composer”, dulu berarti “dia yang datang”, berasal dari cerita ini. Megadeth memakai cerita “Pied Piper” dalam lagu “Symphony of Destruction”.
Cerita “Pied Piper”, merupakan metafora atas kepercayaan suatu kota dalam mengatasi masalah, dengan metode dan orang asing. Walikota Hamelin percaya, tikus ini bisa diatasi oleh “seseorang” dengan cara yang tidak terbayangkan. Orang-orang dewasa tidak bersedia berdialog dengan anak-anak kecil, yang akan dirugikan oleh transaksi generasi tua sekarang. Mereka tidak menyadari bahwa masa sekarang hanyalah titipan anak-cucu. Ini cerita tentang percakapan yang hilang. Keputusan sepihak. Dan hasilnya, terjadilah degradasi kualitas, di mana anak-anak yang tertinggal ini justru yang cacat. Mereka pula yang memberikan kabar tentang kawan-kawannya yang hilang dibawa Sang Peniup Seruling. Cerita ini juga merupakan metafora dari sihir teknologi, di mana ketika suatu suara ditiupkan, trending topic terjadi, maka banyak orang mengikuti.
Apa yang membuatmu percaya kepada metode asing dan orang asing sehingga keputusan dan nasibmu bergantung sekian persen dari orang asing? Ketika mengambil keputusan, atas suatu pemilihan kata, issue, atau content, apakah kamu sudah mendialogkan keputusanmu itu kepada anak-anak yang masa depannya sedang kamu pinjam sekarang? Jika media kamu berisi segala macam kebaikan dan keuntungan-utama bagi pembaca, apakah itu hasil dari suatu percakapan dengan mereka? Apa yang terjadi jika kesepakatan sebagian orang ternyata merugikan tempatmu bernaung? Apa yang akan kamu lakukan jika ternyata sekarang, generasi yang tersisa di dekatmu ini adalah generasi degradasi, atau bahkan mungkin kamu sedang melakukan degenerasi sistematis dengan menerapkan manajemen lama, produk lama, proses lama, dan metode lama?
Novel La Peste, karya Albert Camus

Kota Oran dilanda wabah sampar. Kegelapan menguasai Oran, mengubah cara-kerja ilmu pengetahuan, agama, dan politik. Tarrou, dalam novel ini, menampik penyerahan diri kepada Sampar. Dokter Rieux, menolak menyerah. Rieux menolak agenda besar untuk tunduk kepada petunjuk Tuhan, versi para agamawan.
Orang bisa menjadi baik dengan memberontak menyendiri, untuk “kita”, bukan untuk “aku”.
Sampar dalam “Sampar”, banyak kritikus bilang, metafora dari kedatangan Nazi. Jerman dengan misi fasis Hitler hampir menaklukkan Eropa. London lumpuh, Paris kalah, dst. Sampar memiliki tokoh terdepan: Dr. Rieux, penyakit sampar, dan kota. Jauh sebelum Gabriel Marquez melihat negara di dalam rumah kosong dengan tokoh utama “waktu” di novel 100 tahun kesunyian.
Novel Sampar menampilkan tubuh manusia sebagai masalah sosial. Pengetahuan yang terdiam di depan tikus. Pengetahuan hanya memiliki ahli yang memiliki 1 daya: memilah untuk memisahkan sehat dan sakit. Novel Sampar melecutkan absurditas untuk mengkritik ideologi humanisme dan rasionalisme. Bahwa manusia telah mengintip wajah ketidakadilan, ketidakberdayaan. Ke manakah pengetahuan dan kepintaran manusia setelah memanen korban dengan Perang Dunia I dan Perang Dunia II? Ke manakah agamawan dan Tuhannya, yang selama ini berlindung di balik legitimasi sains, mengapa tidak bisa mengatasi masalah? Ke manakah keahlian jika ternyata keahlian hanyalah memilah dan mengklasifikasi manusia ke dalam sakit tak-sakit? Anak-anak yang baru kemarin terlahir telanjang dan sudah mendapatkan predikasi agama, kesejahteraan, dan pendidikan, kini mati karena tikus yang selama ini dianggap tak-berkekuatan.
Siapa yang mendialogkan pertanyaan ini secara terbuka selain menjelang pemilu dan media sosial, karena ternyata instansi pemerintahan justru paling berharap kepada populisme media sosial. Mereka tidak membuat ruang dialog sendiri, tetapi “memanfaatkan” kemajuan-zaman. Bukankah hanya di menjelang Pemilu, segala masalah bisa diatasi, termasuk banjir dan ketidakadilan, tetapi masalah akan kembali tak-terselesaikan jika Pemilu sudah lewat?
Media akan lebih cerah kalau membuka ruang dan kemungkinan untuk lebih kreatif. Bukan mencari konsensus melulu.
Black Mirror, Episode “ArkAngel”
Indera dan pikiran yang telah difilter dengan pirant dan perangkat. Kedaulatan tubuh yang hilang.


Apakah menurutmu itu hanya terjadi di film? Sebagian besar, tidak.
Ibu tidak jahat kepadamu, Sayang. Semua ini Ibu lakukan demi kebaikanmu. Kamu akan tahu, bahwa dunia ini kejam. Film ini menjelaskan hyperparenting pada situasi di mana perubahan tidak dibutuhkan, kota yang cenderung stagnan. Anak ini tidak lagi memiliki kedaulatan atas tubuhnya. Pendidikan hanya menjadi transmisi informasi dan menaikkan angkatan kerja. Ibu ini ingin mengkoreksi dirinya, melalui anaknya. Ia hanya meminta anaknya melakukan satu hal: mengoptimasi masa lalu. Ini demi kamu, Nak. Ibu tidak ingin kamu menghadapi dunia yang kejam. : ) )
Bukankah memang banyak piranti dan perangkat, tertanam dalam keseharian manusia? Para pemakai Facebook, mengatur preferensi mereka sendiri. Hanya sedikit yang bisa menghilangkan iklan di Twitter. Sekolah menawarkan kurikulum terbaik mereka, namun bukan para pengajar terbaik. Pengambilan keputusan, pada akhirnya, terbentuk dari keputusan orang lain. Get-connected, socially constructed. Filter inilah yang diimpikan para politikus dan agamawan.
George Orwell di novel 1984 pernah mengguncang kesadaran publik dengan cerita surveillance yang dilakukan the Big Brothers. Atau Ray Bradburry dalam Fahrenheit 541, di mana dunia di ambang kepunahan buku-buku. Atau buku-buku bagus justru dikuasai sedikit orang, seperti dalam cerita V for Vendetta karya Victor Hugo. Orang dilarang membaca. Orang dilarang membaca karena membaca memberikan perspektif, melihat dunia apa adanya. Atau tidak dilarang, namun akses ke buku-buku bagus, dibuat tidak lagi mudah (justru di zaman informasi).
Instagram tempatnya orang tersenyum bahagia. Kita tahu di mana tempat orang nggak perlu mikir buku. Apalagi ideologi. Tanpa surveillance orang sudah sibuk sampai kehabisan waktu untuk mengekspos dirinya sendiri.
Piranti dan perangkat apa yang sedang memfilter caramu melihat dunia? Atau kamu ingin menjadi bagian dari mesin produksi media, yang merayakan pemfilteran sistematis, memainkan issue demi keuntungan, dengan prinsip “yang lain begitu, apa salahnya?” menjadi “jurnalisme gini-gini aja”? Apakah kamu masih berdaulat atas tubuhmu sendiri?
Minority Report
Big Data. Mesin sebagai penilai dan pengambil keputusan. Algoritma dalam kekuasaan perusahaan besar.
Film ini menceritakan sebuah kota yang dinilai mesin bernama PreCogs. Mesin ini bisa membaca mood dan tendensi seseorang. Sekalipun kamu sedang damai di rumah, kamu bisa dihukum atas “kejahatan yang akan terjadi”. Keamanan tidak perlu lagi membuat laporan secara detail. Alat mereka akan dibaca PreCogs. Kota aman, hemat biaya, dan mesin ini tidak pernah disalahkan. PreCogs selalu benar. Pada suatu hari, terbukti, ada laporan yang dimanipulasi seseorang yang berkuasa. Mereka berada dalam dilema gawat: Jika PreCogs salah, maka hukuman yang kemarin terjadi, ada kemungkinan salah. Jika PreCogs selalu benar, berarti rekaman “yang ini”, harus dianggap benar, sementara isinya adegan jahat. Big Data dan algoritma berbahaya di tangan perusahaan besar.
Bukankah Facebook juga bisa scanning mood pemakai? Selamat pagi, ini menu kesukaanmu. Kawanmu punya selera sepeda antik; endingnya: kamu bisa beli di sini.
Tujuan setiap informasi, hanya 2: “ambil keputusan” atau “beli di sini”. Politik, agama, hanyalah konteks.
Pemakai lain, lebih mengerikan. Awas, hindari content A, karena mereka akan merusak masa depan bangsa kita. Awas, mereka sesat. Mereka menjadi PreCogs, namun tidak mengerti apa itu algoritma, dan mencegah dengan cara: menghukum “yang lain”.
Bukankah kebanyakan orang memilih diam jika ada kesalahan dalam sistem? Bukankah banyak terjadi penghakiman sepihak, atas nama pencegahan keburukan, demi masa depan Indonesia atau agama? Jadi, apakah kita tahu cara kerja mesin ini, yang bernama Google, Facebook, Instagram, YouTube, dll. ataukah kita harus percaya begitu saja dan memakainya sebagai standar untuk masa depan? Mengapa tidak viral, sedikit pembaca, lantas menjadi kejahatan moral di mata publik?
Nokia bisa salah. Tempo atau Kompasdotcom bisa salah. Orang boleh salah, namun bukan dengan cara dikelaskan dan dihakimi seperti orang yang dianggap sebagai penyihir Abad Pertengahan.
Kita perlu belajar lagi membangun empati di lapangan, belajar meneliti, belajar memahami diversitas kebudayaan. Melihat kebenaran bukan lagi “A is ..” atau “Either A or B” atau “Neither A nor B, but..”, melainkan: “Both A and B”.
Apakah media kamu berisi rapat – buat content – sebarkan, tanpa membuat pemetaan empati pembaca?
Dunia sangat luas. Sekarang zamannya microdecision marketing, digital branding, “collaborative intelligemce”, neuroscience, global consciousness, design thinking, creative problem solving, interactive infographics, hack growth, hyperlocal news, big data, data science, pendekatan interdiciplinary subjects, visual storyteller, demistifikasi agama, demitologisasi ilmu pengetahuan, cryptocurrency, zaman layanan publik menggunakan bot dan algoritma. Saya bisa sebutkan lebih panjang lagi sampai kalian hanya mengerti kurang dari 1%. Bukan karena saya lebih bisa, melainkan karena dunia berkembang lebih cepat.
Jurnalisme adalah sains. Ada pengetahuan dan keterhubungan, falsifikasi, “mempertanyakan realitas”, perbaikan (perbaikan produk, metode, proses, dan manajemen). Jurnalisme adalah jembatan, “pintu ke mana saja”, namun bukan segalanya. Jadilah desainer yang bisa menulis, bukan penulis yang tahu desain. Jadilah hacktivist yang bisa menulis, bukan penulis yang tahu tentang hacktivist.
Men Against Fire
Bertempur dalam peperangan yang salah. Melawan sistem.
Dia tidak tidur. Mendekripsi kenyataan. Tidak bermimpi, namun melawan keingintahuan. Tadi sore, di balik helm canggih yang ia kenakam, ketika menyerbu tempat para kecoak, ada yang aneh dengan apa yang ia lihat dari balik helm. Mereka bukan kecoak. Mereka manusia, seperti aku.

Episode “Men Against Fire”, di serial “Black Mirror”, menceritakan bagaimana sekelompok pasukan dipersenjatai dengan scanner canggih. Untuk berburu “kecoak”. Istilah untuk monster yang membahayakan masyarakat. Namun di antara kecoak itu, ada 1 programmer yang berhasil menghilangkan filter moral dan visual. Hanya mempan pada 1 orang tentara. Ia berada dalam keraguan, merasa berada di perang yang salah. Bahwa ternyata yang selama ini ia tembaki adalah manusia biasa. Alat dari markas yang sengaja dimanipulasi penguasa jahat, agar menampulkan orang-orang ini sebagai monster, suara mereka beruba terdengar seperti monster, dan statistik penuh warna merah yang artinya: bahaya, waspada, gunakan senjata, jangan ragu, dan: bunuh.

Barangsiapa yang bisa mengubah scanner, dapat mengubah permainan. Lihatlah kembali, apakah kamu sedang berada di tengah peperangan yang salah? Apakah indera dan syaraf kamu dimanipulasi dengan informasi untuk pertimaian jangk panjang. Apakah kata “bertangfunf jawab” sudah terlalu sering dikaitkan dengan tindakan buruk? Apakah kata konsekuensi berbau keputusasaan? Apakah kata deadline mengubah sebelahmu menjadi monster? Lepaskan helm kamu, biatlah scanner kamu sendiri.
Sarah Connor, dalam sequel Terminator, memiliki jiwa leader. Sarah mendidik anaknya untuk menghadapi Judgement Day (Hari Kiamat) yang dipicu SkyNet. Sarah mendidik John Connor, anaknya, dengan skill masa depan: mengakali mesin. Tahu cara kerja system adalah bagian dari “ketahui siapa musuhmu”. Kelak, John Connor berhadapan dengan situasi, yang menurut orang lain, tidak mungkin dikalahkan: SkyNet. Ia melumpuhkan salah satu robot, kemudian membedahnya, dan membalik pemrograman robot itu, menjadi robot yang tidak membunuh manusia.
Banyak “Peniup Seruling” di YouTube, yang pintar melihat kelemahan system, dan dielukan publik. Mereka memberikan content yang biasa, lebih banyak kombinasi kritik dan umpatan, seolah-olah target mereka adalah melegalkan dan memuliakan umpatan, dan dianggap sebagai budayawan.
In Time
Waktu sebagai nyawa dan mata uang. Musuh negara. Ekonomi baru.
Di sebuah kota fiktif, mata uang mereka adalah waktu. Sejak berumur 5 tahun, seorang bayi diberi barcode dan pewaktu hitung-mundur (countdown timer). Jika waktu mereka habis, mereka mati. Waktu juga menjadi nyawa bagi setiap warga di situ. Bisa ditransfer. Ada bank waktu, polisu waktu, penjaga waktu. Dan mereka tidak pernah keluar dari kota itu. Kalau kamu bekerja untuk kota, waktumu ditambah. Kamu ke salon untuk body care, bayar pakai waktu.

Sampai pada suatu hari, ada kejutan. Seseorang yang sedang dikejar polisi waktu, mentransferkan seluruh waktunya kepada seseorang. Yang mendapatkan donasi dadakan ini, menjadi bebas apa saja sebab ia punya cadangan umur panjang. Ia ingin melampaui batasan.Siapakah penguasa waktu di kota ini? Bagaimana cara kerja waktu (uang, nyawa, dan status sosial)? Ia menculik anak dari boss pemilik bank waktu. Berita baiknya, keduanya menjadi buronan reami. Berita buruknya, gadis ini terkena Stockholm Syndrome, jatuh-cinta kepada penculiknya.
Keduanya merampok bank waktu. Dan membagikan waktu ke semua orang. Sampai akhirnya mereka berada di batas kota untuk terbebas dari hukum waktu.

Berapa waktu yang kamu pakai? Apakah bisa.memperpanjang kesempatan hidup kamu besok? Bukankah 10 menit yang kamu pakai untuk A bisa kamu pakai untul B, tetapi bagaimana cara kamu mengelola waktu? Apakah rutinitas membuatmu seperti mendorong batu Sisyphus yang lebih berat, atau hanya untuk membenarkan hukuman yang berasal dari keputusan sewennag-wenang para dewa? Apakah kamu menegasikan eksistensi kamu sendiri dengan membuang waktu? Apakah kamu .emilih bagaimana caranya untuk fokus, ataukah lebih suka fokus terjadi begitu saja tanpa perlu dilatih?
Ekonomi baru, berpujak pada waktu. Bentuknya adalah kecepatan, akurasi, kebaruan, kedekatan, dll.
Terlepas kamu sedang bersama siapa, kamu sedang mewaktu. Kamu selalu bertualang dan melarikan diri bersama waktu. Kamu akan merampok bank waktu, ataukah lari keluar dari hukum waktu versi lama yang sekarang sedang kamu pakai? Tentukan.
American Gods
Agama berwajah mitologi. Iman menjadi franchise. “Tuhan” mewaktu dan menyejarah.
Neil Gaiman, menceritakan America, tanah yang didatangi banyak bangsa, dengan dewa mereka sendiri-sendiri, sedang menjadi ajang pertarungan, antara para dewa kuno yang dipimpin Odin dan Ester, melawan para dewa kontemporer. Dewa kontemporer itu: the World (Dunia), Media, techie boys (hacker, internet).

Neil Gaiman membaca-ulang sejarah dan dewa-dewa lama, dengan ironi dan dialog yang kuat. Neil Gaiman selalu kuat dalam konsep dan dialog. Ada adegan di mana Odin mengajak Volcano (Dewa Api) untuk berperang melawan para dewa Amerika kontemporer. Volcano tidak mau bergabung, karena ia lebih suka pemujaan terjadi, yaitu ketika para penonton film menyukai tembakan, ledakan, dll. “Setiap peluru yang ditembakkan dan teriakan para penonton adalah doa yang menyebutkan namaku.”. Odin menganggap, itu penyangkalan, “Kamu telah mengubah imanmu menjadi franchise.”.
Tomorrowland. Bukan Tomorrow’s Land
Utopia. Ide kehancuran dan impian menuju surga.
Tommorrowland bercerita tentang Casey dan Frank, yang bersahabat karena ilmu pengetahuan. Mereka suka roket, frekuensi, dan percaya adanya kota yang melampaui dunia ini. Setiap menyentuh pin berhuruf “T”, semacam tiket terusan ke Tomorrowland, Casey melihat dunia secara apa adanya. Ia melihat utopia dengan mata terbuka.

Conceptual Art look at Tomorrowland
©Disney 2015
Mengapa Kiamat menjadi semacam jembatan untuk memahami Kekuasaan Tuhan? Mengapa orang sering memahami keadilan dari sisi kekejaman yang tampak? Mengapa sampai sekarang masih terjadi pembasmian etnis, rasisme, polusi, dst.?
Kiamat menjadi issue yang mereproduksi kepatuhan.
Gubernur Nix menjawab panjang, namun ringkasnya, “.. manusia tahu gunung es, namun ia membiarkan kapal Titanic menabraknya.”. Manusia merencanakan kehancurannya sendiri.
Epilog
Status jurnalisme: sains, keahlian, dan bisnis.
Session 2 Profiling Media Online
Problem Umum di Media [Online]
Alur-Kerja Media (Newsroom)
https://source.opennews.org/articles/5-digital-workflow/
Struktur Dasar Pengelola Media Online
Bersama peserta, membuat struktur-dasar pengelola media dan jelaskan job description per bagian.
Job Description
Ajak peserta menjawab kasus-kasus yang terjadi di media, terkait job description.
Contoh Job Description
- Job Description Pemimpin Redaksi (Editor in Chief) https://pastebin.com/iU4K8YE4
- Job Description Manajer Media Sosial https://pastebin.com/cyGPccKh
Untuk mencari yang lain, sebagai bahan, search di Google, misalnya:
media editor job description
Standard Operative Procedure
Buat 3 kelompok. Penyebaran harus beragam. Semester yang lebih kecil, yang paling besar, menjadi koordinator.
Diskusi Kelompok
Membuat job description dan standard operating procedure, per desk.
Session 3 Manajemen Media Online
Session ini menjelajahi dunia manajemen dalam media online. Bagaimana merancang bisnis media, menguji ide, pernyataan nilai (value proposition), riset pembaca, learn card dan testing card, membuat empathy map, human resource, kerja tim, digital marketing, dan advertising.
Batasan Manajemen dalam Media
Perbedaan antara Leader dan Manager
Business Model Canvas
Fungsi. Merancang hipotesis, melakukan pengujian, berkomunikasi dengan pemangku kepentingan, dan menginformasikan prioritas.
Deskripsikan Nilai Kamu
.. menjadi paragraf yang mudah dipahami orang.

Hasilnya akan menjadi seperti ini:
Media X untuk mahasiswa penderita insomnia namun sedang malas mengerjakan tugas, dan menunggu kejutan di tengah malam, yang membutuhkan perspektif informasi, melalui postingan di website, yang ringkas, kupas-tuntas, dengan menyertakan insert multimedia (audio, video, foto), tidak seperti content straight news melulu yang ada di media bernama X, Y, Z, karena Media X memberikan kedalaman perspektif dan referensi, bukan concern di straight news.
Tanpa “nilai”, tidak ada tawaran untuk pembaca.
Value Propositions Canvas

Jadikan sebagai template sebelum mengeksekusi ide bisnis.

Value Proposition Canvas

Customer Jobs
(Apa yang ingin mereka selesaikan dan biasa mereka kerjakan)
- 1 hal yang tidak bisa ditinggalkan konsumen
- Konteks apa yang mempengaruhi aktivitas dan sukses mereka?
- Pekerjaan konsumen yang melibatkan orang lain
- Tugas yang harus mereka selesaikan
- Masalah fungsional yang mereka selesaikan
- Masalah konsumen yang tidak mereka sadari
- Konsumen kamu ingin diterima orang lain dengan cara bagaimana
- Apa yang mereka dengar, lihat, dan rasakan
- Kalau mereka memakai layanan lain, untuk menyelesaikan apa?
Customer Pains
(Masalah yang menyakitkan yang ingin mereka selesaikan)
- Apa yang mereka anggap paling mahal, menghabiskan waktu, dan menguras energi?
- Apa yang membuat mereka merasa buruk, bosan, dan memusingkan?
- Fitur apa yang belum mereka temukan atau masih di bawah kualitas?
- Kesulitan dan tantangan utama yang mereka hadapi
- Apakah mereka memahami cara-kerja, mengalami kesulitan, atau bertahan pada pekerjaan ini karena alasan tertentu?
- Konsekuensi-sosial negatif apa yang mereka takutkan? Finansial, sosial, teknis, atau apa?
- Apa yang selalu mereka pikirkan? Berita utama, kepedulian yang belum dilakukan, ataukah keresahan?
- Kesalahan umum apa yang mereka alami? Solusi apa yang kamu anggap salah?
- Apa saja penghalang konsumen kamu dalam mengadopsi nilai produk kamu?
Gains lebih mirip lawan dari Pains. Kalau Gains dan Pains paralel, berarti match dan layak diperhatikan.
Customer Segment

Value Proposition

SMX

10 Karakteristik Proposisi Nilai yang Top

Bagaimana menerjemahkan dari konsep, nilai, sampai menjadi desain untuk pembaca?
Jelaskan kepada peserta.
unlock code: wo74/week-5-editorial-design-1e254ab51001
Penerapan Value Proposition Design – Studi Kasus Book Share


Meriset [Calon] Pembaca
Jelaskan kepada peserta, cara membaca draft ini, dan bagaimana membuat peta empati pembaca media kamu.

Proses dari Menemukan Persona Menjadi Empathy Map
Ini contoh persona pembaca kamu.

Menjadi Empathy Map seperti ini:


Test Card dan Learning Card


Pemakaian Test Card dan Learning Card
https://issuu.com/business.model.innovation/docs/vpd_sneakpeek/92
Untuk download dari issuu tanpa perlu login, pakai tool ini:
https://issuu.pdf-downloader.com/
Buku komplet tentang ini, ada di Channel Telegram Day Milovich.
Diskusi – Membuat dan Mengisi Test Card dan Learning Card untuk Media Milik Peserta
Mengajak peserta berbicara tentang 3 tema berikut ini, secara terbuka, dengan target mereka dapat bekal metodologis, dan penyelesaian-masalah kreatif, dan membuka penjelajahan baru. Referensi dan attachment yang dibutuhkan, sudah ada semua.
Human Resource
Beautiful Constraint
Perubahan sering berawal dari harapan besar, keinginan menerapkan kekuatan besar, namun yang sering terjadi adalah kenyataan bahwa kita hanya mempunyai awal buruk berupa keterbatasan.


Peta Bisa-Jika
Kita Bisa-Jika ..
- Mengakses pengetahuan tentang itu ..
- Mempunyai sumberdaya dengan cara ..
- Menggantikan .. untuk ..
- Membuang .. agar bisa ..
- Memperkenalkan .. lebih dahulu.
- Mendapatkan dana melalui ..
- Memikirkan ini sebagai ..
- Menggunakan orang lain untuk ..
- Menggabungkan cara-cara di atas
- Design Thinking
- Self-Mentoring
- Resistance
Bekerja sebagai Tim
- Creative Problem Solving
- Decision-Making System
- Kecerdasan Kolaboratif
Marketing dan Advertising
- Strategi dan Taktik Marketing
- Social Media Management
- Advertising
- Media Kit
Session 4 Collaborative Skills
Bersifat pendalaman, karena peserta sudah terbiasa dengan kebutuhan, peristilahan, dan memiliki skill dasar yang diberikan pada workshop jurnalistik. Session ini menjelajah content, SEO, story telling, dan social media.
Riset Keyword
Posting di web
Metode Storytelling
Menulis Indepth
Menulis Artikel Utama
Infografik
Videografi untuk YouTube dan igtv
Manajemen Social Media (Strategi, Taktik, dan Eksekusi)